حدّثنا عبد الله بن
ينوس قال : أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنّها قال : جائت فاطمة
بنت أبي حبيش لرسول الله صلي الله عليه و سلّم :
يا
رسول الله إني لا أطخر , أفأ دع الصّلاة ؟ فقال : يا رسول الله صلي الله عليه و
سلّم ( إنّما ذلك عرق و ليس بالحيضة, فإذا أقبلة الحيضة فأترك الصّلاة , فإذا ذهب
قدرها, فاغسلي عنك الدّم و صلى )
Dikabarkan
‘Abdullah ibn Yunus berkata:
mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah
ra. Bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy
datang kepada Rasulullah SAW bersabda
kepadanya: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengeluarkan darah istihadhah.
Apakah aku tinggalkan halat?” Beliau menjawab: “ Jangan, karena itu hanyalah darah
penyakit. Akan tetapi tinggalkanlah shalat dengan perkiraan waktu panjangnya
masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat”.[1]
AL- Bukhari
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, beliau bernama lengkap Abu ‘Abdillah
Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Beliau adalah
ulama hadits yang sangat mahsyur, kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan.
Beliau lebih terkenal dengan nama al-Bukhari
(putra daerah Bukhara). Beliau dilahirkan setelah selesai salat Jum’at, pada
tanggal 13 bulan Syawal tahun 194 H ( 810 M) dikota Bukhara ( Khurasan atau
Turkistan Barat)[2].
Seorang Muhadditsin yang jarang
tandingannya ini sanagat wara’ , Beliau mendapat gelar ‘Amir al-Mukminin
dalam bidang hadits, sedikit makan, banyak membaca Qur’an baik siang maupun
malam serta gemar berbuat kebajikan terhadap anak-anaknya. Nenek moyang beliau
bernama al-Mughirah ibn Bardizbah, konon ia adalah orang Majusi yang kemudian
menyatakan keislamannya dihadapan walikota yang bernama alyaman ibn ‘Ahnas
al-‘Ju’fi, yang Karen inilah kemudian beliau dinasabkan dengan al-Ju’fi atas
dasar walaul-isam.
Ayahnya bernama Isma’il ibn Ibrahim
al-Ju’fi al-Bukhari. Ketika Bukhari masih kecil, ayahnya wafat sehingga ia
yatim sejak usia belia. Ayahnya adalah seorang ulama besar dibidang hadits.
Sang ayah juga seorang pembelajar hadits yang tekun. Sepeninggal ayahnya, Imam
Bukhari dididik oleh ibunya dengan tekn dan penuuh perhatian. Kasih sayang
ibunya begitu ia rasakan karena ayahnya telah tiada. Perpustakaan pribadi milik
ayahnya menjadi taman sekaligus teman belajarnya.
Orang besar dan mulia sering
terlihat sejak belianya. Begitu pula dengan Imam Bukhari terlihat sejak kecil.
Kecerdasan Bukhari sejak kecil. Ia dianugrahi oleh Allah SWT daya hafal yang
luar biasa kuat dan jiwa yang cemerlang.
Kecerdaannya mengalahkan kecerdasan anak-anak seusianya. Semangatnya
belajar hadits menggebu-gebu.
Imam al-Bukhari terus belajar dengan
giat dan semangat hingga masa berikutnya. Kecerdasan dan kemampuannya semakian
memancar hingga dikenal kaum mulimin sebagai ulama hadits yang ulung. Waktunya
digunakan utuk mempelajari hadits Nabi AW dengan hafalannya yang luar biasa. Ia
dikenal mempunyai hafalan yang menakjubkan. Mengenai kecerdasan dan
kehebatannya hafalannya, ulama-ulama
hadits dan semua orang mengakuinya. Tidak ada satupun yang meragukan kehebatan
hafalannya. Imam Bukhari berkata, “ aya hafal hadits diluar kepala sebanyak
100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih”.
Sejak berumur kurang lebih 10 tahun
sudah mempunyai perhatian dalam ilmu-ilmu hadits, bahkan sudah mempunyai
hafalan hadits yang tidak sedikit jumlahnya. Beliau merantau ke negri Syam,
Mesir, Jazirah sampai dua kali. Ke Basrah empat kali, Hijaz bermukim 6 tahun
dan pergi ke Bagdad bersama para ahli hadits yang lain, sampai berkali-kali.
Pada suatu ketika, beliau pergi ke Bagdad dan para ulama hadits di Bagdad
bersepakat menguji ulama muda yang mulai menanjak namanya.[3]
Ulama hadits tersebut terdiri dari 10 orang yang masing-masing akan
mengutarakan 10 hadits kepada beliau yang sudah ditukar-tukar sanad dan
matannya. Imam Bukhari diundang pada suatu pertemuan umum yang dihadiri juga
oleh muhadditsin dari dalam dan luar kota, bahkan diundang juga ulama hadits
dari Khusaran[4].
Satu demi satu dari 10 ulama hadits
tersebut menanyakan 10 hadits yang telah mereka pesiapkan. Jawaban beliau
terhadap setiap hadits yang dikemukakan oleh penanya pertama ialah saya tidak
mengetahuinya.
Demikianlah selesai penanya pertama,
majulah penanya kedua dengan satu persatu dikemukakan hadits yang sudah disiapkan
dan seterusnya sampai selesai yang kesepuluh dengan hadits-haditsnya sekali,
jawabannya pun saya tidak mengetahuinya. Tetapi setelah beliau mengetahui
gelagat mereka yang bermaksud mengujinya, lalu beliau menerangkan dengan
membenarkan dan mengembalikan sanad-sanadnya pada matan yang sebenarnya satu
persatu sampai semua selesai. Para ulama hadits tercengang dan terpaksa harus
mengakui kepandaiannya, ketelitiannya, dan kehafalannya dalam ilmu hadits.
