1.
Pengertian lianguistik secara etimologi dan terminology
Secara
etimologi, kata linguistik diserap dari bahasa Latin “lingua” yang berarti
bahasa. Dalam bahasa Inggris disebut linguistics, artinya: ‘ilmu bahasa.’[1] Kata linguistics kemudian diserap oleh bahasa
Indonesia menjadi linguistik dengan makna yang sama, yaitu ‘ilmu tentang
bahasa’ atau ‘telaah bahasa secara ilmiah.[2]
Dalam beberapa
literatur berbahasa Arab, di antaranya dikemukakan oleh
‘Atiyah, bahwa kata linguistik diterjemahkan dengan علم
اللغة juga[3] disebut dengan:
علم اللسان،
اللسانيات، الألسنة، الألسنيات، اللغويات
Sedangakan secara terminologi, menurut Kridalaksana, linguistik adalah Ilmu
tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah.[4] Definisi ini tidak berbeda dengan pendapat John Lyons. Menurutnya, linguistic adalah pengkajian bahasa secara ilmiah. Lebih
lanjut ia mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan pengkajian atau studi bahasa
secara ilmiah adalah penyelidikan bahasa melalui pengamatan-pengamatan yang
teratur dan secara emperis dapat dibuktikan benar atau tidaknya serta mengacu
pada suatu teori umum tentang struktur bahasa.[5]
Dalam beberapa literatur berbahasa Arab, di antaranya
‘Atiyahmenyebutkan, bahwa علم اللغة adalah:
علم اللغة
هي عبارة عن الدراسة العلمية للغة. فهو
علم يتناول اللغة موضوعا له.
“Sebuah istilah
tentan pengkajian secara ilmiah terhadap bahasa, yaitu ilmu yang menjadikan
bahasa sebagai obyek kajian.”[6]
oleh karenanya, dapat diketahui bahwa
linguistik adalah sebuah ilmu yang mengkaji bahasa secara internal dan ilmiah.
Dengan kata lain, pengkajian hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa
itu sendiri. Kajian ini kemudian menghasilkan perian-perian bahasa secara murni
tanpa berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar bahasa.
2.
Tujuan Ilmu Lingistik
Secara
umum ada 4 (empat) tujuan di dalam studi ilmu linguistik, yaitu tujuan praktis,
tujuan estetis, tujuan filologis, dan tujuan linguistis dengan penjabaran seabgai berikut.[7]
1) Tujuan praktis, dari studi bahasa
artinya adalah mempelajari bahasa dengan tujuan agar pembelajar bahasa mampu
menggunakanya untuk berkomunikkasi secara baik, benar, dan lancar. Tujuan ini
dekat kaitanya dengan pengajaran bahasa seperti yang ada di sekolah dan lembaga
kursus. Siswa diajarkan untuk dapat menguasai empat skill berbahasa yaitu
listening, speaking, reading, dan writing.
2)
Tujuan estetis berarti
bagaimana seorang dapat memahami dan menggunakan bahasa secara indah dan
menarik. Bahasa dikemas dalam gaya tertentu lalu diungkapkan baik lisan maupun
tulis sehingga ada kesan estetika yang muncul dari bahasa tersebut. Orientasi
dari tujuan pemahaman dan penggunaan bahasa ini adalah "estetika".
Teks - teks dengan orientasi estika dapat dengan mudah ditemukan dalam puisi,
novel, pantun, dan jenis karya sastra lainya.
3)
Tujuan filologis: Bahasa
sangat berkaitan dengan budaya, bahkan dapat dikatakan bahasa merupakan salah
satu produk budaya. Pengungkapan nilai - nilai bahasa dari segi kebudayaan masa
lampau inilah yang disebut dengan studi bahasa dengan tujuan filologis.
Penelitian filologis dapat dilakukan dengan mengkaji naskah - naskah lama
(manuscirpts).
