Kamis, 28 Maret 2019

INSTITUSIONALISASI NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TENGGER DI TENGAH KEPUNGAN AGAMA-AGAMA


  1. Sejarah dan Legenda Tengger
  1. Asal mula nama Tengger
            Asal muasal nama Tengger adalah perpaduan dari cerita rakyat tentang nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Pada ceeitanya mereka adalah sepasang suami istri dan lama tak dikaruniahi anak dan kemudian mereka berdua bertapa lama dan pada akhirnya mendapat jawaban dan permohonan mereka agar diberi karunia anak terkabyulkan. Namun dengan syarat anak bungsu mereka harus dikorbankan kedalam kawah gunung Bromo. Pasangan suami istri tersebut dikaruniai 25 anak, dan setelah bertahun tahun mereka hidup bahagia, gunung bromo pun berguncang dan mengeluarkan semburan pertanda sudah waktunya pasangansuami tersebut memenuhi janjinya. Raden Kusuma yang merupakan anak terakhir pun rela dirinya dijadikan wakil dari para saudaranya dan masyarakat setempat untuk berkorban demi kesejahteraan dan kedamaian oarangtua dan saudara-saudaranya. Setiap tanggal 1 Kasada ia berpesan agar diberi upeti hasil bumi. Itulah cerita rakyat asal usul nama tengger yang berasal dari pasangan suami istri Rara Anteng dan Jaka Seger.[1]

  1.  Perhitungan Tahun Saka Pada Suku Tengger
            Masyarakat suku Tengger memiliki perhitungan kalender tersendiri untuk menentukan hari atau upacara besar mereka, mereka menamaisnya sebagai Tahun Saka atau Saka Warsa.
            Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1 (sepisan) sasi kedhasa (bulan kesepuluh), yaitu sehari stelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam Tahun Masehi. Cara menghitungnya dengan rumus: tiap satu bulan berjumlah 30 hari, jadi dalam satu tahun ada 360 hari. Sedangkan untuk wukuatau hari pasaran dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus disatukan dan akan terjadi pengurangan satu hari pada satu tahunnya. Untuk melengkapi atau menyempurnakan diadakan perhitungan kembali stiap lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada waktu itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-unan, yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya, yaitu bulan Dhesa atau bulan kesebelas.[2]
  1. Modal Sosial Masyarakat Adat Tengger
Pada masyarakat adat Tengger, khususnya di Desa Ngadisari, kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, tampak adanya tatanan sosial yang teratur. Dari hasil kajian lapangan diperoleh adanya temuan bahwa modal sosial di desa inilah yang mampu sebagai penentu dan dasar kehidupan masyarakat yang teratur, dan rupanya modal sosial ini tetap terjaga dengan baik oleh seluruh anggota masyarakatnya.
Adapun modal sosial yang ada pada masyarakat adat Tengger dimulai oleh adanya:
1.   Konsep hidup masyarakat adat Tengger
Konsep hidup masyarakat adat Tengger adalah mengikuti ujaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setya, yaitu setya budaya (taat, tekun, mandiri), setya wacana (setia pada ucapan/ perkataan), setya semaya (setia/menepati janji) setya laksana (patuh dan taat), dan setya mitra (setia kawan). Ajaran ini sangat berpengaruh lerhadap kehidupan masyarakat adat Tengger. Tampak pada kehidupan sehari-hari sifat-sifat taat, tekun, kerja keras, toleransi dan gotong royong serta tanggung jawab baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan bersama.
2.   Nilai budaya Masyarakat Adat Tengger
Nilai budaya masyarakat adat Tengger terwujud dalam aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini didukung pula dengan pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan dalam sikap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung (Bambang Soemanto, 2002:126).[3] Kedekatan tersebut dipercaya akan membawa ketenangan dan ketenteraman serta kebahagiaan dalam kehidupan kini dan esok. Perilaku dan tindakan anggota masyarakat udat Tengger ini selalu diusahakan tidak melanggar adat istiadat, dan aturan-atuan yang ada.
