- Sejarah dan Legenda Tengger
- Asal mula nama Tengger
Asal muasal nama
Tengger adalah perpaduan dari cerita rakyat tentang nama Rara Anteng dan Jaka
Seger. Pada ceeitanya mereka adalah sepasang suami istri dan lama tak dikaruniahi
anak dan kemudian mereka berdua bertapa lama dan pada akhirnya mendapat jawaban
dan permohonan mereka agar diberi karunia anak terkabyulkan. Namun dengan
syarat anak bungsu mereka harus dikorbankan kedalam kawah gunung Bromo.
Pasangan suami istri tersebut dikaruniai 25 anak, dan setelah bertahun tahun
mereka hidup bahagia, gunung bromo pun berguncang dan mengeluarkan semburan
pertanda sudah waktunya pasangansuami tersebut memenuhi janjinya. Raden Kusuma
yang merupakan anak terakhir pun rela dirinya dijadikan wakil dari para
saudaranya dan masyarakat setempat untuk berkorban demi kesejahteraan dan
kedamaian oarangtua dan saudara-saudaranya. Setiap tanggal 1
Kasada ia berpesan agar diberi upeti hasil bumi. Itulah cerita rakyat asal usul nama
tengger yang berasal dari pasangan suami istri Rara Anteng dan Jaka Seger.[1]
- Perhitungan Tahun Saka Pada Suku Tengger
Masyarakat suku
Tengger memiliki perhitungan kalender tersendiri untuk
menentukan hari atau upacara besar mereka, mereka menamaisnya sebagai Tahun Saka atau Saka Warsa.
Perhitungan Tahun
Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1
(sepisan) sasi kedhasa (bulan kesepuluh), yaitu sehari stelah bulan tilem
(bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam Tahun Masehi. Cara menghitungnya
dengan rumus: tiap satu bulan berjumlah 30 hari, jadi dalam satu tahun ada 360
hari. Sedangkan untuk wukuatau hari pasaran dianggap sebagai wuku atau hari
tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus disatukan dan akan terjadi
pengurangan satu hari pada satu tahunnya. Untuk melengkapi atau menyempurnakan
diadakan perhitungan kembali stiap lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada
waktu itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan
Unan-unan, yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai
bulan berikutnya, yaitu bulan Dhesa atau bulan kesebelas.[2]
- Modal Sosial Masyarakat Adat Tengger
Pada masyarakat adat Tengger, khususnya di Desa Ngadisari,
kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, tampak adanya tatanan sosial yang
teratur. Dari hasil kajian lapangan diperoleh adanya temuan bahwa modal sosial
di desa inilah yang mampu sebagai penentu dan dasar kehidupan masyarakat yang
teratur, dan rupanya modal sosial ini tetap terjaga dengan baik oleh seluruh
anggota masyarakatnya.
Adapun modal sosial yang ada pada masyarakat adat Tengger dimulai
oleh adanya:
1. Konsep hidup masyarakat
adat Tengger
Konsep hidup masyarakat adat Tengger adalah mengikuti ujaran
tentang sikap hidup dengan sesanti panca setya, yaitu setya budaya (taat,
tekun, mandiri), setya wacana (setia pada ucapan/ perkataan), setya semaya
(setia/menepati janji) setya laksana (patuh dan taat), dan setya mitra (setia
kawan). Ajaran ini sangat berpengaruh lerhadap kehidupan masyarakat adat
Tengger. Tampak pada kehidupan sehari-hari sifat-sifat taat, tekun, kerja
keras, toleransi dan gotong royong serta tanggung jawab baik untuk diri sendiri
maupun untuk kepentingan bersama.
2. Nilai budaya Masyarakat Adat Tengger
Nilai budaya masyarakat adat Tengger terwujud dalam aturan-aturan
adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini didukung pula
dengan pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan dalam sikap
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut,
masyarakat adat Tengger selalu berusaha
untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung (Bambang
Soemanto, 2002:126).[3]
Kedekatan tersebut dipercaya akan membawa ketenangan dan ketenteraman serta
kebahagiaan dalam kehidupan kini dan esok. Perilaku dan tindakan anggota
masyarakat udat Tengger ini selalu diusahakan tidak melanggar adat istiadat,
dan aturan-atuan yang ada.
Adapun aturan-aturan yang harus ditaati adalah:
(a) Tidak menyakiti atau
membunuh binatang (kecuali untuk korban dan dimakan)
(b) Tidak mencuri;
(c) Tidak melakukan
perbuatan jahat
(d) Tidak berdusta
(e) Tidak minum minuman
yang memabukkan. [4]
Selain itu terdapat juga beberapa aturan yang harus diutamakan,
yaitu berpikiran yang benar, mengucap yang benar, berbuat yang benar, ingatan
yang benar, dan mempunyai kepercayaan yang benar.
Di samping itu ada pula wasiat yang harus dikerjakan dan wasiat ini
selalu diamanatkan kepada generasi-generasi berikutnya, antara lain mempunyai
budi yang baik, mencegah makanan mewah, bisa mengurangi tidur, sabar, wajib
menerima dan melaksanakan ketentuan Yang Maha Agung, mempunyai rasa syukur pada
Yang Maha agung, mempunyai rasa kasih sayang kepada orang miskin, memberi
pertolongan kepada orang yang susah, tidak mempunyai rasa benar sendiri, pandai
sendiri, kaya sendiri, dan harus mengakui bahwa semua itu milik Tuhan, dan
sebagainya.
Selain itu ada sebuah sistem pengendalian sosial yang disepakati
,dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat Tengger, yaitu adanya hukum
adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat,
yaitu:
(a) Memberi keyakinan pada
anggota masyarakat tentang kebaikan adat istiadat Tengger yang berlaku;
(b) Memberi ganjaran pada
anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan kejahatan;
(c) Mengembangkan rasa
malu;
(d) Mengembangkan rasa
takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak menyimpang dari ketentuan adat.[5]
Pada masyarakat adat Tengger dasar atau pedoman pengendalian sosial
adalah nilai budaya Tengger yang dikaitkan dengan ajaran agama kepercayaan yang
dianut. Antara nilai budaya dan agama tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
bahkan menjadi satu kesatuan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Setiap warga selalu diberi petunjuk kebenaran adat istiadat yang
berlaku dan dibarengi dengan pengembangan rasa takut dalam jiwa setiap warga
yang akan melakukan penyimpangan. Cara ini dilakukan dengan sosialisasi tentang
berlakunya hukum karma. Misalnya, dikembangkan peribahasa "jangan mencuri
satu jarum, maka nanti akan mengembalikan sebanyak kapak". Sosialisasi ini
disampaikan baik dalam keluarga, sekolah, maupun di berbagai kesempatan lain. Rasa malu dan takut akan hukum karma
benar-benar merasuk ke dalam jiwa anggota masyarakat sehingga ketegangan sosial
dan penyimpangan sosial dapat dihindari oleh warga masyarakatnya.
Konsep hidup dan nilai budaya tersebut disosialisasikan dalam
keluarga dengan mengfungsikan keberadaan Tumang. Tumang mirip lengan tungku, selalu terletak di bagian
belakang rumah. Tumang terbuat dari batu bata merah, pasir, semen, dan dilapisi
keramik I terbentuk segi empat di bagian depan dibuat lubang dan berongga sampai
belakang, dan di atasnya dilubangi untuk memasak air.
Tumang sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat Tengger, setiap
bangun tidur atau hendak tidur anggota keluarga berkumpul di depan tumang untuk
membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan kehidupan, sehingga tumang seolah-olah berfungsi sebagai ajang anggota
keluarga berdiskusi, ajang orang Tumang mendidik anak,
ajang di mana nilai-nilai adat masyarakat Tengger disosialisasikan, sambil
menghangatkan badan ketika melakukan perapian di depan tumang. Tumang ini tidak
hanya untuk anggota keluarga saja tetapi sesama warga Tengger bila bertamu pun
dapat langsung menuju tumang untuk berbincang-bincang.
Hal di atas jarang dijumpai pada masyarakat pedesaan lain dan
perkotaan di Indonesia. Konsep makan bersama di meja makan sebagai
ajang diskusi keluarga kini sudah luntur karena kesibukan masing-masing anggota
keluarga. Rupanya, masyarakat adat Tengger masih
mampu menjaga nilai-nilai adat sehingga kelestariannya lelap terjaga.
Lebih spesifik lagi di Desa Ngadisari ini, Kepala Desa juga mninpu
membuat modifikasi-modifikasi aturan sehingga dapat menjaga tatanan sosial yang
tetap harmonis, misalnya generasi muda harus ikut kegiatan Pramuka yang dibina
sendiri oleh Kepala Desa dan bagi kaum
muda yang hendak menikah harus dapat menunjukkan sertifikat
telah mengikuti kegiatan Pramuka dengan baik.
Pelanggaran-pelanggaran norma, seperti hamil di luar nikah, didenda
dengan menyerahkan batu atau bata untuk keperluan desa, dan sepanjang
kepemimpinan Kepala Desa tersebut tidak ada lagi pelanggaran norma.
- Proses Institusionalisasi Nilai-Nilai
Sosial Budaya Masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam
memegang teguh nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang. Menurut Simanhadi menyatakan bahwa
secara umum masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem
kepercayaan Hindu yang sangat kuat. Animisme dan dinamisme tumbuh dan
berkembang di Tengger sebagaimana tercermin pada kepercayaan masyarakat kepada
benda-benda yang mempunyai kekuatan magis dan percaya kepada ruh-ruh nenek
moyang mereka. Kepercayaan ini teraktualisasi dalam bentuk kegiatan- kegiatan
ritual seperti Upacara Kasada, Hari Raya Karo, Entas-Entas, Upacara
Unang-Unang, Upacara Kematian, Upacara Pujang Mubeng, Upacara Sesayut dan
Upacara Praswala Gara.[6]
Sebagaimana dikutip oleh Tutik Sulistyowati, diperoleh bahwa
perubahan masyarakat tengger tergantung dari tokoh adat yang mana menjadi
pemimpin sekaligus mempunyai pengaruh besar dalam perubahannya., ketika ada
salah seorang masyarakat yang melanggar adat setempat maka akan cenderung
dimusuhi oleh tokoh setempat atau masyarakat setempat, sehingga hal itu yang
akan menjadikan masyarakat takut untuk melanggar adat suku tengger.[7]
Proses Institusionalisasi atau pelembagaan nilai-nilai social
budaya pada masyaakat tengger tidak terlepas dari pemimpin adat, pemerintah dan
pemimpin keluarga, proses ini melewati beberapa tahap yaitu
diketahui,dipahami,ditaati, dan dihargai.
Proses pengetahuan masyarakat tengger sudah dilakukan melalui
pembelajaran dari orang tua sejak remaja, kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan
secara tidak langsung akan ditiru oleh anak-anaknya. Selanjutnya pembelajran
ini ditingkatkan menjadi sebuah pemahaman dengan indicator mangetahui maksud
dan tujuan dari kegiatan yang dilaksanakan, kedua proses ini berpengaruh besar
terhadap proses ketaatan dan kepatuhan para masyarakat yang ada di Tengger.
Kepatuhan seseorang ditentukan oleh
unsur ekstern dan intern. Faktor ekstern adalah faktor pemimpin (baik pemimpin
pemerintahan, adat atau keluarga) yang tegas dalam menjalankan peraturan dan
banyaknya sanksi yang diberikan, mendorong mayoritas anggota cenderung
melaksanakannya. Sedangkan, faktor intern adalah faktor pemahaman diri terhadap
apa yang akan dilaksanakan. Biasanya ketaatan yang berasal dari faktor ekstern
akan menyebabkan kurangnya perhargaan dari anggota masyarakat. Tetapi jika
ketaatan yang tumbuh dalam warga dikarenakan faktor pemahaman (intern), maka
penghargaan warga terhadap nilai sosial budaya yang ada akan cenderung tinggi.
- Upaya Islam dalam menyikapi budaya tengger
Hubungan antara Islam dan budaya yang ada di Tengger khususnya
merupakan kegiatan yang dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani
Shalih likulli zaman yang artinya selalu baik untuk setiap waktu dan tempat.
Maka dengan dasar itu Islam akan senantiasa di hadirkan dan diajak bersentuhan
dengan keanekaragaman konteks.[8]
Warna maupun corak keislaman yang dipraktekkan oleh minoritas
masyarakat tengger ditengah masyarakat yang mayoritas Hindu, sama seperti
dengan masyarakat jawa yang lain. Menurut Woodword tradisi Islam dijawa
menunjukkan kepiawaian Islam dalam mempengaruhi masyarakat jawa, bahwa antara
agama dan tradisi jawa tidak lain hanya sekedar akulturasi sebagai strategi
dakwah, namun akulturasi ini tidak menghilangkan unsur dari ajaran Islam itu
sendiri.[9]
Salah satu cara Woodword dalam memahami Islam Jawa adalah dengan
menempatkan tasawwuf dalam memahami Islam, watak dasar sufisme dalam pnyebaran
Islam ditandai dengan penghormatan terhadap budaya local, seperti yang terjadi
pada Islam dijawa pada Umumnya, yakni para wali songo menyebar Islam dengan
memadukan antara Islam dan tradisi yang ada dijawa.
Dalam praktek keagamaan yang ditampakkan oleh komunitas muslim yang
ada di Tengger dengan beberapa hal mendasar, yakni eksistensi tokoh agama masih
dilibatkan dalam setiap perayaan agama Islam, kedua, Upaya adat masih diikuti
oleh umat islam, ketiga penghormatan makrokosmos yang disimbolisasikan melalui
gunung bromo juga masih tetap dipertahankan oleh orang muslim.
Di masa sekarang, khususnya di Jawa, sulit
bagi kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan orisinil. Ini dikarenakan,
sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan
kejawen yang sangat mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat
mempengaruhi pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah kultural dengan cara
damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam yang dalam hal ini
adalah walisongo sangat berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara
mengisi seluruh elemen budaya dan kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa
harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima
dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni
terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal.
Islam dalam konteks tasawuf tidak harus dalam ditempatkan dalam
syariah saja, tasawuf banyak mengajarkan tentang subtansi Islam itu sendiri,
yakni akhlakul karimah, keadilan dll. Hal ini juga dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW, yang mana Rosululloh mengajarkan Ilam kepada Ummatnya dengan selalu
menghormati budaya umat masa lalu yang tanpa harus menghilangkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Asal muasal nama Tengger adalah perpaduan dari cerita rakyat
tentang nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Pada ceeitanya
mereka adalah sepasang suami istri dan lama tak dikaruniahi anak dan kemudian
mereka berdua bertapa lama dan pada akhirnya mendapat jawaban dan permohonan
mereka agar diberi karunia anak terkabyulkan. Namun dengan syarat anak bungsu
mereka harus dikorbankan kedalam kawah gunung Bromo..
2. Adapun modal sosial yang ada pada masyarakat adat Tengger
dimulai oleh adanya:
a. Konsep hidup masyarakat adat Tengger
b. Nilai budaya Masyarakat Adat Tengger
3. Proses Institusionalisasi atau pelembagaan nilai-nilai social
budaya pada masyaakat tengger tidak terlepas dari pemimpin adat, pemerintah dan
pemimpin keluarga, proses ini melewati beberapa tahap yaitu
diketahui,dipahami,ditaati, dan dihargai.
4. Hubungan antara Islam dan budaya yang ada di Tengger khususnya
merupakan kegiatan yang dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani
Shalih likulli zaman yang artinya selalu baik untuk setiap waktu dan tempat.
Maka dengan dasar itu Islam akan senantiasa di hadirkan dan diajak bersentuhan
dengan keanekaragaman konteks.
Pertanyaan:
1.
Mana
yang lebih diutamakan oleh masyakat Tengger antara adat dan agama?
2.
Apakah
adat-istiadat tersebut mengganggu ajaran agama?
3.
Apakah
masyarakat suku tengger merupakan hitrogen atau yang laennya?
[1]
Widayaprakosa, simanhadi, Masyarakat Tengger Latar Belakang Daerah Taman
Nasional Bromo, (KANISIUS: Jogjakarta, 1994) hal. 33-35
[3]
Bambang Soemanto,. "Budaya Paternalis Masyarakat Adat Tengger". Tesis
Master Universitas Muhammadiyah (Malang: 2002), hlm. 126
[4]
Vina Salviana DS, Modal Sosial Masyarakat Dalam Menjaga Tatanan Sosial,
dalam Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger,
Ed. Nurudin dkk., (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 88-93.
[6] Bahrul Ulum. INSTITUSIONALISASI
NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TENGGER DI TENGAH KEPUNGAN AGAMA-AGAMA,
(Malang :LP3M IAI Al-Qolam Jurnal Pusaka 2017).
[7] Sulistyowati,
Tutik.2003. proses Institutionalitation Nilai-Nilai Sosial Budaya MAsyarakat
Tengger. Dalam Agama tradisional : protet kearifan masyarakat samin dan
tengger.Ed Nuruddin dkk.Yogyakarta:Lkis
[9] MAksum,Ali. Politik
Identitas Masyarakat Tengger dalam mempertahankan sistem kebudayaan dari
Hegemoni Islam dan Kekuasaan.(UIN Sunan Ampel Surabaya,Elharokah :2015) hal
33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar