Senin, 29 April 2019

Analisis Buku Bahasa Arab Fitrah MA & yang Sederajat Kelas X (Semester Genap/1B)


Pengertian Asas-Asas Menyusun Bahan Ajar
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa asas adalah dasar atau hukum dasar. Secara umum, asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya.[1]
Sedangkan menurut Ahli, asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya.[2]
Dari definisi di atas kita bisa mengetahui bahwa untuk menyusun bahan ajar diperlukan dasar atau landasan berpikir, agar bahan ajar yang dihasilkan dapat menjadi bahan rujukan yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa yang menggunakannya.
Jadi dalam penyusunan bahan ajar, harus memperhatikan asas-asas sebagai dasar atau pijakan. Pijakan ini digunakan sebagai standar dalam menyusun dan mengembangkan bahan ajar. Jadi bahan ajar ada, untuk dikaji, didalami, dan dijadikan dasar dalam memproduksi bahan ajar yang baik dan sesuai standar.
Asas-asas yang harus diperhatikan dalam membuat buku ajar bahasa Arab sebagaimana disebutkan al-Ghali (1991:19), yaitu asas sosial budaya, psikologis, kebahasaan dan pendidikan.[3]

Ali Mustafa Yaqub (Hadis-hadis Bermasalah)


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu membimbing umat Islam dimanapun dan kapanpun. Namun kenyataannya, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi penafsiaran yang cocok. Dengan metodologi yang sesuai al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di manapun.[1]
Sedangkan hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang diakui otoritatif setelah al-Qur’an. Di kalangan ulama Sunni, hadis atau sunnah adalah rujukan normatif yang menjadi penjelas (bayan) substansi al-Qur’an. Meskipun terdapat perbedaan menyangkut statusnya, yakni apakah ia dapat menjadi sumber independen dari al-Qur’an atau tidak, pada kenyataannya para ulama (Sunni) sepakat menyangkut signifikansi hadis sebagai sumber tasyri’. Posisi demikian dengan jelas terekam dalam literatur fiqh mazhab. Yusuf al-Qaradawi dengan tepat mencatatnya:Tanpa Sunnah kita tidak mengetahui kebanyakan ketentuan hukum dalam Islam baik menyangkut ibadah atau muamalah. Siapa saja yang membaca buku-buku fiqh Islam dari beragam mazhab, maka akan jelas baginya bahwa Sunnah adalah pegangan mayoritas ketentuan hukum.[2]

Senin, 08 April 2019

PRO-KONTRA TRADISI ZIARAH KUBUR: PRESPEKTIRF MASYARAKAT MUSLIM Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Studi Islam


A.      Latar Belakang
Fenomena ziarah kubur tidak terkait langsung dengan al-Qur’an dan pelaksanaannya demikian khas sehingga orang yang menentangnya tidak kekurangan alasan untuk mencapainya sebagai perilaku yang menyimpang atau bahkan syirik. Praktiknya juga sering spektakuler, terutama pada perayaan-perayaan besar, bila kerumunan besar peziarah memperagakan imannya dengan emosi yang meluap sehingga mengganggu mereka yang lebih bersikap spiritual ataupun rasional. Akhirnya fenomena tersebut sering kali mewarisi praktik agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat serta ritus-ritusnya. Singkatnya, fenomena itu dapat saja dicap kurang murni dari sudut akidah, bahkan kurang serius, sehingga umumnya paling-paling ditolerir sebagai sarana yang dibutuhkan umat yang goyah imannya, agar dapat mengamalkan dan memperkuat iman.
Ziarah kubur ke makam para wali atau kerabat biasa, mempunyai tradisi yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Perdebatan tentang tradisi ini bergaung jauh dalam sejarah, perilaku keagamaan itu dikecam dengan gigih sebagai praktek syirik. Ada juga sebagian ulama’ yang memperbolehkan dengan tujan untuk mengingatkan umat Muslim datangnya akhirat kelak. Adapula yang menganggap sunnah dengan niatan amal shalih dan dakwah. Bahkan beberapa juga menganggap bahwa tradisi ziarah kubur merupakan perbuatan bid’ah, dan hukumannya adalah siksa neraka.

METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS “SALAHUDIN IBN AHMAD AL- ADLABI”(Oleh M. Masykur & M Fadhil)


Keberadaan hadis sebagai pedoman hidup menempati posisi kedua setelah Alquran yang juga sebagai marja‘ syar‘iy, merupakan hal yang layak untuk diakui mampu membantu menafsirkan pesan-pesan global dari kandungan al-Wahyu al-Matlu (Alquran) agar mudah dipahami oleh umat Islam. Namun kelayakan hadis sebagai penjelas tidak terlepas dari bagaimana orisinilitas-nya dan otoritas-nya dijadikan sebagai hujjah. Karena ketika hadis ingin dijadikan sebagai hujjah terlebih dahulu seseorang harus mampu memfilter bagaimana kedudukan hadis tersebut hingga bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum.
Kehujjahan hadis sebagai marja’ syar‘iy tidak dapat dikatakan kemutawatirannya sama dengan Alquran, melainkan terdapat titik perbedaan yang sangat jauh, sebab kemutawatiran Alquran mutlak tidak dapat dibantahkan, sedangkan hadis kemutawatirannya masih terdapat hal yang diperselisihkan oleh kalangan ulama hadis dikarenakan banyaknya tersebar hadis- hadis palsu terutama pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Tholib. Pada masa itu barisan umat Islam benar-benar terpecah, yang tercermin pada terbentuknya dua kelompok militer Amir al-Mu’min³n, Ali yang didukung oleh penduduk Hijaz dan Irak, dan kelompok militer Muawiyah. Gubernur Syam yang didukung oleh mayoritas penduduk Syam dan Mesir.[1]

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...