Untuk
mendapatkan dan meneliti kebenaran sebuah hadits, ia rela melakukan perjalanan
jauh dalam waktu yang tidak sebentar Begitulah anugrah semangat yang Allah
berikan kepada imam hadits yang badanya kurus, tingginya sedang, kulitnya
kecoklatan, makannya sedikit, pemalu, pemurah, dan zuhud ini[5].
Guru
dan murid-muridnya[6]:
Beliau
telah memperoleh hadits dari beberapa hafidz, diantaranya Makky ibn
Ibrahim, ‘Abdullah ibn ‘Usman al- Syaibany, ‘Abdullah ibn Yusuf, dan Muhammad ibn ‘Abdullah al-Anshary.
Ulam-ulama besar yang mengambil hadits beliau diantaranya: Imam Muslim, Abu
Zur’ah, At- Turmudzi, Ibnu Khuzaimah, dan An-Nasa’i.
Karya-karya
beliau sangat banyak, diantaranya adalah:
1.
Jami’
al-Shahih
2.
Qadlayas-
Shahabah wa at-Tabi’in.
3.
At-
Tarikh al- Kabir
4.
At-Tarikh
al-‘Ausath
5.
Al-‘Adabu
al- Maunfarid
6.
Birru
al-Walidaini
7.
Dan
lain sebagainya.
Beliau sangat berhati-hati
menuliskan tiap hadits pada kitab ini. Setiap hendak mencantumkan dalam
kitabnya, belliau lebih dulu mandi dan shalat istikharah, minta petunjuk baik
kepada Allah SWT tentang hadits yang akan ditulisnya.
Seluruh ulama Islam diseluruh
penjuru dunia, setelah mengadakan penelitian sanad-sanadnya mengakui bahwa
seluruh sanad al-Bukhari adalah tsiqah, walaupun ada beberapa sanad yang
didakwa lemah, namun tidak terlalu lemah sama sekali.
Setelah sekian lama pergi menuntut
ilmu keberbagai negeri untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits Nabi serta
mengukir prestasi luar biasa dengan menyusun banyak kitab hadits yang paling
valid, beliau wafat pada malam Sabtu selesai shalat Isya, tempat pada malam
Idul Fitri 1 Syawal 252 H atau 31 Agustus 870 M dan dikebumikan sehabis shalat
Dzuhur di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari kota Samarkhand[7].
Akhir hayatnya diantarkan oleh kemuliaan akhir Ramadhan dan keagungan malam
hari raya ketka mulai bertakbi, bertahmid, serta bertahlil mengagungkan
asma-Nya. Sunggu sebuah tanda khusnul khatimah, insyaallah. Ia wafat pada usia
62 tahun kurang 13 hari.
‘Abdullah ibn Yunus
Al- Bukhari menerima hadits dari ‘Abdullah
ibn Yunus yang mempunyai nama asli Abu Muhammad al-Kala’iy ad-Damasyqiy.
Kuniyah adalah abu Muuhammad dan lahir dinegeri Damasykus. Wafat pada 180 H[8].
Beliau menimba ilmu kepada Malik,
‘Abdurrahman ibn Yazid ibn Jabir, al-Laits, Sa’id ibn ‘Abdul aziz. Adapun murid
beliau adalah al-Bukhari, Abu Hatim, Yahya ibn Utsman ibn Shalih, Bakar ibn
Sahal ad-Dimyati.
Pendapat para ulama terhadap beliau
adalah
1.
Abu
Hatim berkata, “ tsiqah”
2.
An-Nasa’i
berkata, ”tsiqah”
3.
Ibnu
Hibban disebutkan, “ tsiqah “
4.
Adz-Zahabi
mengatakan, “ al-hafidz”
5.
Ibu
Hajar “al-tsiqah hafidz”
Kesimpulan penulis tentang penilaian
kritikus hadits terhadap Dawud ibn Hind adalah seorang ulama hadits yang tsiqah.
Terjadi pertemuan antara Imam al-Bukhari dan ‘Abdullah ibn Yunus
karena adanya hubungan guru dan murid.
Malik ibn Anas
‘Abdullah ibn Yunus menerima hadits
dari Malik ibn Anas. Beliau bernama lengkap Malik ibn Anas ibn Malik ibn
abi ‘Amir ibn ‘Amr ibn al-Harits ibn
Ghaiman ibn Jutsail ibn ‘Amr ibn Harits Dzi Ashbah. Ia adalah seorang Imam Dar
al-Hijarah dan seorang faqih lahir di Madinah pada tahun 93 H dikota
Madinah, setelah tak tahan lagi menunggu didalam Rahim ibunya selama tiga tahun[9].
Ia adalah pakar ilmu fiqh dan hadits, pemuka madzhab Malikiyah. Silsilah beliau
berakhir sampai Ya’rub ibn al-Qahthan al-Shahaby.
Nenek
moyangnya, Abu Amir adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh
peperangan yang terjadi pada zaman Nabi SAW, kecuali perang Badar. Sedang
kakeknya Malik adalah seorang tabi’in yang besar dan fuqaha kenamaan dan salah
seorang dari empat orang tabi’in yang jenazahnya dihusung sendiri oleh Khalifah
‘Utsman ketempat pemakannya.
Beliau
adalah penyusun kitab al-Muthawatha al-Malik. Dalam penyusunannya, ia
menghabiskan waktu 40 tahun. Selama itu, ia menunjukkan kepada 70 ahli fiqh di
Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits yang meriwayatkan lebih dari
1000 orang.