4)
Tujuan linguistis, seperti
halnya suatu objek kajian pada science, bahasa itu sendiri merupakan objek
kajian. Oleh karenanya menjadikan bahasa sebagai objek kajian dan mengungkapnya
secara objektif itu pun menjadi salah satu tujuan studi bahasa, yaitu tujuan
linguistis. Penelitian linguistik dapat dilakukan baik pada tataran linguistik
mirko maupun linguistik makro yang secara jelas dapat dilihat pembidanganya
dalam cabang ilmu linguisitk.[8]
3. Perkembangan Linguistic Arab modern
Pendekatan linguistik modern pada bahasa Arab, mula-mula justru mendapat
tantangan. Mayoritas ahli
bahasa awalnya menolak,
tidak ingin memahami, atau merasa aneh
ada pendekatan baru yang menggeser pendekatan yang
sudah mereka kenali
sebelumnya. Inilah yang
membuat pendekatan linguistik
mulanya tidak terlalu populer di dunia Arab.
Kajian - kajian bahasa Arab
dengan pendekatan linguistik
modern justru dilakukan oleh para ahli bahasa dari Barat.
Padahal, isu-isu kebahasaan kontemporer
di dunia Arab,
seperti pengembangan bahasa
Arab praktis (taisi:r al -lughah
wa tarqiyatuha: ), arabisasi (ta‘ri:b), derivasi (isytiqa:q), bahasa ragam
tinggi dan ragam
rendah (al-‘a:miyyah dan
fushha:), yang bila dikaji
dengan pendekatan linguistik
modern, mungkin akan
jauh lebih mudah dalam menemukan
titik terang.
Seiring
perjalanan waktu, sikap dan anggapan itu
bergeser. Mulai ada usaha-usaha dari linguis di dunia Arab untuk
mengkaji bahasa Arab dengan pendekatan modern, seperti al-Falsafah
al-Lughawiyyah wa al-Alfa:zh al-‘Arabiyyah karya Jorji Zaidan (1886), yang
mengangkat karakter, fungsi, dan metode
pengajaran bahasa. Ia
juga menulis buku yang
berjudul Tari kh al-Lughah
al-‘Arabiyyah (1904), yang
memanfaatkan teori kebahasaan yang banyak
dianut pada abad
ke-19 dan awal
ke-20, juga kajian
kalangan orientalis terhadap bahasa Arab dan bahasa Semit. Kemudian,
pada tahun 1932 didirikan Pusat Bahasa Arab di Mesir, yang di
antara tujuannya adalah
menjaga kelestarian bahasa
Arab dan bisa sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut
al-Sa’ran (1999: 29), Pusat Bahasa ini berperan besar dalam perkembangan bahasa
Arab modern, terutama setelah diterbitkannya al-Mu‘jam al-Wasi:th (1960) yang
ditulis oleh beberapa linguis terkemuka Mesir, yang dipimpin oleh Ibrahim Anis.
Hanya saja upaya
tersebut belum menarik
perhatian
universitas-universitas di dunia
Arab. Ini terlihat
adanya fakta sebagian orientalis yang mengajar di Fakultas
Sastra Universitas Kairo, yang mencampur adukkan antara ‘ilm al-lughah
(linguistik) dan fiqh al -lughah (filologi, tetapi bukan
filologi dalam pengertian
ilmu penyuntingan naskah (klasik). Tentu saja tujuannya agar
mereka bisa mengaitkan antara bahasa Arab dan bahasa Semit.
Barulah setelah
Ali Abd al- Wahid
Wafi, guru besar
sosiologi di Universitas Kairo,
menulis buku yang berjudul ‘Ilm al
-Lughah (1941), Fiqh al-Lughah (1941),
al-Lughah wa al-Mujtama‘ (1946),
dan Nasy’ah al-Lughah ‘ind
al-Insa:n wa al-Thifl
(1947), para ahli
bahasa di universitas-universitas terkemuka di Arab,
terutama di Mesir, tertarik mengkaji ilmu ini. UsahaWafi ini
dilanjutkan oleh Ibrahim
Anis, guru besar
di Fakultas Ilmu Pengatahuan Universitas Kairo.
Sepulangnya menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang linguistik dari
Universitas London, ia menulis beberapa
karya penting dalam
pengkajian bahasa Arab
dengan pendekatan linguistik modern,
seperti al-Ashwa:t al-Lughawiyyah (1947),
al-Lahaja:t alMishriyyah (1952),
Musi:qa: al-Syi‘r (1951),
Min Asra:r al-Lughah
(1951), dan Dila:lah al-Alfa:zh
(1958). Selain itu, usaha penerjemahan makalah dan buku-buku linguistik
dari Prancis, seperti
karya Antoinne Meillet
yang diterjemahkan dengan judul
Manhaj al-Bahts fi
‘Ilm al-Lisa:n oleh
Muhammad Mandur, karya Vendryes yang diterjemahkan dengan judul
al-Lughah (1950) oleh Abd
al-Hamid al-Duwaihili dan
Muhammad al-Qashshash.
Upaya serius
lain ditunjukkan oleh Raja T. Nasr yang
menulis The Structure of Arabic: from
Sound to Sentence (1967), yang menganalisis stuktur bahasa Arab dengan
pendekatan linguistik modern secara komprehensif.
Setelah itu,
muncul generasi baru
yang menekuni linguistik
atau salah satu cabang linguistik di Universitas London, yang kemudian
menjadi staf pengajar
di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Universitas Kairo, seperti Tammam Hasan yang menulis Mana:hij al-Bahts fi: al-Lughah
(1979) al-Lughah al-Arabiyyah Mabna:ha: wa Ma‘na:ha: (1985), Abd
al-Rahman Ayyub yang menulis al-Lughah
bain al-Fard wa
al-Mujtama‘ (1954), Kamal
Bisyr yang menulis al-Ashwa:t
al-‘Arabiyyah (1990); atau
di Fakultas Sastra Universitas al-Iskandariah, seperti
Mahmud al-Sa‘ran dan
Muhammad Abd al-Faraj. Nama lain yang juga patut disebutkan di sini
adalah Mahmud Fahmi Hijazi
yang menulis Madkhal
il ‘Ilm al-Lughah
(1978), yang membuka cakrawala
baru pengkajian bahasa
Arab dengan pendekatan linguistik modern, secara lebih
utuh. Emil Badi Yaqub yang menulis Fiqh
al-Lughah al-‘Arabiyyah (1982), juga Saleh J. Al- Toma, yang secara
bersama-sama menulis A Dictionary of
Modern Linguistic Terms (1983), juga
turut memperkaya kajian
linguistik modern, terutama
sumbangan padanan konsep yang telah mereka berikan di kamus mereka itu.
Dalam hal kesalahan umum pada penggunaan bahasa
Arab kontemporer, nama al-Adnani
yang menulis A Dictionary
of Common Mistakes
in Modern Written Arabic (1984)
harus disebut di
sini, atas usahanya
yang penting dan berharga tersebut. Abdullah Abbas
Nadwi yang menulis Learn
the Language of
the Holy Quran
(1986) yang mengkaji
bahasa Alquran dengan
pendekatan linguistik modern,
juga patut diberi
penghargaan dalam upaya mengenalkan kajian Alquran dengan sudut
pandang baru. [9]
Selain para
linguis yang berasal dari Timur Tengah, linguis-linguis Barat yang mengkaji
linguistik Arab, tidak lengkap bila tidak disebutkan sebagai tambahan informasi
sejauh mana pengkajian bahasa Arab dengan pendekatan linguistik
modern dilakukan. Usaha
awal dalam mengkaji bahasa Arab
dengan sudut pandang
linguistik modern dilakukan
oleh Wright dalam karyanya
yang berjudul A
Grammar of the
Arabic Language (1859). J.
A. Haywood dan
H. M. Nahmad
yang menulis A
New Arabic Grammar of the Written
Language (1962), memberi
sumbangan penting dalam analisis
tata bahasa Arab
secara linguistis. Usaha
Haywood dan Nahmad ini dikembangkan
secara lebih mendalam oleh Peter F Abboud dkk.
Yang menulis Elementary
Modern Standard Arabic
(1968). Analisis Vicente
Cantarino yang mengurai
kalimat sederhana, kalimat
majemuk,dan kalimat komplek
dalam bahasa Arab
dengan pendekatan sintaksis modern dalam buku Syntax of Modern
Arabic Sentence (1974), telah memberi model
analisis pada pengkajian
sintaksis Arab. Upaya
lebih mendalam dilakukan oleh
Wickens yang mengungkap
struktur tata bahasa
Arab dalam Arabic Grammar a First Workbook (1980). Holes yang menulis Modern
Arabic: Structures, Functions
and Varieties (1995),
juga memberikan analisis berharga terkait struktur, kategori,
dan fungsi bahasa Arab modern.[10]
- Konsep Majma’ Lughoh
Periode
perkembangan bahasa arab di awali dari periode jahiliyyah. Periode permulaan
islam, periode bani umayyah. Periode bani abasiyah. Periode kelima saat bahasa
arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan administrasi pemerintahan hingga
periode bahasa arab modern. Bahasa arab kembali bangkit di landasi adanya
upaya-upaya pengembangan dari kaum intelektual mesir yang mendapat pengaruh
tidak lagi menjadi bahasa politik. Dimana ketika itu Bahasa arab sebagai bahasa
pengantar di sekolah. Waktu-waktu perkuliahan di sampaikan dengan bahasa arab.
Majma’ lughah
al ‘arabiyah adalah lembnaga pengatur bahasa yang dibentuk di negara-negara
arab, diantaranya di irak, mesir, arab saudi dan suriah.
Di era modern
setidaknya ada dua pihak yang berperan dalam pembentukan kosa kata baru di
dalam dunia kebahasaan yaitu majma’ lughah al ‘arabiyah dan para linguis.
Seperti apa yang tengah di lakukan majma’ lughah al ‘arabiyah (pusat bahasa
arab) dengan selalu menyaring kosa kata bahasa asing dan kemudian mengubah ke
bahasa arab, baik fonologis maupun subtansif. Majma’ lughah berusaha
menhidupkan lagi kosa kata arkais dalam khazanah kebahasaan yang mereka miliki
untuk di terapakanm dan di populerkan kembali.[11]
Salah satu misi yang di usung majma’ lughah adalah mempertahankan keaslian
bahasa arab karena faktor agama bahwa bahasa arab bahasa Al-Qur’an dan
keasliannya tetap terjaga serta melakukan usaha-usaha pengembangan agar menjadi
bahasa yang dinamis, maju dan mampu memenuhi
tuntutan kemajuan dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Hatif adalah bahasa arab akais yang berarti wujud suara tanpa ada
wujud rupa. Konsep hatif di sini serupa dengan konsep telepon yaitu wujud suara
tanpa wujud sang pembicara atau penggunaan kata “Qithar” berarti kereta api
yang di analogiakan dengan makna sebelumnya rombongan unta.[12]
- Metode Perkembanagan Bahasa Arab Modern dan
Sejarahnya
Awalnya bahasa
arab bermula dari bahasa lisan (lughah al-Nuqt) yang di gunakan para pemakai
bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya, sebelum pada tahap selanjutnya.
Bahasa itu di kodifikasi atau di bukukan dalam bentuk basaa tulis (lughah
kitabah). Asumsi ini di perkuat dengan bukti realistis yang menunjukkan betapa
banyak bahasa yang telah pernah berkembang lalu punah karena belum dikodifikasi
dalam catatan. Perkembangan sebuah bahasa mengikuti perkembangan pemikiran para
pengguna bahasa. Sedang manusia ia tidak akan mampu menghafal dan mengembang
seluruh kata dari bahasanya sekalipun ia memiliki tingkat kecerdasan yang
tinggi. Oleh sebab itu terkadang manusia tidak mampu untuk mengingat sebuah
kata atau kesulitan untuk menyebut kosa kata yang sesuai dengan yang ia
inginkan. Problem di atas menunjukkan urgensi kamus sebagai bahan rujukan untuk
mengembangkan makna, menghimpun kata, melestarikan bahasa dan mewariskan
peradaban yang bisa di kembangkan. Proses kodifikasi pada akhirnya merubah
bahasa arab dari semula yang tidak ilmiah, (tidak bisa di pelajari secara
ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang tunduk kepada sistem yang juga
banyak di ikuti oleh ilmiahnya. Proses pengumpulan dak kodifikasi bahasa
bertolak dari kekhawatiran terjadinya kerusakan bahasa karena menyebarkan
dialek yang menyimpang (lahn) dalam masyarakat di mana orang arab sebagai
kelompok minoritas. Oleh karena itu para leksikolog lebih mengarahkan
periwayatan bahasa kepada orang badui.
Jadi pada
awalnya proses pemaknaan kosa kata dalam bahasa arab bermula melalui metode
pendengaran (al-sima’), yaitu pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung
perkataan orang-orang badui. Kemudian metode pendengaran bergeser ke metode
analogi (qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori-teori tertentu
yang di buat oleh para ahli bahasa.[13]
Selanjutnya ada
tiga tahap kodifikasi bahasa arab hingga lahir kamus-kamus bahasa arab, yaitu
sebagai berikut,
1)
Tahap
kodifikasi non-sistematik
Pada tahap ini
seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju desa-desa. Lalu ia mulai
mencari data dengan cara mendengarkan secara langsung perkataaan warga badui
yang kemudian ia catat di lembaran-lembaran tanpa menggunakan sisitematika
penulisanm kamus.
2)
Tahap
kodifikasi tematik
Para ulama’
yang tengah mengumpuylkan data mulai mengklasifikasikan dat yang terkumpul
menjadi buku dengan menggunakan teknik penulisan secara tematis. Seperti kitab
Al-Mathar (kamus hujan) karangan Abu Zaid (737-830).
3)
Tahap
kodifikasi sistematik
Pada tahap ini,
penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan lebih baik dan
memudahkan para pemakai kamus dalam mencari kata-kata yang di ingin di ketahui
maknanya. Seperti penyusunan kamus Al
Ain karya Khalil Bin Ahmad Al Farahidy yang menggunakan sistematika Al Shawty
(pencarian kata berdasarkan sistem makharijul huruf)[14]
- Perkembangan Linguistic Arab modern
Menjelang lahirnya Linguistik
modern, ada hal yang sangat penting dalam studi bahasa yaitu adanya anggapan
bahwa ada hubungan kekerabatan antara bahasa sansekerta dengan bahasa-bahasa
yunani, latin dan bahasa-bahasa jerman lainya.
1)
Ferdinan
de Saussure (1857 - 1913)
Beliau dianggap
sebagai bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangannya mengenai
konsep: 1) Telaah Sinkronik dan Diakronik, 2) Perbedaan Langue dan Parole, 3)
Perbedaan Signifiant dan Signifie, 4) Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik banyak
berpengaruh dalam perkembangan linguistik di kemudian hari.[15]
2)
Aliran
Praha
Aliran Praha
terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya yaitu, Vilem
Mathesius (1882 - 1945). Tokoh-tokoh lainya adalah Nikolai S. Trubetskoy, Roman
Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar di sekitar tahun tiga
puluhan, terutama dalam bidang fonologi. Dalam bidang
fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi.
Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari
fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem.[16]
3)
Aliran
Glosematik
Aliran
Glosematik lahir di Denmark; tokohnya antara lain, Louis Hjemslev (1899 - 1965),
yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Namanya menjadi terkenal karena
usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas
dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis dan terminologis sendiri. Sejalan
dengan pendapat de Saussure, Hjemslev menganggap bahasa itu mengandung dua
segi, yaitu segi ekspresi (menurut de Saussure; signifiant) dan segi sisi
(menurut de Saussure; signifie). Masing-masing segi mengandung forma dan
substansi, sehingga diperoleh (1) forma ekspresi, (2) substansi ekspresi, (3)
forma isi, dan (4) substansi isi. Pembedaan forma dari substansi berlaku untuk
semua hal yang di telaah secara ilmiah; sedangkan pembedaan substansi dari isi
hanya berlaku bagi telaah bahasa saja.
4)
Aliran Firthian
Nama John R. Firth (1890 - 1960)
guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai
fonologi Prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada
tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan
satuan prosodi. Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu
konsonan dan vokal, sedangkan satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat
struktur yang lebih panjang daripada suatu segmen tunggal. Ada tiga macam pokok
prosodi, yaitu (1) prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata,
struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal; (2) prosodi yang
terbentuk oleh sendi atau jeda; dan (3) prosodi yang realisasi fonetisnya
melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental..[17]
5)
Linguistik
Sistemik
Nama aliran
linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K. Halliday, yaitu
salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa,
khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Teori yang
dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Sistemik Linguistik dalam bahasa
indonesia disebut sistem linguistik (SL) pokok-pokok pandangan SL adalah: Pertama,
SL memberi perhatian penuh pada segi
kemasyarakatan bahasa. Kedua, SL memandang bahasa sebagai pelaksana. SL
mengakui pentingnya perbedaan langue dari parole. Ketiga, SL lebih mengutamakan
pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya, tidak atau
kurang tertarik pada semestaan bahasa. Keempat, SL mengenal adanya gradasi atau
kontinum. Kelima, SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa yaitu subtansi,
forma, dan situasi.
6)
Leonard
Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Nama Leonard
Bloomfield (1877 - 1949) sangat terkenal karena bukunya yang berjudul language
(1933), dan selalu dikaitkan dengan aliran struktural Amerika. Istilah
strukturalis sebenarnya dapat dikenakan kepada semua aliran linguistic, sebab
semua aliran linguistic pasti berusaha menjelaskan seluk-beluk bahasa
berdasarkan strukturnya. Satu hal yang menarik dan merupakan ciri aliran
strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan
pentingnya data yang objektif untuk memerikan suatu bahasa, pendekatannya
bersifat empirik.[18]
7)
Aliran
Tagmemik
Aliran Tagmemik
dipelopori oleh Kenneth L. Pike, seorang tokoh dari Summer Institute of
Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfield, sehingga aliran ini
juga bersifat Strukturalis, tetapi juga Antropologis. Menurut aliran ini satuan
dasar dari sintaksis adalah tagmem (kata ini berasal dari bahasa yunani yang
berarti ‘susunan’). Yang dimaksud dengan Tagmem adalah korelasi antara fungsi
gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling
dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut. Misalnya, dalam kalimat pena itu berada
diatas meja; bentuk pena itu mengisi fungsi subjek, dan tagmem subjeknya
dinyatakan dengan pena itu.[19]
- Daftar Pustaka:
‘Athiyah, Nawwâl Muhammad. ‘Ilm al-Nafs
al-Lughawy. t.t,: Maktabah al-Anjlu
alMishriyah, 1975. Cet. I
Athiyah, Nawwâl Muhammad. ‘Ilm al-Nafs
al-Lughawy. t.t,: Maktabah al-Anjlu alMishriyah, 197. Cet. I
Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Edisi Revisi. Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2014
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Ke-4
htpp://cabiklunik.blogspot.co.id/2008/08/bahasa-bahasa-pemersatu.html/
http://dipaku2010.wordpress.com/2011/01/23/sejarah-perkembangan-bahasa-arab-2/
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001. Cet. Ke-5
Lyons, John. Introduction to Theoretical Linguistics. Terjemahan
Pengantar Teori Linguistik. oleh I. Sutikno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 1995
Shadily, John M. Echols dan Hassan. Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 1996. Cet. Ke-23
Taufiqurrahman, Leksikologi bahasa arab, (Yogyakarta: UIN
MALANG PRES, 2008)
Yendra, Mengenal
Ilmu Bahasa (Linguistik). Yogyakarta:
Deepublish. 2013
[1] John M. Echols
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), Cet.
Ke-23, h. 360
[2] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), Cet. Ke-4, h. 596.
[3] Nawwâl Muhammad ‘Athiyah, ‘Ilm al-Nafs al-Lughawy, (t.t,: Maktabah
al-Anjlu alMishriyah, 1975), Cet. I, h. 11
[4] Harimurti
Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001),
Cet. Ke-5, h. 128.
[5] John Lyons,
Introduction to Theoretical Linguistics (Terjemahan Pengantar Teori Linguistik
oleh I. Sutikno), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 1.
[6] Nawwâl Muhammad ‘Athiyah, ‘Ilm al-Nafs al-Lughawy, (t.t,: Maktabah
al-Anjlu alMishriyah, 1975), Cet. I, h. 11
[9] Pdf. Sejarah Perkembangan linguistik Arab 2
[10] Pdf. Sejarah Perkembangan linguistik Arab 2
[11] http://dipaku2010.wordpress.com/2011/01/23/sejarah-perkembangan-bahasa-arab-2/diunduh
14 Mei 2019, pukul 10.00 WIB
[12]
htpp://cabiklunik.blogspot.co.id/2008/08/bahasa-bahasa-pemersatu.html/diunduh
14 Mei 2019, pukul 10. 30 WIB
[13] Taufiqurrahman, Leksikologi bahasa arab, (Yogyakarta: UIN
MALANG PRES, 2008), hlm. 183-187
[14] Taufiqurrahma, Leksikologi bahasa arab, hlm. 203
[15]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2014), hlm. 346
[16]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 351
[17]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 355
[18]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 358
[19]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 361
Tidak ada komentar:
Posting Komentar