Adapun aturan-aturan yang harus ditaati adalah:
(a)   Tidak menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan dimakan)
(b)   Tidak mencuri;
(c)   Tidak melakukan perbuatan jahat
(d)   Tidak berdusta
(e)   Tidak minum minuman yang memabukkan. [4]
Selain itu terdapat juga beberapa aturan yang harus diutamakan, yaitu berpikiran yang benar, mengucap yang benar, berbuat yang benar, ingatan yang benar, dan mempunyai kepercayaan yang benar.
Di samping itu ada pula wasiat yang harus dikerjakan dan wasiat ini selalu diamanatkan kepada generasi-generasi berikutnya, antara lain mempunyai budi yang baik, mencegah makanan mewah, bisa mengurangi tidur, sabar, wajib menerima dan melaksanakan ketentuan Yang Maha Agung, mempunyai rasa syukur pada Yang Maha agung, mempunyai rasa kasih sayang kepada orang miskin, memberi pertolongan kepada orang yang susah, tidak mempunyai rasa benar sendiri, pandai sendiri, kaya sendiri, dan harus mengakui bahwa semua itu milik Tuhan, dan sebagainya.
Selain itu ada sebuah sistem pengendalian sosial yang disepakati ,dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat Tengger, yaitu adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat, yaitu:
(a)   Memberi keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat istiadat Tengger yang berlaku;
(b)   Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan kejahatan;
(c)   Mengembangkan rasa malu;
(d)   Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak menyimpang dari ketentuan adat.[5]
Pada masyarakat adat Tengger dasar atau pedoman pengendalian sosial adalah nilai budaya Tengger yang dikaitkan dengan ajaran agama kepercayaan yang dianut. Antara nilai budaya dan agama tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan menjadi satu kesatuan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Setiap warga selalu diberi petunjuk kebenaran adat istiadat yang berlaku dan dibarengi dengan pengembangan rasa takut dalam jiwa setiap warga yang akan melakukan penyimpangan. Cara ini dilakukan dengan sosialisasi tentang berlakunya hukum karma. Misalnya, dikembangkan peribahasa "jangan mencuri satu jarum, maka nanti akan mengembalikan sebanyak kapak". Sosialisasi ini disampaikan baik dalam keluarga, sekolah, maupun di berbagai kesempatan lain. Rasa malu dan takut akan hukum karma benar-benar merasuk ke dalam jiwa anggota masyarakat sehingga ketegangan sosial dan penyimpangan sosial dapat dihindari oleh warga masyarakatnya.
Konsep hidup dan nilai budaya tersebut disosialisasikan dalam keluarga dengan mengfungsikan keberadaan Tumang. Tumang mirip  lengan tungku, selalu terletak di bagian belakang rumah. Tumang terbuat dari batu bata merah, pasir, semen, dan dilapisi keramik I terbentuk segi empat di bagian depan dibuat lubang dan berongga sampai belakang, dan di atasnya dilubangi untuk memasak air.
Tumang sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat  Tengger, setiap bangun tidur atau hendak tidur anggota keluarga berkumpul di depan tumang untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan, sehingga tumang seolah-olah berfungsi sebagai ajang anggota keluarga berdiskusi, ajang orang Tumang mendidik anak, ajang di mana nilai-nilai adat masyarakat Tengger disosialisasikan, sambil menghangatkan badan ketika melakukan perapian di depan tumang. Tumang ini tidak hanya untuk anggota keluarga saja tetapi sesama warga Tengger bila bertamu pun dapat langsung menuju tumang untuk berbincang-bincang.
Hal di atas jarang dijumpai pada masyarakat pedesaan lain dan perkotaan di Indonesia. Konsep makan bersama di meja makan sebagai ajang diskusi keluarga kini sudah luntur karena kesibukan masing-masing anggota keluarga. Rupanya, masyarakat adat Tengger masih mampu menjaga nilai-nilai adat sehingga kelestariannya lelap terjaga.
Lebih spesifik lagi di Desa Ngadisari ini, Kepala Desa juga mninpu membuat modifikasi-modifikasi aturan sehingga dapat menjaga tatanan sosial yang tetap harmonis, misalnya generasi muda harus ikut kegiatan Pramuka yang dibina sendiri oleh Kepala Desa dan bagi kaum muda yang hendak menikah harus dapat menunjukkan sertifikat telah mengikuti kegiatan Pramuka dengan baik.