Sebagian
seorang Muhadditsin yang konsekuen dengan ilmu yang dimilikinya, beliau tidak
pernah melalaikan berjama’ah, selalu aktif menjenguk kawan-kawannya yang sedang
sakit dan selalu melaksanakan kewajiban lainnya.
Beliau
terkenal sebagai ulama yang keras dalam mempertahankan pendapatnya, nila
dianggap benar. Beliau pernah diadukan oleh orang kepada khalifah Ja’far ibn
Sulaiman, paman Ja’far al-manshur dengan tuduhan tidak menyetujui pembai’atan
khalifah[10].
Menurut
Ibn al-Jauzi, beliau disiksa dengan cambukan 70 kali sampai ruas lengannya
sebelah atas tergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini dilakukan,
disebabkan fatwanya tidak sesuai dengan kehendak khalifah. Akhir dari
penyiksaan ini, namnya buka menjadi pudar, tetapi bahkan menjadi harum dan
martabatnya menjadi tinggi dikalangan para ahli ilmu.
Imam
Malik menerima hadits dari 900 orang guru, 300 dari golongan tabi’in dan 600
tabi’it tabi’in. Adapun guru-guru beliau adalah ‘Amir ibn ‘Abdullah ibn Zubair
al-‘Awwam, Sa’id ibn Mansur, ‘Abdullah ibn Raja’ al-Makkiy, Yahya ibn Yahya
an-Naisabury, Makkiy ibn Ibrahim, Qutaibah ibn Sa’id, Hisyam ibn ‘Ammar,
Nafi’ ibn Nu’aim, Abdullah ibn Dinar.
Murid
beliau diantaranya: Az-Zuhri, Yahya ibn
Sa’id al-Anshari, al-Laits ibn Sa’id, Sa’id ibn Mansur, Sawid ibn Sa’id, ibn
Qasim, al-Harits ibn Miskin, Imam asy-Syafi’i.
Pendapat
kritikus hadits terhadap Malik ibn Anas[11]:
1.
Yahya
ibn ma’in berkata, “Imam Malik adalah Amirul Mu’minin dalam (ilmu) hadits.
2.
Ibnu
Hibban berkata, “tsiqah[12]”.
3.
Imam
Syafi’i berkata, “ Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah
tabi’in.
4.
Seseorang
bertanya kepada Asy-Asyafi’i, “ Apakah anda menemukan seseorang yang ‘alim
seperti Imam Malik? Asy-Syafi’i menjawab:
Aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku,
mereka mengatakan kmi tidak menemukan orang yang ‘alim seperti Malik,
maka bagaimana kami menemukan yang seperti Malik?
5.
Hatim
dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa Malik bin Anas tsiqah.
6.
Imam
Bukhari mengatakaah bahwa sanad yang dikatakan Ashahhu al-Asanid, ialah bila
sanad itu terdiri dari Malik, Nafi’, dan Ibnu ‘Umar ra.
Disamping keahliannya dalam bidang
ilmu fiqh, seluruh ulama telah mengakuinya sebagai muhaddits yang
tangguh. Seluruh warga Negara Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya “ Sayyidi
Fuqaha al- Hijaz”.
Kesimpulan penulis tentang penilaian
kritikus hadits terhadap Malik ibn Anas adalah tsiqah dan ahli dalam
ilmu Fiqh. Terjadi pertemuan antara Dawud ibn Hind dan Malik ibn
Anas karena adanya hubungan guru dan murid.
Beliau mangkat pada hari Ahad, 14
Rabi’ul awwal 169 H, di Madinah dengan meninggalkan tiga orang putra, yakni
Yahya, Muhammad, dan Hammad.
Hisyam ibn
‘Urwah
Malik ibn Anas menerima hadits dari Hisyam ibn ‘Urwah ibn Zubair ibn
al-Awwam al-Quraisy Abdul Minzir al-Madani. Bernasab al-Assa’diy. Kuniyah
adalah Abu al- Mundzir. Lahir pada tahun 61 H di kota Madinah dan wafat pada
tahun 145 H di Bagdad dalam usia 87 tahun[13].
Guru-gurunya diantanya adalah
ayahnya, yaitu ‘Urwah ibn Zubair, Bakar ibn Wail, ‘Abdullah ibn Abu
Bakar ibn Hazm, ‘Abdullah ibn Zabir, ‘Abdullah ibn ‘Amir ibn Rabi’ah, ‘Amru ibn
Su’aib, Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Harits, Wahab ibn Kaisan, dan lain-lain.
Murid-murid beliau adalah Malik ibn
Anas, Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar, ima’il ibn iyas, Hati ibn Isma’il, Hafsh
ibn ‘Iyas, Hammad ibn Zaid, Khalid ibn Harits, Sufyan ats-Tsauri, dan lain
sebagainya,
Pendapat
kritikus hadits terhadap Hisyam ibn ‘Urwah adalah[14]:
1.
Al-‘Ijli
berpendapat, “tsiqah”
2.
Abu
Hatim berkata, “tsiqah, imam fi al-hadits”
3.
Ibnu
Hibban disebutkan dalam tsiqah
4.
Ibnu
Hajar al-Asqalani mengatakan, “tsiqah dan faqih”
5.
Adz-Dzahabi
berkata, “seorang tokoh ternama”
6.
Ibnu
Sa’id berkata, “Hisyam ibn ‘Urwah tsiqah dan banyak haditsnya”
Kesimpulan penulis tentang penilaian
kritikus hadits terhadap Hisyam ibn ‘Urwah adalah tsiqah dan faqih. Terjadi pertemuan antara Malik
ibn Anas dan Hisyam ibn ‘Urwah karena adanya hubungan guru dan murid.
‘Urwah ibn
Zubair
Hisyam ibn ‘Urwah menerima
hadits dari ayahnya, yaitu ‘Urwah ibn
Zubair yang mempunyai nama lengkap ‘Urwah ibn Zubair ibn al-‘Awwam
al-Asadiy.[15] Beliau adalah seorang tabi’in yang lahir
pada awal masa khalifah Utsman. Wafat pada tahun 94 H. beliau adalah salah satu fuqaha di
Madinah. Beliau adalah keponakan dari ‘Aisyah binti Abu Bakar. ‘Urwah ibn
Zubair gemar menulis banyak buku. Ia
meninggal dalam keadaan berpuasa.
Beliau banyak menuntut ilmu kepada
banyak para ulama diantaranya adalah ‘Aisyah ra, ‘Amrah binti ‘Abdurrahman, Fatimah ibn Qais,
Asma’ binti Abu Bakar Siddiq, Abi Sa’id al-Khudriy, Abi Salamah ibn Abdurrahman
ibn ‘Auf, Abi Hamid ashSa’di, Abu Hurairah.
Adapun orang-orang yang meriwayatkan
darinya diantaranya adalah Hisyam ibn ‘Urwah, Ja’far ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn
al-husain, Khalid ibn Abi ‘Imran, Shalih
ibn Kaisan, Shafwan ibn Salim, ‘Utsman ibn ‘Urwah ibn Zabair, ‘Atha ibn Abi
Rabah, dan lain sebagainya.
Pendapat
kritikus hadits terhadap ‘Urwah ibn Zubair adalah:
1.
Ibnu
Hajar mengatakan, “tsiqah”
2.
Adz-Dzahabi
dari Ibnu Sa’id mengatakan, “ ‘Urwah ibn Zubair adalah seorang yang faqih dan terdapat banyak hadits”[16].
Kesimpulan penulis tentang penilaian
kritikus hadits terhadap ‘Urwah ibn Zubair adalah tsiqah dan faqih terjadi pertemuan antara Hisyam
ibn ‘Urwah dan ‘Urwah ibn Zubair karena adanya hubungan ayah dan anak yang
saling belajar mendalami hadits.
‘Aisyah
‘Urwah
ibn Zubair menerima hadits dari ‘Aisyah
istri Nabi Muhammad SAW. ‘Aisyah putri
‘Abdullah ibn Quhafah atau dikenal dengan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. ‘Aisyah
lahir tepat tahun setelah Muhammad saw diangkat menjadi Rasul dan ‘Aisyah wafat
pada usia 66 tahun dimakanman di Baqi[17].
Nabi Muhammad SAW menikahi ‘Aisyah dengan mas kawin 500 dirham ‘Aisyah baru
berumur sekitar sepulluh tahun[18].
Dengan kehadiran ‘Aisyah, kekosongan
hati Rasulullah setelah ditinggal wafat oleh khadijah, berhasil digantikan oleh
‘Aisyah. Kecintaan Rasul kepada ‘Aisyah membuat para istri nabi yang lain ada
yang cemburu.
Sebagai istri Nabi SAW, ‘Aisyah
telah diberikan keistimewaan oleh Allah yang tidak diberikan kepada istri-istri
yang lain. Keistimewaan itu diungkap sendiri oleh ‘Aisyah, yakni[19]:
·
Aku
putri khalifah dari kawan Rasulullah SAW
·
Aku
diciptakan dari keluarga yang baik dan untuk orang yang baik
·
Aku
dijanjikan oleh Allah penampunan dan rejeki yang mulia (surga)
·
Nabi
wafat dengan kepala beliau berada di pangkuan ku
·
Nabi
Muhammad dimakamkan dirumahku
·
Ketika
terjadi perang Bani Musthalik, ‘Aisyah terpilih untuk menyertai Rasulullah SAW
berperang. adalah tsiqah.
Sayyidina Ali memuji ‘Aisyah dengan ucapannya “ Jika seorang
khalifah bisa menjadi khalifah, maka dia adalah ‘Aisyah”. Dalam beberapa riwayat
dijelaskan tetang keutamaan ‘Aisyah, yaitu ia sangan menguasai hadits, dan
al-Qur’an. Juga paling mahir dalam merubah syair.
Karena kecerdasannya Abu Musa
al-‘Asyari berkata, “ Jika para sahabat Rasul menghadapi kesulitan tentang
suatu hadits, maka kami mendatangi ‘Aisyah dan pasti menemukan pemecahannya”.
Bahkan al-Hakim menegaskan, “ Seperempat dari hukum syariat adalah dinukilkan
dari ‘Aisyah”
‘Aisyah adaah orang yang paling
dekat dengan Rasulullah SAW, sehingga ia banyak menyaksikan turunnya wahyu
kepada Nabi SAW. Karena itulah ‘Aisyah
banyak mengetahui hadits dan dikenal sebagai perawi hadits yang mampu
mengistinbahkan hukum.
Para ulama hadits menempatkan
‘Aisyah urutan ke lima dari penghafal hadits
setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas ibn Malik, dan Ibnu ‘Abbas.
Penguasaan Qur’an dan hadits yang mendalam dari ‘Aisyah seperti yang telah
dijelaskan oleh Abu Salamah, “ Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih
mengetahui sunnah Nabi SAW, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih
mengetahui al-Qur’an turun, serta lebih mengatahui kewajibannya, kecuali
‘Aisyah”.
Ketika Rasulullah SAW sakit
menjelang ajalnya, ‘Aisyah merawat Rasulullah hingga akhir hayatnya. Rasulullah
SAW dikuburkan tepat diatas ranjang beliau, yaitu dukamar ‘Aisyah. Dalam tidur
‘Aisyah, ia bermimpi melihat tiga bulan jatuh dikamarnya. Ketika hal itu ia
beritahukan kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu
benar, maka dirumahmuakan dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi
ini.”
Ternyata orang yang paling mulia
setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar dan Umar. Kedua orang ini berwasiat agar
dikuburkan berdekatan dengan makan Rasulullah SAW. Rasulullah tidak
menunggalkan warisan kepada istri-istrinya. ‘Aisyah menjelaskan hal itu kepada
para istri Nabi yang mengutus Utsman untuk meminta bagian mereka. ‘Aisyah
berkata, “ Bukankah Rasulullah SAW telah berkata, kami telah meninggalkan harta
warisan apa-apa. Harta yang kami tinggalkan adalah sedekah. Setelah Rasulullah SAW
wafat, banyak sahabat yang menemui ‘Aisyah untuk bertanya masalah hadits[20].
(KRITIK MATAN HADIS ISTIHADHAH)
حدّثنا
عبد الله بن ينوس قال : أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنّها قال :
جائت فاطمة بنت أبي حبيش لرسول الله صلي الله عليه و سلّم :
يا
رسول الله إني لا أطخر , أفأ دع الصّلاة ؟ فقال : يا رسول الله صلي الله عليه و
سلّم ( إنّما ذلك عرق و ليس بالحيضة, فإذا أقبلة الحيضة فأترك الصّلاة , فإذا ذهب
قدرها, فاغسلي عنك الدّم و صلى )
Dikabarkan ‘Abdullah ibn Yunus berkata: mengabarkan kepada kami Malik
dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah ra. Bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “ Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku mengeluarkan darah istihadhah. Apakah aku tinggalkan shalat?”
Beliau menjawab: “ Jangan, karena itu hanyalah darah penyakit. Akan tetapi
tinggalkanlah shalat dengan perkiraan waktu panjangnya masa haidmu, setelah itu
mandi dan kerjakanlah shalat”.[21]
Pengertian Istihadhah
Secara bahasa
istihadhah mempunyai arti mengalir. Dan secara istilah syar’I, istihadhah
adalah darah penyakit yang keluar dari farji wanita yang tidak sesuai dengan
ketentuan haid dan nifas.[22]
Istihadhah sebenarnya bukanlah haid dan tidak ada hubungan dengannya.
Istihadhah disebut demikian sebagai kiasan, karena sebenarnya istihadhah adalah
darah yang keluar akibat penyakit. Rasulullah SAW menyebutnya dengan ‘irq,
dan ‘irq adalah aliran darah dalam tubuh.[23]
Istihadhah adalah
mengalirnya darah pada waktu yang tidak biasa. Keluarnya darah akibat tumor,
radang, penyakit-penyakit Rahim, pada leher rahim atau pada kemaluan wanita.
Dan bias saja darah keluar lantaran banyak mengonsumsi obat-obatan atau karena
kondisi kejiwaan.[24]
Penelitian Matan
Hadits dengan Pendekatan Hadits Shahih
Hadits ini
diinformasikan oleh beberapa jalur periwayatan hadits diantaranya melalui al-
Bukhari, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i.
Al-Bukhari, bab
: الإستحاضة
حدّثنا عبد الله بن
ينوس قال : أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنّها قال : جائت فاطمة
بنت أبي حبيش لرسول الله صلي الله عليه و سلّم :يا رسول الله إني لا أطخر , أفأ دع
الصّلاة ؟ فقال : يا رسول الله صلي الله عليه و سلّم ( إنّما ذلك عرق و ليس
بالحيضة, فإذا أقبلة الحيضة فأترك الصّلاة , فإذا ذهب قدرها, فاغسلي عنك الدّم و
صلى )
at-Tirmidzi,
bab: ما جاء في المستحاضة
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَعَبْدَةُ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي
حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ
الصَّلَاةَ ؟ قَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا
أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ
الدَّمَ وَصَلِّي[25]
An-Nasa’i, bab: باب ذِكْرِ الاِسْتِحَاضَةِ وَإِقْبَالِ الدَّمِ
وَإِدْبَارِه
أَخْبَرَنَا
عِمْرَانُ بْنُ يَزِيدَ، قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، -
وَهُوَ ابْنُ سَمَاعَةَ - قَالَ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، قَالَ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ،
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، مِنْ بَنِي أَسَدِ قُرَيْشٍ أَنَّهَا أَتَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ أَنَّهَا تُسْتَحَاضُ فَزَعَمَتْ
أَنَّهُ قَالَ لَهَا " إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ فَإِذَا أَقْبَلَتِ
الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَاغْسِلِي
عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي "
Pada
ketiga matan diatas terlihat jelas
perbedaan lafadz yakni, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi,
an-nasa’i, hadits tersebut menunjukkan kepada kita bahwa hadits yang diriwayatkan
oleh perawi tsiqah pun dapat terjadi perbedaan lafal matan hadits
yang diriwayatkannya, maka dapat disimpulkan hadits ini adalah riwayat bi al-
makna.
Setelah melakukan perbandingan pada
hadits yang semakna, maka dapat disimpulkan bahwa Intisari Hadits adalah
sebagai berikut:
Jika wanita mengalami istihadah, maka dia
perlu membedakan warna, yakni:
haid = merah kehitaman dan istihadah =
merah.
Pada hari darahnya kehitaman maka dia mesti
meninggalkan shalat. Dan jika darah
berubah warna kemerahan, maka itu menandakan
dia suci dari haid. Hendaklah dia
mandi wajib, berwudu lalu bershalat.
Pada saat haid, wanita harus meninggalkan
shalat, namun sekiranya darah tersebut
berubah, dari hitam menjadi merah, maka
hal ini pertanda suci dari haid.
Karenanya, ia boleh berwudhu dan shalat
lantaran sudah suci kembali.
Wanita yang
istihadah hendaklah berwudu setiap kali shalat; kerana hukumnya sama
seperti orang yang hadasnya tidak terputus.
Mereka yang tidak terputus hadas seperti
mustahadah, salisul baul, mazi, angin atau
luka
yang darahnya tidak berhenti, maka dia wajib membersihkan najis dan tempat
najis kemudian berwuduk setiap kali solat,
jika ada keluar sesuatu.
Wajib membersihkan darah untuk shalat kerana
ia adalah najis berdasarkan ijma’.
Wanita
wajib solat apabila telah terhentinya darah haid.
Adapun hukum bagi darah istihadhah tidak sama
dengan hukum darah haid yang boleh meninggalkan shalat, dan lain sebagainya.
Darah istihadhah adalah darah penyakit
dimana wanita yang mengalaminya tetap dianggap suci, ia melakukan segala sesuatu yang dilakukan oleh wanita.
Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
Warnanya
merah, baunya seperti darah biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan
ketika keluar langsung mengental. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila
dibandingkan dengan darah istihadlah:
- Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan
darah istihadlah umumnya merah segar.
- Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras
sedangkan istihadlah lunak.
- Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah
istihadlah sebaliknya
- Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
Ada tiga
kondisi wanita istihadhah:
Kondisi Pertama
Darah keluar terus dan tidak ada
kebiasaan yang dikenali, baik karena lupa maupun karena memasuki usia baligh
dalam keadaan istihadhah, sehingga wanita tidak bias membedakan darah haid.
Dalam kodisi ini, dia memperkirakan masa haid menurut kebiasaan kaum hawa pada
umumnya.
Ahmad dan Ishaq berpendapat seputar
wanita istihadhah. Jika dia mengetahui siklus haidnya, maka hukkum yang berlaku
atasnya berdasarkan hadits Fatimah binti Hubaisy Jika wanita istihadhah sudah
mengetahui siklus haidnya sebelum mengalami istihadhah, maka ia hars
meninggalkan shalat pada saat haidnya, kemudian mandi dan wudhu setiap shalat,
lalu mengerjakan shalat.
Kondisi Kedua
Wanita yang sudah mengetahui masa
haid sebelum mengalami istihadhah dalam kodisi ini dia mengacu pada masa haid
dan darah yang keuar elebihnya adalah darah istihadhah.
Kondisi Ketiga
Wanita yang tidak mempunyai siklus
haid yang konsiten, namun ia bisa mebedakan haid dengan yang lainnya (tamyiz).
Dalam kondisi ini, dia berpedoman pada tamyiz.
Urwah ibn az-Zubair meriwayatkan
dari ‘Aisyah ra bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami istihadhah. Rasul
bersabda, “ Sesungguhnya darah haidnya itu darah hitam yang sudah
diketahui, Jika demikian maka tinggalah
shalat. Jika selain itu maka berwudunya dan shalatlah. “ (HR. an-Nasa’i)
Hadits diatas mebuat hukum fiqh yang
dipaparkan oleh Nabi SAW kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, yang sedang bimbang.
Karena wanita yang mengalami nazf rahmi (istihadhah), mengeluarkan darah
sepanjang bula atau lebih, dan tidak tahu kapan hars shalat, dan kapan harus
meninggalkan shalat.
Nabi Saw menjelaskan bahwa Fatiman
binti Abu Hubaisy harus merujuk pada kebiasaan semula, sebelum mengalami
istihadhah.
Bisa kita ilustrasikan, Fatimah
binti Abu Hubaisy mendapat haid pada hari ke sepuluh tiap bulan dan berakhir
pada hari ketujuh belas. Jadi dia diperintahkan untuk meninggalkan shalat
selama masa itu- dari hari kesepuluh
sampai hari ke tujuh belas- setiap bulannya. Selebihnya ia shalat setelah mandi
dan membersihkan darahya karena ia najis. Shalatnya tidak sah bila darah belum
diberihkan. Dia berwudhu untuk setiap shalat. Inilah hukum shalat bagi yang
udzur.[26]
Perbedaan
antara darah haidh dan darah istihadhah[27]:
Haid adaalah darah yang telah Allah
tetapkan pada diri kaum hawa yang umumnya terjadi setiap bulan sebagaimana yang
telah disebutkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW. Adapun mengenai
wanita mustahadhah dalam hal ini ada tiga kondisi.
Pertama: Wanita yang mengalami haid
pada masa-masa haid yang pertama kali, maka baginya harus meninggalkan shalat
dan puasa selama mengeluarkan darah haid itu pada tiap bulannya, dan tidak
boleh bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya saat itu hingga habis masa haid,
yaitu lima belas hari paling lama menurut sebagian besar ulama. Jika darah
tetap mengalir selama lebih dari lima belas hari, maka darah ini adalah darah
istihadhah.
Kedua: jika ia bisa membedakan, maka
hendaklah ia meninggalkan shalat, puasa, dan tidak bercampur dengan suaminya,
setelah selesai masa itu mandi (bersuci) dan melaksanakan shalat, dengan syarat
bahwa masa haid itu tidak lebih dari lima belas hari.
Ketiga:
Wanita ini memiliki masa haid yang telah diketahui, maka ia harus meninggalkan
shalat pada masa itu., lalu jika masa haid itu telah habis, maka ia harus
segera mandi dan berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat jika telah masuk
waktu shalat.[28]
Penelitian
Matan Hadits dengan Pendekatan Bahasa
فَاطِمَةُ
بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ dengan dhammah pada huruf haa’ tanpa titik,
fathah pada huruf baa’ bertitik satu dan sukun pada huruf yaa’
bertitik dua dibawah (yakni Hubaisy), al-Hafidz mengatakan didalam at-Taqrib,
ia seorang wanita sahabat yang meriwayatkan hadits tentang istihadhah”.
إِنِّي
امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ ( sesungguhnya aku wanita mustahadhah)
dengan bentuk redaksi majhul (yakni: ustahaadhu), فَلَا
أَطْهُر (sehingga tidak pernah suci) yakni darhnya tidak pernah
berhenti keluar. أَفَأَدَعُ
الصَّلَاةَ ؟(Apa aku harus meninggalkan shalat?), ia
telah mengetahui bahwawanita haid tidak boleh melaksanakan shalat, maka ia
mengira bahwa hukum itu dikarenakan keluarnya darah dari kemaluan, lalu ia
ingin mencari kejelasan hal itu, maka ia pun bertanya, apa aku harus
meninggalkan shalat?, yakni tidak melaksanakannya[29].
Bersambungnya kaliamat
pertanyaan setelah hamzah (yang bermakna: apakah) karena ini termasuk
bagian lanjutan dari perkataan itu, artinya, apakah berlaku padaku hukum wanita
haid setelah aku harus meninggalkan
shalat. لَا ( tidak), yakni jangan engkau meninggalkan
shalat.إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْق
(sesungguhnya itu adalah darah penyakit) dengan kasrah berbentuk ‘ain
bertitik satu ( yakni: ‘irq), yakni darah pada pembuluh darah karena
luka atau penyakit lalu memancarkan darah darinya, atau darah itu disebabkan
oleh pembuluh darah atau penyakit yang
ada di bawah rahim.
وَلَيْسَتْ
( dan bukan), yakni bukan yang seperti engkau ragukan. بِالْحَيْضَة
( haid), al-Hafidz berkata, “ dengan fathah pada huruf haa’, sebagai
mana yang dinukil oleh a-Khaththabi dari mayoritas ahl hadits, walaupun ia
memilih harakat kasrah bila yang dimaksud untuk menunjukan kondisi (yakni hiidhah),
namun disini dengan fathah lebih jelas.
An-Nawawi berkata, “
ini yang pasti atau hampir pasti, karena Nabi SAW hendak memastikan istihadhah
dan menafikan istihadhah. Al-Hafidz juga berkata, “ adapun yang dikemukakan
dalam riwayat kamia adalah dengan fathah pada keduanya,” فَإِذَا
أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ ( bila haid datang),
al-Qari berkata, “ dengan kasrah sebagai sebutan untuk haid. Hal ini
ditegaskan oleh riwayat al-Fath. Dikatakan juga bahwa yang dimaksud itu adalah
kondisi dimana waita mengalami haid[30].
Dikatakan juga, bahwa
yang dimaksud adalah kondisi haid berdasarkan kondisi darah, yaitu berdasarkan
warna dan sifatnya. Inii ditegaskan oleh Urwah yang dikemukakannya, dimana
disebutan bahwa wanita tidak mengetahui hari-hari yang biasanya mengalami haid,
sehingga standarnya dikembalikan dengan cara membedakan kondisi darah.
Hadits ini menunjukkan
bahwa bila wanita dapat membedakan darah haid dan darah istihadhah, maka
berpatokan pada darah haid tentang mulai dan selesainya haid. Bila waktunya
telah berlalu maka berpatokan pada darah haid, kemudian setelah itu hukumnya
sebagai darah istihadhah yaitu yaitu hukum hadats sehingga ia berwudhu untu
setiap shalat, hanya saja dengan wudhu itu ia tidak elakukan shalat fardhulebih
dari satu kali, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun qadha’, hal itu berdasarkan
konteks sabda beliau SAW, “ kemudia berwudhulah untuk setiap shalat”. Dengan demikian
yang dikatakan oleh jumhur[31].
Sementara menurut ulama
madzhab Hanafi, bahwa wudhu itu berkaitan dengan waktu shalat, sehingga dengan
waktu itu seorang wanita bolehmengerjakan shalat fardhu saat iu dan lainnya
yang terlewat selama belum habis waktu shalat saat itu.
Menurut madzhab Maliki,
dianjurkan berwudhu untuk setiap shalat namun tidak diwajibkan kecuali karena
hadats lain. Ahmad dan Ishak berkata, “Jika mandi untuk melakanakan setiap
shalat fardhu, maka itu lebih presessif.”[32]
Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa hadits ini adalah hadits qauliyah.
Penelitian
Matan Hadits dengan Pendekatan Sejarah
Salah
satu langkah yang ditempuh untuk melakukan penelitian matan hadits adalah
melalui peristiwa yang melatar belakangi suatu hadits (asbab al-wurud). Dan
asbab al-wurud hadits bisa didapatkan dari lafal matan hadits tersebut.
Dalam hasits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwasannya ‘Aisyah menceritakan kepada Fatimah
binti Abi Hubaisy mengatakan kepada Rasulullah SAW, “ Wahai Rasulullah saya
belum juga bersih,apakah boleh saya meninggalkan shalat? Nabi SAW menjawab, Apakah aku
tinggalkan shalat?” Beliau menjawab: “ Jangan, karena itu hanyalah darah
penyakit. Akan tetapi tinggalkanlah shalat dengan perkiraan waktu panjangnya
masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat”.
Keterangan:
Fatimah binti Hubaisy datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan
tentang istihadhah, kemudian Rasulullah SAW menjelaskan bahwa darah haid itu
warnanya hitam yang biasa dikenal. Bila darah itu yang terlihat hendaklah
berhenti shalat. Kalau warna lain, maka wudhulah lalu shalatlah, karena darah
pada masa istihadhah itu adalah penyakit bukan haid.[33]
[1] Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab Haid, bab Istihadhah, halaman:
49
[2] Ibnu Ahmad
‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 170
[3]
Ibnu Ahmad
‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 172
[4]
Ibnu Ahmad
‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 173
[5] Ibnu Ahmad
‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 174
[6] Drs. Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: PT. Alma’arif,1974),
h.377.
[7] Ibnu Ahmad
‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h.169
[8] Abu ‘Abdullah
Shamsuddin adz-Dzahabi, Tadzkiratu al-Huffadz, (India: Dairatu
al-Ma’arif Idsmania, 1955), jilid 1,
h.405
[9] Drs. Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: PT. Alma’arif,1974),
h.367
[10] Drs. Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: PT. Alma’arif,1974),
h.368
[11] Ibnu Hajar, Tahdzib
at-tahdzib, juz 8, ( Bairut: Dar al-Fikr), h. 9.
[12] Dalam buku Metodologi
Kritik Hadits, Tsiqah adalah ‘adil dan dhabit. Lihat juga Ibnu Ahmad
‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h 115
[13] Abu ‘Abdullah
Shamsuddin adz-Dzahabi, Tadzkiratu al-Huffadz, (India: Dairatu al-Ma’arif
Idsmania, 1955), jilid 1, h. 144
[14] Adz-Dzahabi, al-Kasyif,
juz 1, ( Darul Kutub al-‘Alamiyah, 748 H), h.197
[16] Adz-Dzahabi, al-Kasyif,
juz 1, ( Darul Kutub al-‘Alamiyah, 748 H), h.229
[17] Jannatul Baqi
adalah pemakaman utama yang terletak di Madinah, Arab Saudi, berseberangan
dengan masjid Nabawi dimana nabi Muhammad SAW dikuburkan. Dipemakaman ini
banyak terdapat keluarga serta sahabat Nabi SAW yang dikuburkan. Junnatul Baqi
berarti taman surga, juga dikenal dengan Baqi al-Gharqad. Yang dimakamkan di
Baqi, sekitar 10.000 jenazah. Oarang pertama yang dimakamkan di Baqi adalah
As’ad ibn Zurarah, sahabat Anshar yang meninggal tak lama setelah Nabi hijrah
ke Madinah. Nabi memilih tempat utuk menjadi kuburannya.
[18] Dr. Hasbi
Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Madani, 2009), h.31
[19] Dr. Hasbi
Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Madani, 2009), h.32
[20] Dr. Hasbi
Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Madani, 2009), h. 32
[21] Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab Haid, bab Istihadhah,
halaman: 49
[22]Pondok
Pesantren Lirboyo, Uyunul Masail Linnisa, (Kediri: Lajnah Bahtsul
Masa’il), h. 70
[23] Syaikh Abdul
Qadir Muhammad Manshur, Panduan Shalat
Khusus Wanita Shalat yang
Benar Menurut al-Qur’an dan Sunnah, ( Jakarta: Almahira, 2009), h. 67
[24] Abdullah ibn
Abdurrahman, Syarah Bulughul Maram, ( Jakarta: Puastaka Azzam Anggota
IKAPI DKI Kakarta, 2009), h. 448
[25] قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ فِي حَدِيثِهِ وَقَالَ تَوَضَّئِي لِكُلِّ
صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيء ذَلِكَ الْوَقْتُ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ
وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ أَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ إِذَا جَاوَزَتْ
أَيَّامَ أَقْرَائِهَا اغْتَسَلَتْ وَتَوَضَّأَتْ لِكُلِّ صَلَاة
Abu
Mu’awiyah mengatakan didalam haditsnya: “ Dan beliau bersabda, “Berwudhulah
untuk setiap shalat hingga datangnya waktu itu”. Ia berkata, “ Mengenai masalah
ini ( ada riwayat lain) daru Ummu Salamah.”
Demikian
juga yang dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri, Malik, Ibnu al-Mubarak dan
asy-Syafi’I, bahwa wanita mustahadhah bila telah melewati hari-hari haidnya,
maka ia mandi, dan berwudhu untuk setiap shalat.
[26] Syaikh Abdul
Qadir Muhammad Manshur, Panduan Shalat Khusus Wanita Shalat yang Benar
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, ( Jakarta: Almahira, 2009), h.73
[27] Syaikh Abdul
Qadir Muhammad Manshur, Panduan Shalat Khusus Wanita Shalat yang Benar
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, ( Jakarta: Almahira, 2009), h.98
[28] Pendapat ini
adalah ringkasan dari apa yang telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari
Nabi SAW tentang wanita yang mengeluarkan darah istihdhah, pendapat ini
disebutkan leh pengarang kitab Bulghul Maram, yaitu al-Hafidzz Ibnu
Hajar dan pengarang kitab al-Muntaqa yaitu syaihkul Islam Almajd Ibnu
Taimiyah.
[29] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman
ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1(
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.756.
[30] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman
ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1(
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.757
[31] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman
ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1
( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 759
[32] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman
ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1
( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 760
[33] H.M. Suwarta
Wijaya, B.A, Asbabul Wurud 2, (Jakarta pusat: Radar Jaya Offset Jakarta,
2004), h.134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar