Minggu, 19 Mei 2019

TUGAS METODE KRITIK HADIS KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS ISTAHADHAH (Eljuwairy)



حدّثنا عبد الله بن ينوس قال : أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنّها قال : جائت فاطمة بنت أبي حبيش لرسول الله صلي الله عليه و سلّم :
 يا رسول الله إني لا أطخر , أفأ دع الصّلاة ؟ فقال : يا رسول الله صلي الله عليه و سلّم ( إنّما ذلك عرق و ليس بالحيضة, فإذا أقبلة الحيضة فأترك الصّلاة , فإذا ذهب قدرها, فاغسلي عنك الدّم و صلى )
            Dikabarkan ‘Abdullah ibn Yunus  berkata: mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah ra. Bahwa  Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada  Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengeluarkan darah istihadhah. Apakah aku tinggalkan halat?” Beliau menjawab: “ Jangan, karena itu hanyalah darah penyakit. Akan tetapi tinggalkanlah shalat dengan perkiraan waktu panjangnya masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat”.[1]

AL- Bukhari
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, beliau bernama lengkap Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Beliau adalah ulama hadits yang sangat mahsyur, kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan. Beliau lebih terkenal dengan nama al-Bukhari (putra daerah Bukhara). Beliau dilahirkan setelah selesai salat Jum’at, pada tanggal 13 bulan Syawal tahun 194 H ( 810 M) dikota Bukhara ( Khurasan atau Turkistan Barat)[2].
            Seorang Muhadditsin yang jarang tandingannya ini sanagat wara’ , Beliau mendapat gelar ‘Amir al-Mukminin dalam bidang hadits, sedikit makan, banyak membaca Qur’an baik siang maupun malam serta gemar berbuat kebajikan terhadap anak-anaknya. Nenek moyang beliau bernama al-Mughirah ibn Bardizbah, konon ia adalah orang Majusi yang kemudian menyatakan keislamannya dihadapan walikota yang bernama alyaman ibn ‘Ahnas al-‘Ju’fi, yang Karen inilah kemudian beliau dinasabkan dengan al-Ju’fi atas dasar walaul-isam.
            Ayahnya bernama Isma’il ibn Ibrahim al-Ju’fi al-Bukhari. Ketika Bukhari masih kecil, ayahnya wafat sehingga ia yatim sejak usia belia. Ayahnya adalah seorang ulama besar dibidang hadits. Sang ayah juga seorang pembelajar hadits yang tekun. Sepeninggal ayahnya, Imam Bukhari dididik oleh ibunya dengan tekn dan penuuh perhatian. Kasih sayang ibunya begitu ia rasakan karena ayahnya telah tiada. Perpustakaan pribadi milik ayahnya menjadi taman sekaligus teman belajarnya.
            Orang besar dan mulia sering terlihat sejak belianya. Begitu pula dengan Imam Bukhari terlihat sejak kecil. Kecerdasan Bukhari sejak kecil. Ia dianugrahi oleh Allah SWT daya hafal yang luar biasa kuat dan jiwa yang cemerlang.  Kecerdaannya mengalahkan kecerdasan anak-anak seusianya. Semangatnya belajar hadits menggebu-gebu.
            Imam al-Bukhari terus belajar dengan giat dan semangat hingga masa berikutnya. Kecerdasan dan kemampuannya semakian memancar hingga dikenal kaum mulimin sebagai ulama hadits yang ulung. Waktunya digunakan utuk mempelajari hadits Nabi AW dengan hafalannya yang luar biasa. Ia dikenal mempunyai hafalan yang menakjubkan. Mengenai kecerdasan dan kehebatannya  hafalannya, ulama-ulama hadits dan semua orang mengakuinya. Tidak ada satupun yang meragukan kehebatan hafalannya. Imam Bukhari berkata, “ aya hafal hadits diluar kepala sebanyak 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih”.
            Sejak berumur kurang lebih 10 tahun sudah mempunyai perhatian dalam ilmu-ilmu hadits, bahkan sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak sedikit jumlahnya. Beliau merantau ke negri Syam, Mesir, Jazirah sampai dua kali. Ke Basrah empat kali, Hijaz bermukim 6 tahun dan pergi ke Bagdad bersama para ahli hadits yang lain, sampai berkali-kali. Pada suatu ketika, beliau pergi ke Bagdad dan para ulama hadits di Bagdad bersepakat menguji ulama muda yang mulai menanjak namanya.[3] Ulama hadits tersebut terdiri dari 10 orang yang masing-masing akan mengutarakan 10 hadits kepada beliau yang sudah ditukar-tukar sanad dan matannya. Imam Bukhari diundang pada suatu pertemuan umum yang dihadiri juga oleh muhadditsin dari dalam dan luar kota, bahkan diundang juga ulama hadits dari Khusaran[4].
            Satu demi satu dari 10 ulama hadits tersebut menanyakan 10 hadits yang telah mereka pesiapkan. Jawaban beliau terhadap setiap hadits yang dikemukakan oleh penanya pertama ialah saya tidak mengetahuinya.
            Demikianlah selesai penanya pertama, majulah penanya kedua dengan satu persatu dikemukakan hadits yang sudah disiapkan dan seterusnya sampai selesai yang kesepuluh dengan hadits-haditsnya sekali, jawabannya pun saya tidak mengetahuinya. Tetapi setelah beliau mengetahui gelagat mereka yang bermaksud mengujinya, lalu beliau menerangkan dengan membenarkan dan mengembalikan sanad-sanadnya pada matan yang sebenarnya satu persatu sampai semua selesai. Para ulama hadits tercengang dan terpaksa harus mengakui kepandaiannya, ketelitiannya, dan kehafalannya dalam ilmu hadits.
Untuk mendapatkan dan meneliti kebenaran sebuah hadits, ia rela melakukan perjalanan jauh dalam waktu yang tidak sebentar Begitulah anugrah semangat yang Allah berikan kepada imam hadits yang badanya kurus, tingginya sedang, kulitnya kecoklatan, makannya sedikit, pemalu, pemurah, dan zuhud ini[5].
Guru dan murid-muridnya[6]:
Beliau telah memperoleh hadits dari beberapa hafidz, diantaranya Makky ibn Ibrahim, ‘Abdullah ibn ‘Usman al- Syaibany, ‘Abdullah ibn Yusuf,  dan Muhammad ibn ‘Abdullah al-Anshary. Ulam-ulama besar yang mengambil hadits beliau diantaranya: Imam Muslim, Abu Zur’ah, At- Turmudzi, Ibnu Khuzaimah, dan An-Nasa’i.
Karya-karya beliau sangat banyak, diantaranya adalah:
1.      Jami’ al-Shahih
2.      Qadlayas- Shahabah wa at-Tabi’in.
3.      At- Tarikh al- Kabir
4.      At-Tarikh al-‘Ausath
5.      Al-‘Adabu al- Maunfarid
6.      Birru al-Walidaini
7.      Dan lain sebagainya.

Beliau sangat berhati-hati menuliskan tiap hadits pada kitab ini. Setiap hendak mencantumkan dalam kitabnya, belliau lebih dulu mandi dan shalat istikharah, minta petunjuk baik kepada Allah SWT tentang hadits yang akan ditulisnya.
Seluruh ulama Islam diseluruh penjuru dunia, setelah mengadakan penelitian sanad-sanadnya mengakui bahwa seluruh sanad al-Bukhari adalah tsiqah, walaupun ada beberapa sanad yang didakwa lemah, namun tidak terlalu lemah sama sekali.

Setelah sekian lama pergi menuntut ilmu keberbagai negeri untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits Nabi serta mengukir prestasi luar biasa dengan menyusun banyak kitab hadits yang paling valid, beliau wafat pada malam Sabtu selesai shalat Isya, tempat pada malam Idul Fitri 1 Syawal 252 H atau 31 Agustus 870 M dan dikebumikan sehabis shalat Dzuhur di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari kota Samarkhand[7]. Akhir hayatnya diantarkan oleh kemuliaan akhir Ramadhan dan keagungan malam hari raya ketka mulai bertakbi, bertahmid, serta bertahlil mengagungkan asma-Nya. Sunggu sebuah tanda khusnul khatimah, insyaallah. Ia wafat pada usia 62 tahun kurang 13 hari.


‘Abdullah ibn Yunus

Al- Bukhari menerima hadits dari ‘Abdullah ibn Yunus yang mempunyai nama asli Abu Muhammad al-Kala’iy ad-Damasyqiy. Kuniyah adalah abu Muuhammad dan lahir dinegeri Damasykus. Wafat pada 180 H[8].

Beliau menimba ilmu kepada Malik, ‘Abdurrahman ibn Yazid ibn Jabir, al-Laits, Sa’id ibn ‘Abdul aziz. Adapun murid beliau adalah al-Bukhari, Abu Hatim, Yahya ibn Utsman ibn Shalih, Bakar ibn Sahal ad-Dimyati. 
Pendapat para ulama terhadap beliau adalah
1.      Abu Hatim berkata, “ tsiqah
2.      An-Nasa’i berkata, ”tsiqah
3.      Ibnu Hibban disebutkan, “ tsiqah
4.      Adz-Zahabi mengatakan, “ al-hafidz
5.      Ibu Hajar “al-tsiqah hafidz
Kesimpulan penulis tentang penilaian kritikus hadits terhadap Dawud ibn Hind adalah seorang ulama hadits yang tsiqah. Terjadi pertemuan antara Imam al-Bukhari dan ‘Abdullah ibn Yunus karena adanya hubungan guru dan murid.
Malik ibn Anas
‘Abdullah ibn Yunus menerima hadits dari Malik ibn Anas. Beliau bernama lengkap Malik ibn Anas ibn Malik ibn abi ‘Amir ibn ‘Amr  ibn al-Harits ibn Ghaiman ibn Jutsail ibn ‘Amr ibn Harits Dzi Ashbah. Ia adalah seorang Imam Dar al-Hijarah dan seorang faqih lahir di Madinah pada tahun 93 H dikota Madinah, setelah tak tahan lagi menunggu didalam Rahim ibunya selama tiga tahun[9]. Ia adalah pakar ilmu fiqh dan hadits, pemuka madzhab Malikiyah. Silsilah beliau berakhir sampai Ya’rub ibn al-Qahthan al-Shahaby.

      Nenek moyangnya, Abu Amir adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman Nabi SAW, kecuali perang Badar. Sedang kakeknya Malik adalah seorang tabi’in yang besar dan fuqaha kenamaan dan salah seorang dari empat orang tabi’in yang jenazahnya dihusung sendiri oleh Khalifah ‘Utsman ketempat pemakannya.

      Beliau adalah penyusun kitab al-Muthawatha al-Malik. Dalam penyusunannya, ia menghabiskan waktu 40 tahun. Selama itu, ia menunjukkan kepada 70 ahli fiqh di Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits yang meriwayatkan lebih dari 1000 orang.

      Sebagian seorang Muhadditsin yang konsekuen dengan ilmu yang dimilikinya, beliau tidak pernah melalaikan berjama’ah, selalu aktif menjenguk kawan-kawannya yang sedang sakit dan selalu melaksanakan kewajiban lainnya.

      Beliau terkenal sebagai ulama yang keras dalam mempertahankan pendapatnya, nila dianggap benar. Beliau pernah diadukan oleh orang kepada khalifah Ja’far ibn Sulaiman, paman Ja’far al-manshur dengan tuduhan tidak menyetujui pembai’atan khalifah[10].

      Menurut Ibn al-Jauzi, beliau disiksa dengan cambukan 70 kali sampai ruas lengannya sebelah atas tergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini dilakukan, disebabkan fatwanya tidak sesuai dengan kehendak khalifah. Akhir dari penyiksaan ini, namnya buka menjadi pudar, tetapi bahkan menjadi harum dan martabatnya menjadi tinggi dikalangan para ahli ilmu.

      Imam Malik menerima hadits dari 900 orang guru, 300 dari golongan tabi’in dan 600 tabi’it tabi’in. Adapun guru-guru beliau adalah ‘Amir ibn ‘Abdullah ibn Zubair al-‘Awwam, Sa’id ibn Mansur, ‘Abdullah ibn Raja’ al-Makkiy, Yahya ibn Yahya an-Naisabury, Makkiy ibn Ibrahim, Qutaibah ibn Sa’id, Hisyam ibn ‘Ammar, Nafi’ ibn Nu’aim, Abdullah ibn Dinar.
     
      Murid beliau diantaranya:  Az-Zuhri, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, al-Laits ibn Sa’id, Sa’id ibn Mansur, Sawid ibn Sa’id, ibn Qasim, al-Harits ibn Miskin, Imam asy-Syafi’i.
      Pendapat kritikus hadits terhadap Malik ibn Anas[11]:
1.      Yahya ibn ma’in berkata, “Imam Malik adalah Amirul Mu’minin dalam (ilmu) hadits.
2.      Ibnu Hibban berkata, “tsiqah[12]”.
3.      Imam Syafi’i berkata, “ Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah tabi’in.
4.      Seseorang bertanya kepada Asy-Asyafi’i, “ Apakah anda menemukan seseorang yang ‘alim seperti Imam Malik? Asy-Syafi’i menjawab:  Aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kmi tidak menemukan orang yang ‘alim seperti Malik, maka bagaimana kami menemukan yang seperti Malik?
5.      Hatim dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa Malik bin Anas tsiqah.
6.      Imam Bukhari mengatakaah bahwa sanad yang dikatakan Ashahhu al-Asanid, ialah bila sanad itu terdiri dari Malik, Nafi’, dan Ibnu ‘Umar ra.

Disamping keahliannya dalam bidang ilmu fiqh, seluruh ulama telah mengakuinya sebagai muhaddits yang tangguh. Seluruh warga Negara Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya “ Sayyidi Fuqaha al- Hijaz”.

Kesimpulan penulis tentang penilaian kritikus hadits terhadap Malik ibn Anas adalah tsiqah dan ahli dalam ilmu Fiqh. Terjadi pertemuan antara Dawud ibn Hind dan Malik ibn Anas karena adanya hubungan guru dan murid.

Beliau mangkat pada hari Ahad, 14 Rabi’ul awwal 169 H, di Madinah dengan meninggalkan tiga orang putra, yakni Yahya, Muhammad, dan Hammad.

Hisyam ibn ‘Urwah
Malik ibn Anas menerima hadits  dari Hisyam ibn ‘Urwah ibn Zubair ibn al-Awwam al-Quraisy Abdul Minzir al-Madani. Bernasab al-Assa’diy. Kuniyah adalah Abu al- Mundzir. Lahir pada tahun 61 H di kota Madinah dan wafat pada tahun 145 H di Bagdad dalam usia 87 tahun[13].

Guru-gurunya diantanya adalah ayahnya, yaitu ‘Urwah ibn Zubair, Bakar ibn Wail, ‘Abdullah ibn Abu Bakar ibn Hazm, ‘Abdullah ibn Zabir, ‘Abdullah ibn ‘Amir ibn Rabi’ah, ‘Amru ibn Su’aib, Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Harits, Wahab ibn Kaisan, dan lain-lain.

Murid-murid beliau adalah Malik ibn Anas, Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar, ima’il ibn iyas, Hati ibn Isma’il, Hafsh ibn ‘Iyas, Hammad ibn Zaid, Khalid ibn Harits, Sufyan ats-Tsauri, dan lain sebagainya,

Pendapat kritikus hadits terhadap Hisyam ibn ‘Urwah adalah[14]:
1.      Al-‘Ijli berpendapat, “tsiqah
2.      Abu Hatim berkata, “tsiqah, imam fi al-hadits”
3.      Ibnu Hibban disebutkan dalam tsiqah
4.      Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “tsiqah dan faqih
5.      Adz-Dzahabi berkata, “seorang tokoh ternama”
6.      Ibnu Sa’id berkata, “Hisyam ibn ‘Urwah tsiqah dan banyak haditsnya”

Kesimpulan penulis tentang penilaian kritikus hadits terhadap Hisyam ibn ‘Urwah adalah tsiqah dan  faqih. Terjadi pertemuan antara Malik ibn Anas dan Hisyam ibn ‘Urwah karena adanya hubungan guru dan murid.
‘Urwah ibn Zubair
Hisyam ibn ‘Urwah menerima hadits  dari ayahnya, yaitu ‘Urwah ibn Zubair yang mempunyai nama lengkap ‘Urwah ibn Zubair ibn al-‘Awwam al-Asadiy.[15]   Beliau adalah seorang tabi’in yang lahir pada awal masa khalifah Utsman. Wafat pada tahun 94 H.  beliau adalah salah satu fuqaha di Madinah. Beliau adalah keponakan dari ‘Aisyah binti Abu Bakar. ‘Urwah ibn Zubair gemar menulis banyak buku.  Ia meninggal dalam keadaan berpuasa.

Beliau banyak menuntut ilmu kepada banyak para ulama diantaranya adalah ‘Aisyah ra,  ‘Amrah binti ‘Abdurrahman, Fatimah ibn Qais, Asma’ binti Abu Bakar Siddiq, Abi Sa’id al-Khudriy, Abi Salamah ibn Abdurrahman ibn ‘Auf, Abi Hamid ashSa’di, Abu Hurairah.

Adapun orang-orang yang meriwayatkan darinya diantaranya adalah Hisyam ibn ‘Urwah, Ja’far ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-husain, Khalid ibn Abi ‘Imran,  Shalih ibn Kaisan, Shafwan ibn Salim, ‘Utsman ibn ‘Urwah ibn Zabair, ‘Atha ibn Abi Rabah, dan lain sebagainya.
Pendapat kritikus hadits terhadap ‘Urwah ibn Zubair adalah:
1.      Ibnu Hajar mengatakan, “tsiqah
2.      Adz-Dzahabi dari Ibnu Sa’id mengatakan, “ ‘Urwah ibn Zubair adalah seorang yang  faqih dan terdapat banyak hadits”[16].

Kesimpulan penulis tentang penilaian kritikus hadits terhadap ‘Urwah ibn Zubair adalah tsiqah dan  faqih terjadi pertemuan antara Hisyam ibn ‘Urwah dan ‘Urwah ibn Zubair karena adanya hubungan ayah dan anak yang saling belajar mendalami hadits.
‘Aisyah
‘Urwah ibn Zubair  menerima hadits dari ‘Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. ‘Aisyah  putri ‘Abdullah ibn Quhafah atau dikenal dengan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. ‘Aisyah lahir tepat tahun setelah Muhammad saw diangkat menjadi Rasul dan ‘Aisyah wafat pada usia 66 tahun dimakanman di Baqi[17]. Nabi Muhammad SAW menikahi ‘Aisyah dengan mas kawin 500 dirham ‘Aisyah baru berumur sekitar sepulluh tahun[18].
            Dengan kehadiran ‘Aisyah, kekosongan hati Rasulullah setelah ditinggal wafat oleh khadijah, berhasil digantikan oleh ‘Aisyah. Kecintaan Rasul kepada ‘Aisyah membuat para istri nabi yang lain ada yang cemburu.

            Sebagai istri Nabi SAW, ‘Aisyah telah diberikan keistimewaan oleh Allah yang tidak diberikan kepada istri-istri yang lain. Keistimewaan itu diungkap sendiri oleh ‘Aisyah, yakni[19]:
·         Aku putri khalifah dari kawan Rasulullah SAW
·         Aku diciptakan dari keluarga yang baik dan untuk orang yang baik
·         Aku dijanjikan oleh Allah penampunan dan rejeki yang mulia (surga)
·         Nabi wafat dengan kepala beliau berada di pangkuan ku
·         Nabi Muhammad dimakamkan dirumahku

·         Ketika terjadi perang Bani Musthalik, ‘Aisyah terpilih untuk menyertai Rasulullah SAW berperang. adalah tsiqah.

Sayyidina Ali memuji ‘Aisyah dengan ucapannya “ Jika seorang khalifah bisa menjadi khalifah, maka dia adalah ‘Aisyah”. Dalam beberapa riwayat dijelaskan tetang keutamaan ‘Aisyah, yaitu ia sangan menguasai hadits, dan al-Qur’an. Juga paling mahir dalam merubah syair.

            Karena kecerdasannya Abu Musa al-‘Asyari berkata, “ Jika para sahabat Rasul menghadapi kesulitan tentang suatu hadits, maka kami mendatangi ‘Aisyah dan pasti menemukan pemecahannya”. Bahkan al-Hakim menegaskan, “ Seperempat dari hukum syariat adalah dinukilkan dari ‘Aisyah”

            ‘Aisyah adaah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW, sehingga ia banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi SAW.  Karena itulah ‘Aisyah banyak mengetahui hadits dan dikenal sebagai perawi hadits yang mampu mengistinbahkan hukum.

            Para ulama hadits menempatkan ‘Aisyah urutan ke lima dari penghafal hadits  setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas ibn Malik, dan Ibnu ‘Abbas. Penguasaan Qur’an dan hadits yang mendalam dari ‘Aisyah seperti yang telah dijelaskan oleh Abu Salamah, “ Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui sunnah Nabi SAW, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui al-Qur’an turun, serta lebih mengatahui kewajibannya, kecuali ‘Aisyah”.

            Ketika Rasulullah SAW sakit menjelang ajalnya, ‘Aisyah merawat Rasulullah hingga akhir hayatnya. Rasulullah SAW dikuburkan tepat diatas ranjang beliau, yaitu dukamar ‘Aisyah. Dalam tidur ‘Aisyah, ia bermimpi melihat tiga bulan jatuh dikamarnya. Ketika hal itu ia beritahukan kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka dirumahmuakan dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi ini.”

            Ternyata orang yang paling mulia setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar dan Umar. Kedua orang ini berwasiat agar dikuburkan berdekatan dengan makan Rasulullah SAW. Rasulullah tidak menunggalkan warisan kepada istri-istrinya. ‘Aisyah menjelaskan hal itu kepada para istri Nabi yang mengutus Utsman untuk meminta bagian mereka. ‘Aisyah berkata, “ Bukankah Rasulullah SAW telah berkata, kami telah meninggalkan harta warisan apa-apa. Harta yang kami tinggalkan adalah sedekah. Setelah Rasulullah SAW wafat, banyak sahabat yang menemui ‘Aisyah untuk bertanya masalah hadits[20].

(KRITIK MATAN HADIS ISTIHADHAH)
حدّثنا عبد الله بن ينوس قال : أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنّها قال : جائت فاطمة بنت أبي حبيش لرسول الله صلي الله عليه و سلّم :
 يا رسول الله إني لا أطخر , أفأ دع الصّلاة ؟ فقال : يا رسول الله صلي الله عليه و سلّم ( إنّما ذلك عرق و ليس بالحيضة, فإذا أقبلة الحيضة فأترك الصّلاة , فإذا ذهب قدرها, فاغسلي عنك الدّم و صلى )
          Dikabarkan ‘Abdullah ibn Yunus  berkata: mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah ra. Bahwa  Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada  Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengeluarkan darah istihadhah. Apakah aku tinggalkan shalat?” Beliau menjawab: “ Jangan, karena itu hanyalah darah penyakit. Akan tetapi tinggalkanlah shalat dengan perkiraan waktu panjangnya masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat”.[21]
Pengertian Istihadhah           
            Secara bahasa istihadhah mempunyai arti mengalir. Dan secara istilah syar’I, istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari farji wanita yang tidak sesuai dengan ketentuan haid dan nifas.[22] Istihadhah sebenarnya bukanlah haid dan tidak ada hubungan dengannya. Istihadhah disebut demikian sebagai kiasan, karena sebenarnya istihadhah adalah darah yang keluar akibat penyakit. Rasulullah SAW menyebutnya dengan ‘irq, dan ‘irq adalah aliran darah dalam tubuh.[23]
            Istihadhah adalah mengalirnya darah pada waktu yang tidak biasa. Keluarnya darah akibat tumor, radang, penyakit-penyakit Rahim, pada leher rahim atau pada kemaluan wanita. Dan bias saja darah keluar lantaran banyak mengonsumsi obat-obatan atau karena kondisi kejiwaan.[24]
Penelitian Matan Hadits dengan Pendekatan Hadits Shahih
Hadits ini diinformasikan oleh beberapa jalur periwayatan hadits diantaranya melalui al- Bukhari, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i.
Al-Bukhari, bab : الإستحاضة
حدّثنا عبد الله بن ينوس قال : أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنّها قال : جائت فاطمة بنت أبي حبيش لرسول الله صلي الله عليه و سلّم :يا رسول الله إني لا أطخر , أفأ دع الصّلاة ؟ فقال : يا رسول الله صلي الله عليه و سلّم ( إنّما ذلك عرق و ليس بالحيضة, فإذا أقبلة الحيضة فأترك الصّلاة , فإذا ذهب قدرها, فاغسلي عنك الدّم و صلى )
at-Tirmidzi, bab: ما جاء في المستحاضة
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَعَبْدَةُ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ ؟ قَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي[25]

An-Nasa’i, bab:     باب ذِكْرِ الاِسْتِحَاضَةِ وَإِقْبَالِ الدَّمِ وَإِدْبَارِه

أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ يَزِيدَ، قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، - وَهُوَ ابْنُ سَمَاعَةَ - قَالَ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، مِنْ بَنِي أَسَدِ قُرَيْشٍ أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ أَنَّهَا تُسْتَحَاضُ فَزَعَمَتْ أَنَّهُ قَالَ لَهَا ‏ "‏ إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي "‏ ‏

Pada ketiga matan diatas terlihat jelas  perbedaan lafadz yakni, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-nasa’i, hadits tersebut menunjukkan kepada kita bahwa hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah pun dapat terjadi perbedaan lafal matan hadits yang diriwayatkannya, maka dapat disimpulkan hadits ini adalah riwayat bi al- makna.
            Setelah melakukan perbandingan pada hadits yang semakna, maka dapat disimpulkan bahwa Intisari Hadits adalah sebagai berikut:
  Jika wanita mengalami istihadah, maka dia perlu membedakan warna, yakni:
     haid = merah kehitaman dan istihadah = merah.
  Pada hari darahnya kehitaman maka dia mesti meninggalkan shalat. Dan jika darah
     berubah warna kemerahan, maka itu menandakan dia suci dari haid. Hendaklah dia
     mandi wajib, berwudu  lalu bershalat.
  Pada saat haid, wanita harus meninggalkan shalat, namun sekiranya darah tersebut
     berubah, dari hitam menjadi merah, maka hal ini pertanda suci dari haid.
     Karenanya, ia boleh berwudhu dan shalat lantaran sudah suci kembali.
 Wanita yang istihadah hendaklah berwudu setiap kali shalat; kerana hukumnya sama
     seperti orang yang hadasnya tidak terputus.
  Mereka yang tidak terputus hadas seperti mustahadah, salisul baul, mazi, angin atau
     luka yang darahnya tidak berhenti, maka dia wajib membersihkan najis dan tempat
     najis kemudian berwuduk setiap kali solat, jika ada keluar sesuatu.
  Wajib membersihkan darah untuk shalat kerana ia adalah najis berdasarkan ijma’.
  Wanita wajib solat apabila telah terhentinya darah haid.
 Adapun hukum bagi darah istihadhah tidak sama dengan hukum darah haid yang boleh meninggalkan shalat, dan lain sebagainya. Darah istihadhah adalah darah   penyakit dimana wanita yang mengalaminya tetap dianggap suci, ia melakukan   segala sesuatu yang dilakukan oleh wanita.
Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Warnanya merah, baunya seperti darah biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan ketika keluar langsung mengental. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:
  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
Ada tiga kondisi wanita istihadhah:
Kondisi Pertama
            Darah keluar terus dan tidak ada kebiasaan yang dikenali, baik karena lupa maupun karena memasuki usia baligh dalam keadaan istihadhah, sehingga wanita tidak bias membedakan darah haid. Dalam kodisi ini, dia memperkirakan masa haid menurut kebiasaan kaum hawa pada umumnya.
            Ahmad dan Ishaq berpendapat seputar wanita istihadhah. Jika dia mengetahui siklus haidnya, maka hukkum yang berlaku atasnya berdasarkan hadits Fatimah binti Hubaisy Jika wanita istihadhah sudah mengetahui siklus haidnya sebelum mengalami istihadhah, maka ia hars meninggalkan shalat pada saat haidnya, kemudian mandi dan wudhu setiap shalat, lalu mengerjakan shalat.
Kondisi Kedua
            Wanita yang sudah mengetahui masa haid sebelum mengalami istihadhah dalam kodisi ini dia mengacu pada masa haid dan darah yang keuar elebihnya adalah darah istihadhah.
Kondisi Ketiga
            Wanita yang tidak mempunyai siklus haid yang konsiten, namun ia bisa mebedakan haid dengan yang lainnya (tamyiz). Dalam kondisi ini, dia berpedoman pada tamyiz.
            Urwah ibn az-Zubair meriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami istihadhah. Rasul bersabda, “ Sesungguhnya darah haidnya itu darah hitam yang sudah diketahui,  Jika demikian maka tinggalah shalat. Jika selain itu maka berwudunya dan shalatlah. “ (HR. an-Nasa’i)
            Hadits diatas mebuat hukum fiqh yang dipaparkan oleh Nabi SAW kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, yang sedang bimbang. Karena wanita yang mengalami nazf rahmi (istihadhah), mengeluarkan darah sepanjang bula atau lebih, dan tidak tahu kapan hars shalat, dan kapan harus meninggalkan shalat.
            Nabi Saw menjelaskan bahwa Fatiman binti Abu Hubaisy harus merujuk pada kebiasaan semula, sebelum mengalami istihadhah.
            Bisa kita ilustrasikan, Fatimah binti Abu Hubaisy mendapat haid pada hari ke sepuluh tiap bulan dan berakhir pada hari ketujuh belas. Jadi dia diperintahkan untuk meninggalkan shalat selama masa itu-  dari hari kesepuluh sampai hari ke tujuh belas- setiap bulannya. Selebihnya ia shalat setelah mandi dan membersihkan darahya karena ia najis. Shalatnya tidak sah bila darah belum diberihkan. Dia berwudhu untuk setiap shalat. Inilah hukum shalat bagi yang udzur.[26]
Perbedaan antara darah haidh dan darah istihadhah[27]:
            Haid adaalah darah yang telah Allah tetapkan pada diri kaum hawa yang umumnya terjadi setiap bulan sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW. Adapun mengenai wanita mustahadhah dalam hal ini ada tiga kondisi.
            Pertama: Wanita yang mengalami haid pada masa-masa haid yang pertama kali, maka baginya harus meninggalkan shalat dan puasa selama mengeluarkan darah haid itu pada tiap bulannya, dan tidak boleh bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya saat itu hingga habis masa haid, yaitu lima belas hari paling lama menurut sebagian besar ulama. Jika darah tetap mengalir selama lebih dari lima belas hari, maka darah ini adalah darah istihadhah.
            Kedua: jika ia bisa membedakan, maka hendaklah ia meninggalkan shalat, puasa, dan tidak bercampur dengan suaminya, setelah selesai masa itu mandi (bersuci) dan melaksanakan shalat, dengan syarat bahwa masa haid itu tidak lebih dari lima belas hari.
Ketiga: Wanita ini memiliki masa haid yang telah diketahui, maka ia harus meninggalkan shalat pada masa itu., lalu jika masa haid itu telah habis, maka ia harus segera mandi dan berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat jika telah masuk waktu shalat.[28]
Penelitian Matan Hadits dengan Pendekatan Bahasa
فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ   dengan  dhammah pada huruf haa’ tanpa titik, fathah pada huruf baa’ bertitik satu dan sukun pada huruf yaa’ bertitik dua dibawah (yakni Hubaisy), al-Hafidz mengatakan didalam at-Taqrib, ia seorang wanita sahabat yang meriwayatkan hadits tentang istihadhah”.
 إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ ( sesungguhnya aku wanita mustahadhah) dengan bentuk redaksi majhul (yakni: ustahaadhu), فَلَا أَطْهُر (sehingga tidak pernah suci) yakni darhnya tidak pernah berhenti keluar. أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ ؟(Apa aku harus meninggalkan shalat?), ia telah mengetahui bahwawanita haid tidak boleh melaksanakan shalat, maka ia mengira bahwa hukum itu dikarenakan keluarnya darah dari kemaluan, lalu ia ingin mencari kejelasan hal itu, maka ia pun bertanya, apa aku harus meninggalkan shalat?, yakni tidak melaksanakannya[29].
Bersambungnya kaliamat pertanyaan setelah hamzah (yang bermakna: apakah) karena ini termasuk bagian lanjutan dari perkataan itu, artinya, apakah berlaku padaku hukum wanita haid setelah aku  harus meninggalkan shalat. لَا ( tidak), yakni jangan engkau meninggalkan shalat.إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْق (sesungguhnya itu adalah darah penyakit) dengan kasrah berbentuk ‘ain bertitik satu ( yakni: ‘irq), yakni darah pada pembuluh darah karena luka atau penyakit lalu memancarkan darah darinya, atau darah itu disebabkan oleh pembuluh darah  atau penyakit yang ada di bawah rahim.
وَلَيْسَتْ ( dan bukan), yakni bukan yang seperti engkau ragukan. بِالْحَيْضَة ( haid), al-Hafidz berkata, “ dengan fathah pada huruf haa’, sebagai mana yang dinukil oleh a-Khaththabi dari mayoritas ahl hadits, walaupun ia memilih harakat kasrah bila yang dimaksud untuk menunjukan kondisi (yakni hiidhah), namun disini dengan fathah lebih jelas.
An-Nawawi berkata, “ ini yang pasti atau hampir pasti, karena Nabi SAW hendak memastikan istihadhah dan menafikan istihadhah. Al-Hafidz juga berkata, “ adapun yang dikemukakan dalam riwayat kamia adalah dengan fathah pada keduanya,”  فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ ( bila haid datang), al-Qari berkata, “ dengan kasrah sebagai sebutan untuk haid. Hal ini ditegaskan oleh riwayat al-Fath. Dikatakan juga bahwa yang dimaksud itu adalah kondisi dimana waita mengalami haid[30].
Dikatakan juga, bahwa yang dimaksud adalah kondisi haid berdasarkan kondisi darah, yaitu berdasarkan warna dan sifatnya. Inii ditegaskan oleh Urwah yang dikemukakannya, dimana disebutan bahwa wanita tidak mengetahui hari-hari yang biasanya mengalami haid, sehingga standarnya dikembalikan dengan cara membedakan kondisi darah.
Hadits ini menunjukkan bahwa bila wanita dapat membedakan darah haid dan darah istihadhah, maka berpatokan pada darah haid tentang mulai dan selesainya haid. Bila waktunya telah berlalu maka berpatokan pada darah haid, kemudian setelah itu hukumnya sebagai darah istihadhah yaitu yaitu hukum hadats sehingga ia berwudhu untu setiap shalat, hanya saja dengan wudhu itu ia tidak elakukan shalat fardhulebih dari satu kali, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun qadha’, hal itu berdasarkan konteks sabda beliau SAW, “ kemudia berwudhulah untuk setiap shalat”. Dengan demikian yang dikatakan oleh jumhur[31].
Sementara menurut ulama madzhab Hanafi, bahwa wudhu itu berkaitan dengan waktu shalat, sehingga dengan waktu itu seorang wanita bolehmengerjakan shalat fardhu saat iu dan lainnya yang terlewat selama belum habis waktu shalat saat itu.
Menurut madzhab Maliki, dianjurkan berwudhu untuk setiap shalat namun tidak diwajibkan kecuali karena hadats lain. Ahmad dan Ishak berkata, “Jika mandi untuk melakanakan setiap shalat fardhu, maka itu lebih presessif.”[32]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hadits ini adalah hadits qauliyah.
Penelitian Matan Hadits dengan Pendekatan Sejarah
            Salah satu langkah yang ditempuh untuk melakukan penelitian matan hadits adalah melalui peristiwa yang melatar belakangi suatu hadits (asbab al-wurud). Dan asbab al-wurud hadits bisa didapatkan dari lafal matan hadits tersebut.
Dalam hasits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwasannya ‘Aisyah menceritakan kepada Fatimah binti Abi Hubaisy mengatakan kepada Rasulullah SAW, “ Wahai Rasulullah saya belum juga bersih,apakah boleh saya meninggalkan shalat? Nabi SAW menjawab, Apakah aku tinggalkan shalat?” Beliau menjawab: “ Jangan, karena itu hanyalah darah penyakit. Akan tetapi tinggalkanlah shalat dengan perkiraan waktu panjangnya masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat”.
Keterangan:
Fatimah binti Hubaisy datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan tentang istihadhah, kemudian Rasulullah SAW menjelaskan bahwa darah haid itu warnanya hitam yang biasa dikenal. Bila darah itu yang terlihat hendaklah berhenti shalat. Kalau warna lain, maka wudhulah lalu shalatlah, karena darah pada masa istihadhah itu adalah penyakit bukan haid.[33]





[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab Haid, bab Istihadhah, halaman: 49
[2] Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 170
[3] Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 172
[4] Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 173
[5] Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h. 174
[6] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: PT. Alma’arif,1974), h.377.
[7] Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h.169
[8] Abu ‘Abdullah Shamsuddin adz-Dzahabi, Tadzkiratu al-Huffadz, (India: Dairatu al-Ma’arif Idsmania, 1955), jilid 1,  h.405
[9] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: PT. Alma’arif,1974), h.367
[10] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: PT. Alma’arif,1974), h.368
[11] Ibnu Hajar, Tahdzib at-tahdzib, juz 8, ( Bairut: Dar al-Fikr), h. 9.
[12] Dalam buku Metodologi Kritik Hadits, Tsiqah adalah ‘adil dan dhabit. Lihat juga Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadits, (Solo: Mumtaz, 2008), h 115
[13] Abu ‘Abdullah Shamsuddin adz-Dzahabi, Tadzkiratu al-Huffadz, (India: Dairatu al-Ma’arif Idsmania, 1955), jilid 1, h. 144
[14] Adz-Dzahabi, al-Kasyif, juz 1, ( Darul Kutub al-‘Alamiyah, 748 H), h.197
[15] Adz-Dzahabi, al-Kasyif, juz 1, ( Darul Kutub al-‘Alamiyah, 748 H), h.229
[16] Adz-Dzahabi, al-Kasyif, juz 1, ( Darul Kutub al-‘Alamiyah, 748 H), h.229
[17] Jannatul Baqi adalah pemakaman utama yang terletak di Madinah, Arab Saudi, berseberangan dengan masjid Nabawi dimana nabi Muhammad SAW dikuburkan. Dipemakaman ini banyak terdapat keluarga serta sahabat Nabi SAW yang dikuburkan. Junnatul Baqi berarti taman surga, juga dikenal dengan Baqi al-Gharqad. Yang dimakamkan di Baqi, sekitar 10.000 jenazah. Oarang pertama yang dimakamkan di Baqi adalah As’ad ibn Zurarah, sahabat Anshar yang meninggal tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Nabi memilih tempat utuk menjadi kuburannya.
[18] Dr. Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Madani, 2009), h.31
[19] Dr. Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Madani, 2009), h.32
[20] Dr. Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Madani, 2009), h. 32
[21] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab Haid, bab Istihadhah, halaman: 49
[22]Pondok Pesantren Lirboyo, Uyunul Masail Linnisa, (Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il), h. 70
[23] Syaikh Abdul Qadir Muhammad Manshur, Panduan  Shalat  Khusus  Wanita  Shalat  yang Benar Menurut al-Qur’an dan Sunnah, ( Jakarta: Almahira, 2009), h. 67
[24] Abdullah ibn Abdurrahman, Syarah Bulughul Maram, ( Jakarta: Puastaka Azzam Anggota IKAPI DKI Kakarta, 2009), h. 448
[25]                                                                             قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ فِي حَدِيثِهِ وَقَالَ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيء ذَلِكَ الْوَقْتُ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ أَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ إِذَا جَاوَزَتْ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا اغْتَسَلَتْ وَتَوَضَّأَتْ لِكُلِّ صَلَاة
Abu Mu’awiyah mengatakan didalam haditsnya: “ Dan beliau bersabda, “Berwudhulah untuk setiap shalat hingga datangnya waktu itu”. Ia berkata, “ Mengenai masalah ini ( ada riwayat lain) daru Ummu Salamah.”
Demikian juga yang dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri, Malik, Ibnu al-Mubarak dan asy-Syafi’I, bahwa wanita mustahadhah bila telah melewati hari-hari haidnya, maka ia mandi, dan berwudhu untuk setiap shalat.
[26] Syaikh Abdul Qadir Muhammad Manshur, Panduan Shalat Khusus Wanita Shalat yang Benar Menurut al-Qur’an dan Sunnah, ( Jakarta: Almahira, 2009), h.73
[27] Syaikh Abdul Qadir Muhammad Manshur, Panduan Shalat Khusus Wanita Shalat yang Benar Menurut al-Qur’an dan Sunnah, ( Jakarta: Almahira, 2009), h.98
[28] Pendapat ini adalah ringkasan dari apa yang telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Nabi SAW tentang wanita yang mengeluarkan darah istihdhah, pendapat ini disebutkan leh pengarang kitab Bulghul Maram, yaitu al-Hafidzz Ibnu Hajar dan pengarang kitab al-Muntaqa yaitu syaihkul Islam Almajd Ibnu Taimiyah.
[29] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.756.
[30] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.757
[31] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1
    ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 759
[32] Abu Aulala Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1
    ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 760
[33] H.M. Suwarta Wijaya, B.A, Asbabul Wurud 2, (Jakarta pusat: Radar Jaya Offset Jakarta, 2004), h.134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...