Pelanggaran-pelanggaran norma, seperti hamil di luar nikah, didenda dengan menyerahkan batu atau bata untuk keperluan desa, dan sepanjang kepemimpinan Kepala Desa tersebut tidak ada lagi pelanggaran norma.
  1. Proses Institusionalisasi Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam memegang teguh nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang. Menurut Simanhadi menyatakan bahwa secara umum masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem kepercayaan Hindu yang sangat kuat. Animisme dan dinamisme tumbuh dan berkembang di Tengger sebagaimana tercermin pada kepercayaan masyarakat kepada benda-benda yang mempunyai kekuatan magis dan percaya kepada ruh-ruh nenek moyang mereka. Kepercayaan ini teraktualisasi dalam bentuk kegiatan- kegiatan ritual seperti Upacara Kasada, Hari Raya Karo, Entas-Entas, Upacara Unang-Unang, Upacara Kematian, Upacara Pujang Mubeng, Upacara Sesayut dan Upacara Praswala Gara.[6]
Sebagaimana dikutip oleh Tutik Sulistyowati, diperoleh bahwa perubahan masyarakat tengger tergantung dari tokoh adat yang mana menjadi pemimpin sekaligus mempunyai pengaruh besar dalam perubahannya., ketika ada salah seorang masyarakat yang melanggar adat setempat maka akan cenderung dimusuhi oleh tokoh setempat atau masyarakat setempat, sehingga hal itu yang akan menjadikan masyarakat takut untuk melanggar adat suku tengger.[7]
Proses Institusionalisasi atau pelembagaan nilai-nilai social budaya pada masyaakat tengger tidak terlepas dari pemimpin adat, pemerintah dan pemimpin keluarga, proses ini melewati beberapa tahap yaitu diketahui,dipahami,ditaati, dan dihargai.
Proses pengetahuan masyarakat tengger sudah dilakukan melalui pembelajaran dari orang tua sejak remaja, kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan secara tidak langsung akan ditiru oleh anak-anaknya. Selanjutnya pembelajran ini ditingkatkan menjadi sebuah pemahaman dengan indicator mangetahui maksud dan tujuan dari kegiatan yang dilaksanakan, kedua proses ini berpengaruh besar terhadap proses ketaatan dan kepatuhan para masyarakat yang ada di Tengger.
Kepatuhan seseorang ditentukan oleh unsur ekstern dan intern. Faktor ekstern adalah faktor pemimpin (baik pemimpin pemerintahan, adat atau keluarga) yang tegas dalam menjalankan peraturan dan banyaknya sanksi yang diberikan, mendorong mayoritas anggota cenderung melaksanakannya. Sedangkan, faktor intern adalah faktor pemahaman diri terhadap apa yang akan dilaksanakan. Biasanya ketaatan yang berasal dari faktor ekstern akan menyebabkan kurangnya perhargaan dari anggota masyarakat. Tetapi jika ketaatan yang tumbuh dalam warga dikarenakan faktor pemahaman (intern), maka penghargaan warga terhadap nilai sosial budaya yang ada akan cenderung tinggi.
  1. Upaya Islam dalam menyikapi budaya tengger
Hubungan antara Islam dan budaya yang ada di Tengger khususnya merupakan kegiatan yang dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani Shalih likulli zaman yang artinya selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka dengan dasar itu Islam akan senantiasa di hadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks.[8]
Warna maupun corak keislaman yang dipraktekkan oleh minoritas masyarakat tengger ditengah masyarakat yang mayoritas Hindu, sama seperti dengan masyarakat jawa yang lain. Menurut Woodword tradisi Islam dijawa menunjukkan kepiawaian Islam dalam mempengaruhi masyarakat jawa, bahwa antara agama dan tradisi jawa tidak lain hanya sekedar akulturasi sebagai strategi dakwah, namun akulturasi ini tidak menghilangkan unsur dari ajaran Islam itu sendiri.[9]
Salah satu cara Woodword dalam memahami Islam Jawa adalah dengan menempatkan tasawwuf dalam memahami Islam, watak dasar sufisme dalam pnyebaran Islam ditandai dengan penghormatan terhadap budaya local, seperti yang terjadi pada Islam dijawa pada Umumnya, yakni para wali songo menyebar Islam dengan memadukan antara Islam dan tradisi yang ada dijawa.
Dalam praktek keagamaan yang ditampakkan oleh komunitas muslim yang ada di Tengger dengan beberapa hal mendasar, yakni eksistensi tokoh agama masih dilibatkan dalam setiap perayaan agama Islam, kedua, Upaya adat masih diikuti oleh umat islam, ketiga penghormatan makrokosmos yang disimbolisasikan melalui gunung bromo juga masih tetap dipertahankan oleh orang muslim.
Di masa sekarang, khususnya di Jawa, sulit bagi kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan orisinil. Ini dikarenakan, sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan kejawen yang sangat mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah kultural dengan cara damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam yang dalam hal ini adalah walisongo sangat berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dan kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal.
Islam dalam konteks tasawuf tidak harus dalam ditempatkan dalam syariah saja, tasawuf banyak mengajarkan tentang subtansi Islam itu sendiri, yakni akhlakul karimah, keadilan dll. Hal ini juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yang mana Rosululloh mengajarkan Ilam kepada Ummatnya dengan selalu menghormati budaya umat masa lalu yang tanpa harus menghilangkannya.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asal muasal nama Tengger adalah perpaduan dari cerita rakyat tentang nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Pada ceeitanya mereka adalah sepasang suami istri dan lama tak dikaruniahi anak dan kemudian mereka berdua bertapa lama dan pada akhirnya mendapat jawaban dan permohonan mereka agar diberi karunia anak terkabyulkan. Namun dengan syarat anak bungsu mereka harus dikorbankan kedalam kawah gunung Bromo..
2. Adapun modal sosial yang ada pada masyarakat adat Tengger dimulai oleh adanya:
a. Konsep hidup masyarakat adat Tengger
b. Nilai budaya Masyarakat Adat Tengger
3. Proses Institusionalisasi atau pelembagaan nilai-nilai social budaya pada masyaakat tengger tidak terlepas dari pemimpin adat, pemerintah dan pemimpin keluarga, proses ini melewati beberapa tahap yaitu diketahui,dipahami,ditaati, dan dihargai.
4. Hubungan antara Islam dan budaya yang ada di Tengger khususnya merupakan kegiatan yang dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani Shalih likulli zaman yang artinya selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka dengan dasar itu Islam akan senantiasa di hadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks.
Pertanyaan:
1.      Mana yang lebih diutamakan oleh masyakat Tengger antara adat dan agama?
2.      Apakah adat-istiadat tersebut mengganggu ajaran agama?
3.      Apakah masyarakat suku tengger merupakan hitrogen atau yang laennya?


[1] Widayaprakosa, simanhadi, Masyarakat Tengger Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo, (KANISIUS: Jogjakarta, 1994) hal. 33-35
[2] Widayaprakosa, simanhadi, masyarakat tengger, hlm. 41
[3] Bambang Soemanto,. "Budaya Paternalis Masyarakat Adat Tengger". Tesis Master Universitas Muhammadiyah (Malang: 2002), hlm. 126

[4] Vina Salviana DS, Modal Sosial Masyarakat Dalam Menjaga Tatanan Sosial, dalam Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Ed. Nurudin dkk., (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 88-93. 

[5] Vina Salviana DS, Modal Sosial Masyarakat, hlm. 95
[6] Bahrul Ulum. INSTITUSIONALISASI NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TENGGER DI TENGAH KEPUNGAN AGAMA-AGAMA, (Malang :LP3M IAI Al-Qolam Jurnal Pusaka 2017).
[7] Sulistyowati, Tutik.2003. proses Institutionalitation Nilai-Nilai Sosial Budaya MAsyarakat Tengger. Dalam Agama tradisional : protet kearifan masyarakat samin dan tengger.Ed Nuruddin dkk.Yogyakarta:Lkis
[8] Bahrul Ulum. INSTITUSIONALISASI.63
[9] MAksum,Ali. Politik Identitas Masyarakat Tengger dalam mempertahankan sistem kebudayaan dari Hegemoni Islam dan Kekuasaan.(UIN Sunan Ampel Surabaya,Elharokah :2015) hal 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...