BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Al-Qur’an
merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu membimbing umat
Islam dimanapun dan kapanpun. Namun kenyataannya, untuk mendapatkan petunjuk
dan rahmat al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan segala upaya
intelektual dan metodologi penafsiaran yang cocok. Dengan metodologi yang
sesuai al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di
manapun.[1]
Sedangkan hadis
merupakan salah satu sumber hukum Islam yang diakui otoritatif setelah
al-Qur’an. Di kalangan ulama Sunni, hadis atau sunnah adalah rujukan normatif
yang menjadi penjelas (bayan) substansi al-Qur’an. Meskipun terdapat perbedaan
menyangkut statusnya, yakni apakah ia dapat menjadi sumber independen dari
al-Qur’an atau tidak, pada kenyataannya para ulama (Sunni) sepakat menyangkut
signifikansi hadis sebagai sumber tasyri’. Posisi demikian dengan jelas terekam
dalam literatur fiqh mazhab. Yusuf al-Qaradawi dengan tepat mencatatnya:Tanpa
Sunnah kita tidak mengetahui kebanyakan ketentuan hukum dalam Islam baik
menyangkut ibadah atau muamalah. Siapa saja yang membaca buku-buku fiqh Islam
dari beragam mazhab, maka akan jelas baginya bahwa Sunnah adalah pegangan
mayoritas ketentuan hukum.[2]
Namun demikian,
tidak seperti al-Qur’an yang metode periwayatannya dilakukan secara mutawatir
dan sudah ditulis sejak masa kenabian Muhammad Saw., sehingga ia menjadi
niscaya sebagai sumber hukum, tidak demikian halnya dengan hadis. Hadits, yang
baru ditulis pada akhir abad II Hijriyah dan periwayatannya yang tidak semuanya
dilakukan secara mutawatir, perlu diteliti lebih dulu sebelum bisa diamalkan.
Untuk itulah, para ulama di masa lalu berusaha mengembangkan sebuah metode
dimana hadis selanjutnya bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Secara umum, ada
dua besaran atau objek kajian dalam hadis, yaitu kegiatan mendapatkan,
mengkaji, dan mempelajari materi hadits dan (ilmu riwayah al-hadits) dan
kegiatan mengkaji status hadis dengan mengukur apakah ia bisa diterima atau
ditolak (ilmu dirayah al-hadits). Dari dua besaran kegiatan mempelajari hadis
ini, disiplin ilmu terakhir lah yang banyak berkaitan dengan aktivitas
mengamalkan atau aktivitas mendapatkan hukum (istinbat al-hukm) dari hadis,
yang darinya dikenal dua metode kritik hadis, yaitu metode kritik sanad
(periwayatan), dan metode kritik matn (teks/ redaksi).
Untuk konteks
wilayah Indonesia pada umumnya, diantaranya muncul nama-nama yang ahli dibidang
ilmu hadits. Diantaranya yang tidak asing ditelinga kita seperti Syuhudi Ismail, Hasbi as-Shiddiqy dan berikut sosok
pakar Hadis yang akan kita bahas dalam
makalah kali ini yang muncul diabad modern yaitu Ali Mustafa Ya’qub dalam
karyanya Hadits-Hadits Bermasalah.
Dengan
demikian, makalah ini akan membahas secara terperinci mengenai: Ali Mustafa
Ya’qub dalam karyanya Hadits-Hadits Bermasalah.
- Rumusan Masalah:
Berdasarkan
latar pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana
latar belakang kehidupan atau biografi Ali Mustafa Ya’qub?
- Bagaimana
kegelisahan Akademik Ali Mustafa Ya’qub?
- Bagaimana
logika dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah ?
- Bagaimana
metodologi dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah?
- Bagaimana Apresiasi
buku ini dibandingkan buku lain ?
- Bagaimana
kritik terhadap buku ini?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Mengetahui
latar belakang kehidupan atau biografi Ali Mustafa Ya’qub
2.
Mengetahui
kegelisahan Akademik Ali Mustafa Ya’qub
3.
Mengetahui
logika dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah
4.
Mengetahui
metodologi dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah
5.
Mengetahui
Apresiasi buku ini dibandingkan buku lain
6.
kritik
terhadap buku ini
BAB
II
PEMBAHASAN
- Biografi
KH. Ali Mustafa Yaqub
Ali Mustafa
Yaqub lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang,
Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan
keluarga yang taat beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali tiap hari sehabis belajar di sekolah dasar
(SD) di desa tempat kelahirannya, ia
habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.[3] Kebiasaan ini kelak membentuk karakter dan kepribadian Ali yang tegas, kritis, dan
peduli.
Ayahnya bernama
Yaqub, seorang mubaligh terkemuka pada
zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinya “Menegakkan Amar
Ma’ruf dan memberantas Kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar
dan mengajar. Mayoritas penduduk di
lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang belum mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah
dan kakeknya mendirikan sebuah pondok
pesantren yang para santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya
mengharap rida Allah swt, berjiwa besar
dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah swt.[4]
dan Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan Ibu rumah tangga yang ikut membantu perjuangan suaminya
(Yaqub). Ibu Ali meninggal pada tahun 1996
Pendidikan KH.
Ali Mustafa Yaqub, Semula Ali berminat ke pendidikan umum. Namun ayahnya
memasukkannya ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat kelahirannya, dengan diantar ayahnya ia mulai
mondok untuk memperoleh ilmu agama di
pesantren Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah. Rentang waktu 1966-1969.
Kemudian ia nyantri lagi di pesantren Tebuireng
Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok
Seblak, 1969-1972. Selanjutnya pada
pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan
menuntut ilmu pada program studi syari’ah Universitas Hasyim
Asy’ari Jombang dan selesai pada tahun
1975.[5]
Kemudian
melanjutkan studinya lagi di luar negeri mengambil Fakultas Syariah Universitas
Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia (S1, 1976–1980), Fakultas
Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir
Hadits (S2, 1980–1985), dan Universitas Nizamia, Hyderabad, India, Spesialisasi
Hukum Islam (S3, 2005–2008) di mana dalam disertasinya yang berjudul “Kriteria
Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika dalam Perspektif al-Quran dan
Hadits”.
Kiprah dan
Dakwah KH. Ali Mustafa Yaqub Setelah
pulang ke tanah air beliau menjadi dosen di berbagai Perguruan Tingi Islam
seperti: Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ),
Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah dan UIN Syarif Hidayatullah.
Beliau merupakan sosok pribadi intelektual muslim. Ia dikenal sebagai pakar
ilmu hadits. Sebab itu tidak mengherankan bila ia mengembangkan dakwah Islamiah
lewat perspektif hadits. Dan kalau berbicara soal hadits berikut kisi-kisi
kehidupan, perilaku dan tindakan Rasulullah Saw., KH. Ali Mustafa Yaqub memang
memiliki otoritas.[6]
Kiprah
organisasinya mulai dikenal ketika di Riyadh ia terpilih menjadi ketua
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Tahun 1990-1996 beliau menjadi Sekjen
Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin. Pada tahun 1997 ia mendirikan pondok
pesantren dengan spesialisasi ilmu hadits yang bernama Pesantren Luhur Ilmu
Hadits Darus Sunnah. Pesantren ini terletak di Jalan SD Inpres no. 11 Pisangan
Barat Ciputat, Jakarta, yang didirikan untuk mempelajari tentang hadits dan
ilmunya. Pesantren tersebut memberikan pendidikan secara gratis dan banyak
diminati oleh anak-anak muda dari berbagai daerah.[7]
Dalam dunia
tulis menulis Ali Mustafa punya sebuah filosofi yang menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya
yaitu, “Walaa Tamuutunna Illa wa antum Katibun”. “Pantang meninggal sebelum
berkarya”. Menurutnya, tulisan akan
menjadi guru lintas generasi; sedang kata-katanya hanya untuk orang waktu yang
terbatas. Buku akan selalu bisa dibaca oleh banyak orang di setiap waktu. Dalam
sebuah syair yang beliau gubah, Ali Mustafa mengungkapkan:
“Karya-karya tulis akan kekal
sepanjang masa sementara penulisnya hancur
terkubur di bawah tanah.”[8]
Berdasarkan
spesifikasi keilmuan, Ali Mustafa adalah seorang pakar hadis, tetapi karya yang telah beliau hasilkan
tidak hanya terbatas pada kajian hadis
saja, tetapi pada kajian keilmuan lainnya juga, seperti Aqidah, Fiqih, Dakwah, dan Tafsir. Sampai tahun 2009 telah
berjumlah 27 judul bukunya yang telah
diterbitkan.
Dalam bidang
kajian hadis, karya tulis Ali Mustafa meliputi: Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis
(1991); Kritik Hadis (1995); Peran Ilmu
Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM A’zamî Pembela Eksistensi Hadis (2002);
Hadis-Hadis Bermasalah (2003); dan
Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003).
Dalam bidang
Fiqih meliputi: Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an
Dan Hadis (2009); Nikah Beda Agama Dalam
Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2005); dan Imam Perempuan (2006).
Dalam bidang
Dakwah meliputi: Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan Penghafal al-Qur’an (1990); Sejarah Dan Metode
Dakwah Nabi (1997); Kerukunan Umat Dalam
Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2000); Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003);
Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit
Bersama Obama (2010).
- Kegelisahan
Akademik
Buku ini diterbitkan bermula dari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan dari berbagai
lapisan masyarakat tentang hadis yang berkembang di kalangan masyarakat.
Berbagai pertanyaan yang datang pada akhirnya menciptakan buku ini sebagai
jawaban dari beberapa pertanyaan yang muncul tentang hadis yang sering
terdengar di telinga masyarakat. Penelitian tentang hadis yang banyak tersebar
di kalangan masyarakat yang pada akhirnya mengilhami penulis untuk menerbitkan
buku ini. Hadis-hadis itu adakalanya kondang di masyarakat , bahkan menjadi
dasar amalan ibadah mereka, padahal setelah diteliti hadis-hadis tersebut
ternyata palsu.
Kendati hadis-hadis itu berbeda dalam segi
kualitasnya, namun semuanya sama dalam hal kepopulerannya di masyarakat.
Karenanya, setelah hadis-hadis itu dikumpulkan dalam buku ini, buku ini tidak
disebut Hadis-hadis palsu dan Lemah
Sekali, seperti lazimnya buku-buku yang sudah terbit, tetapi cukup disebut Hadis-hadis Bermasalah. Tentu saja,
hadis-hadis yang semula dipermasalahkan oleh sebagian masyarakat, setelah
diketahui statusnya melalui buku ini, diharapkan tidak lagi dipermasalahkan. [9]
- Logika dan
Sistemtika Penulisan Ali Mustafa Yakub
Usaha keras Ali Mustafa Ya’qub dalam
mengumpulkan dan meneliti hadits guna memastikan kualitasnya, akhirnya
tersusunlah sebuah buku hadits sebagaimana yang dikenal pada saat ini dengan
tema Hadits-hadits bermasalah. Usaha kerasnya ini tergambar dari usaha beliau
mempersiapkan bukunya selama 9 (Sembilan) tahun, yang dimulai pada tahun 1994
sampai pada tahun 2003.
Nama buku Hadits-hadits bermasalah
adalah merupakan pemberian langsung Ali Mustafa Ya’qub yang ditulis sebanyak
203 halaman, Pada mulanya Ali Mustafa Ya’qub hanya mengumpulkan sebanyak 28
hadits, namun setelah melihat apa yang berkembang dimasyarakat, ternyata masih ada hadits yang perlu beliau tambahkan
dalam bukunya tersebut, beliau menambahkan sebanyak 5 buah hadits lagi, karna
hadits tersebut dipandang perlu untuk diketahui oleh masyarakat. Jadi, jumlah
Hadis-hadis bermasalah dalam buku ini sebanyak 33 Hadis bermasalah.
- Metodologi
Penulisan Buku Hadits-Hadits Bermasalah
Metode yang dipakai oleh Ali Mustafa
Ya’qub dalam menulis bukunya adalah metode maudhu’i (tematik). Dengan diawali
uraian cerita (qishahah) dan metode dialog (hiwar). Bahkan kadang-kadang disana
diselipi dengan kata-kata jenaka. Tujuannya untuk mempermudah pembaca memahami
kandungan hadis tersebut. Sebagai suatu cerita, terkadang tulisan-tulisan dalam
buku tersebut, diangkat dari kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat, dan
tentu saja dengan dilakukan perubahan nama tokoh-tokoh dalam cerita itu.
Adapula tulisan itu semata-mata fiktif, tanpa diawali suatu kejadian apapun.
Dan ada pula yang merupakan gabungan antara fakta dan fiktif. Penulis buku yang
juga pimpinan Pesantran Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, menjabarkan setiap hadis
dari mulai matan (teks)-nya, rawi (periwayat), kualitas hadis dan kedudukan
hadis itu secara umum serta uraian sedikit banyak menyangkut ilmu hadits.[10]
Hadits-hadits yang disajikan dalam
buku tersebut cukup familiar dan kita akan terkejut, ternyata banyak hadits
yang bermasalah. Dan itu adalah yang berkembang di masyarakat. Kenyataan ini
membuktikan apa yang beliau tegaskan bahwa, dibanding dengan hadit-hadits
shahih, Hadits-hadits yang palsu yang beredar di masyarakat jumlahnya jauh
lebih kecil. Namaun jumlah yang sangat kecil ini apabila dibiarkan, dapat
mengotori jumlah yang sangat besar. Karenanya membersihkan yang sangat besar
dari hal-hal yang sangat kecil itu tampaknya suatu keharusan.
Ada sebanyak 33 hadits yang beliau
himpun dalam bukunya, ke-33 hadits tersebut dipandang hadits-hadits yang
bermasalah ataupun dipandandang sebagai hadits Dha’if. Ali Mustafa Ya’qub
menetapkan kualitas hadits tersebut sebagai hadits-hadits yang bermsalah tidak
sekedar menetapkan saja. Akan tetapi untuk memastikan kualitas sebua hadits
dalam menyusun bukunya terlebih dahulu beliau meneliti hadits itu dengan
mentahkrij hadits tersebut dari kitab sumbernya, dan tidak hanya merujuk pada
satu kitab saja akan tetapi semua kitab-kitab yang menukuil hadits tersebut.
Setelah itu barulah beliau melakukan i’tibar, meneliti siapa-siapa yang menjadi
sanadnya, siapa rawinya dan tak lupa juga beliau meneliti kualitas matannya,
baru setelah itu beliau memperkuatnya dengan asbabul wurud hadits tersebut.
Koleksi hadits dalam buku beliau
tidak terbatas pada satu pembahasan saja, akan tetapi berisi beberapa
pembahasan, beliau mengisi kitabnya dengan hadits-hadits tentang hukum, mu’amalah,
fadhailul a’mal, kisah-kisah, ahklak, dan beberapa pembahasan yang lain
mengenai hadits-hadits yang populer di kalangan masyarakat yang kualitas
haditsnya lemah.
1)
Mencari llmu di Negeri Cina
Pada akhir tahun 1994 ada seorang
mahasiswi lnstitut llmu Al-Qur'an Jakarta yang sedang menjalankan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di kawasan Kebayoran Lama, ditanya oleh seorang warga masyarakat
setempat. Katanya, "Siapakah yang meriwayatkan Hadis Carilah ilmu meskipun
di negeri Cina, dan mengapa Nabi Saw menyebutkan Cina, bukan Eropa saja?".
Pertanyaan ini sangat bagus, karena yang ditanyakan adalah periwayatnya, dan
ini merupakan aspek sanad (silsilah keguruan Hadis), juga substansinya (mengapa
menyebut Cina), dan ini menyangkut aspek matan (materi Hadis). Pertanyaan ini
juga sekaligus membuktikan bahwa Hadis tersebut sudah memasyarakat.
Teks Hadis
populer tersebut:
اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْن فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya:
Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap
muslim.
Hadis ini oleh para ulama
dikatagorikan sebagai Hadis masyhur yang non-terminologis, yaitu Hadis yang
sudah populer di masyarakat meskipun terkadang-hal
itu belum berarti bahwa ia benar-benar Hadis yang berasal dari Nabi Saw. Kemudian
Hadis Carilah ilmu meskipun di negeri Cina di atas tadi diriwayatkan oleh
rawi-rawi antara lain, Ibn ‘Adiy (w. 356 H) dalam kitabnya al-Kamil
fi Dhu'afa al-Rijal. Abu Nu'aim (w. 430 H) dalam kitabya Akhbar Ashbihan,
al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya Tarikh Baghdad dan al-Rihlah fi
Thalab al-Hadits, Ibn Abd al-Barr (w. 463 H) dalam kitabnya Jami 'Bayan al-'Ilm
wa Fadhlih. Ibn Hibban (w. 254 H) dalam kitabnya al-Majruhin. dan lain-lain. Sementara
itu sanadnya adalah, mereka semua·menerima Hadis itu dari: al-Hasan bin Atiyah,
dari Abu Atikah Tarif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik, (dari Nabi Saw). [11]
Maka, hadis maudhu’ diatas memiliki
makna rendah dalam kedudukannya, jatuh tidak bisa diambil dasar hukum,
diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi SAW sedangkan beliau
tidak mengatakannya. Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudhu’ adalah sesuatu
yang dinisbahkan pada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukanlah perkataan,
perbuatan, atau takrir Nabi SAW.Sebuah hadis dikatakan palsu apabila memiliki
ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, matan ( teks ) hadis tak sesuai dengan
kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW. Kedua,
bertentangan dengan Al-Quran, akal, dan kenyataan.[12]
·
Kualitas
Hadis
Imam Ibn Hibban mengatakan. Hadis
ini bathil la ashla lahu (batil, palsu, tidak ada dasarnya). Pernyataan Ibn
Hibban ini diulang kembali oleh al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqhasid
al-Hasanah. Sumber kepalsuan Hadis ini adalah rawi yang bernama Abu Atikah
Tarif bin Sulaiman (dalam sumber lain tertulis: Salman). Menurut para ulama
Hadis seperti al-'Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa'i, dan Abu Hatim, mereka sepakat
bahwa Abu Atikah Tarif bin Sulaiman tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi
Hadis. Bahkan menurut al-Sulaimani, Abu Atikah dikenal sebagai pemalsu Hadis.
Imam Ahmad bin Hanbal juga menentang keras Hadis tersebut. Artinya, beliau tidak mengakui bahwa ungkapan
Carilah Ilmu meskipun di negeri Cina itu sebagai Hadis Nabi.[13]
·
Riwayat~riwayat
Lain
Hadis tersebut juga ditulis kembali
oleh Ibn al-Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu'at (Hadis-hadis palsu). Kemudian
al-Suyuti dalam kitabya al-La 'ali al-Mashnu'ah fi al-Ahadits al-Maudhu'ah-
sebuah kitab ringkasan dari kitab Ibn al-jauzi ditambah komentar dan tambahan-
mengatakan bahwa di samping sanad di atas, Hadis tersebut memiliki tiga sanad
lain.
Dalam sanad pertama terdapat
nama Ya'qub bin Ibrahim al-As- qalani. Menurut Imam al-Dzahabi, Ya'qub bin
Ibrahim al-Asqalani adalah kadzdzab (pendusta). Dalam sanad kedua
terdapat nama Ahmad bin Abdullah ai-Juwaibari. dia adalah seorang pemalsu
Hadis. Sementara dalam sanad ketiga, Ibrahim al-Nakha'i tidak pernah
mendengar apa-apa dari Anas bin Malik. Demikin kata Ibn Hajar al- Asqalani.
Oleh karenanya, ia juga tidak lebih dari seorang pendusta.[14]
Selanjutnya, dalam disiplin ilmu
Hadis, Hadis yang sangat parah kelemahannya, seperti Hadis Maudhu, Hadis matruk
dan Hadis munkar tidak dapat dijadikan sebagai dalil apa pun, hatta untuk dalil
amal-amal kebajikan (fadhail al-a 'mal) , sebab salah satu syarat dapat
digunakannya Hadis- hadis dha’if untuk dalil-dalil fadhail al-a'mal adalah
kedha'ifan Hadis- hadis tersebut tidak parah. Sedangkan Hadis "Mencari
ilmu di negeri Cina" itu sangat parah kedhai'fannya. Oleh karena itu,
meskipun Prof. Dr. Nur al-Din 'Itr berbeda pendapat dengan Syeikh Nashir al-Din
al- Albani dan Ibn al-Jauzi dalam menilai Hadis tersebut, namun dalam
prakteknya mereka sepakat bahwa Hadis tersebut tidak dapat di- gunakan untuk
dalil apa pun, baik untuk aqidah, syari’ah maupun akhlaq dan fadhail al-a'mal.
Adanya ungkapan tuntutlah ilmu
sampai ke negeri China, Ungkapan itu boleh jadi mulanya adalah semacam
kata-kata mutiara, karena konon katanya Negeri Cina pada masa lalu sudah
dikenal memiliki budaya yang tinggi. Kemudian lambat-laun unkapan itu
disebut-sebut sebagai Hadis.
2) Tidak makan kecuali lapar
نَحْنُ قَوْمٌ
لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَ إِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ
Kami adalah orang-orang yang tidak makan sehingga kami lapar, dan apabila
kami makan, kami tidak sampai kenyang.
·
Ketinggalan kereta
Sebagai
orang yang mempelajari hadist, penulis merasa ketinggalan dari para penceramah.
Sejauh penulis membaca kitab-kitab hadist, beliau tidak menemukan adanya hadist
tentang tidak makan kecuali setelah lapar.
·
Dokter dari sudan
Penulis
tidak menemukan di kitab-kitab hadist. Akan tetapi pada akhirnya beliau
menemukan dalam kitab al-rahmah fi al-tibb wa al-hikmah, karya Imam
al-Suyuti. Dan ternyata ungkapan di atas bukanlah sebuah hadist Nabi SAW,
melainkan ucapan seorang dokter ahli dari Sudan.
·
Hadist palsu
Ternyata
ungkapan yang selama ini diklaim sebagai Hadis itu tidak lebih dari sekedar
ucapan seorang dokter dari sudan. Sekiranya hal itu benar Hadis Nabi Saw,
tentulah Imam al-Suyuti (w.911 H)sudah menyebutkan bahwa ungkapan itu adalah
sabda Nabi Saw. Karena Imam al-Suyuti adalah seorang Ahli Hadis unggulan yang
mendapat gelar al-Hafidz pamungkas.
3)
Orang yang Mengenali Dirinya la Mengenal Tuhannya
Hadis ini sungguh sangat populer,
khususnya di kalangan orangorang tasawuf. Bagi mereka yang tidak kritis, karena
disebut sebagai Hadis, maka hal itu mereka terima seutuhnya, tanpa perlu
mempertanyakan lagi. Bahkan mungkin ada yang beranggapan, mempertanyakan suatu
Hadis dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan kebenaran.
Tetapi bagi orang-orang yang
bersikap kritis, mereka selalu digoda pertanyaan, siapakah periwayat Hadis itu?
Benarkah hal itu merupakan Hadis Nabi Muhammad Saw? Apabila hal itu benar
Hadis, maka apa kualitasnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sering kami
dengar dari kawan-kawan.
Hadis populer sebagaimana dimaksud
di atas itu adalah ungkapan sebagai berikut:
من عرف نفسه
عرف ربه
Artinya: Siapa yang mengenali dirinya, ia mengenali Tuhannya.
Konon, Hadis ini maksudnya adalah,
siapa yang mengetahui bahwa dirinya itu bersifat baru, ia akan mengetahui bahwa
Tuhannya bersifat Qadim (dahulu). Siapa yang mengetahui bahwa dirinya akan
punah (Fana), ia akan mengetahui bahwa Tuhannya adalah bersifat baqa kekal).[15]
Dan sebagai Hadis populer, ia tercantum dalam kitab-kitab tentang Hadis
populer.
·
Kualitas
Hadis
Dari kitab-kitab rujukan yang kami
telaah, tidak ada seorang pun ulama yang mengatakan bahwa ungkapan di atas itu
bersumber dari Rasulullah Saw. Menurut Abu al-Mudhaffar bin al-Sam'ani,
ungkapan di atas itu tidak dikenal sebagai Hadis marfu' (bersumber dari Nabi
Saw), melainkan bersumber dari Yahya bin Muadz al-Razi. Karenanya, Imam
al-Nawawi menegaskan bahwa Hadis itu laisa bi tsabit (tidak ada). Imam Ibn
Taimiyah juga menyatakan bahwa Hadis itu maudhu' (palsu).
Sumber lain menuturkan bahwa
ungkapan itu adalah ucapan Abu Sa'id al-Kharraz." Dan bagaimanapun,
ungkapan itu bukanlah Hadis Nabawi. Karenanya, apabila hal itu dinisbahkan
kepada Nabi Saw, maka ungkapan itu menjadi Hadis palsu. Maka tepatlah
pernyataan Imam al-Nawawi dan Imam Ibn Taimiyah yang menegaskan bahwa Hadis
tersebut adalah palsu. Pernyataan Imam al-Nawawi laisa bi tsabit adalan istilah
lain bagi Hadis palsu.[16]
·
Metode
Kasyf
Meskipun para Ahli Hadis, seperti
Imam al-Nawawi dan Imam Taimiyah, telah menetapkan bahwa Hadis tersebut di atas
palsu, namun sebagian kaum sufi tetap memandang bahwa Hadis itu shahih. Ibna
Ghars menuturkan bahwa kitab-kitab tashawwuf sangat sarat dengan Hadis ini. Kaum
sufi itu, seperti Syaikh Muhyi al-Din bin al-'Araby dan lain-lain memposisikan
ungkapan tersebut sebagai Hadis.
Menurut Isma’il al-‘Ajluni dalam
buku Mustafa mengatakan, bahwa Syaikh Hijazi al-Wa'idh, pensyarah kitab
al-Jami' al-Shaghir karya al-Suyuti, bahkan menyebutkan bahwa Syaikh Muhyi
al-Din bin al-Araby itu dianggap sebagai hafidh (ahli Hadis). Bahkan ada yang
menuturkan, Syaikh Muhyi al-Din mengatakan, "Hadis ini, meskipun tidak
shahih dari segi riwayat, namun bagi kami Hadis itu shahih berdasarkan metode
kasyf."[17]
Kasyfsecara kebahasaan berarti membuka atau menyingkap tabir. Sementara makna
kasyf menurut istilah kaum sufi adalah pancaran Tuhan, yaitu pengetahuan yang
diberikan oleh Allah kepada seseorang sehingga orang itu mengetahui sesuatu
tanpa proses pembelajaran dan penelitian.
Para ahli Hadis sejak masa Nabi
sampai masa kini, tidak pernah ada yang menggunakan metode kasyf untuk
membuktikan otentisitas (keshahihan) Hadis. Apabila metode kasfy ini
dibenarkan, maka semua orang dapat mengklaim dirinya memiliki metode ini, dan
pada gilirannya Hadis-hadis palsu dapat berubah menjadi Hadis shahih. Apabila
benar metode kasyfini dipakai oleh sejumlah orang-orang sufi dalam membuktikan
otentisitas Hadis, maka ini adalah salah satu perbedaan antara kaum sufi dengan
ahli-ahli Hadis dalam masalah tersebut.
Sementara itu, Imam Jalal al-Din
al-Suyuti menulis buku secara khusus untuk membahas Hadis di atas itu, dengan
judul al-Qaul alAsybah fi Hadits Man Arafa Nafsah Arafa Rabbah.? Sedangkan
dalam Adab al-Dunya wa al-Din, karya Imam al-Mawardi, terdapat keterangan dari
Aisyah, bahwa Nabi Saw pernah ditanya tentang orang yang paling tahu terhadap
Tuhannya. Jawab Nabi Saw, "Yaitu orang yang paling mengenali
dirinya". Namun sayang, tidak ada kejelasan tentang sanad Hadis riwayat
Aisyah ini sehingga sulit dilacak keshahihannya.[18]
4)
Hadis Tentang Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Shalat malam dibulan Ramadlon
dinamakan tarawih yang artinya istirahat.[19]
Hal ini karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan
shalat empat raka’at. Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari
kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat
sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal
tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam
Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya
beristirahat tiap sehabis empat rakaat.
Dalam kalangan masyarakat jumlah
rakaat shalat tarawih menjadi perdebatan diantara mereka. Beberapa menagatakan
shalat tarawih dilakukan delapan rakaat adapula yang berpendapat dilakukan dua
puluh rakaat. Ada sebuah Hadis riwayat Imam al-Thabrani yang berbunyi:
عن ابن عباس قال، كان النبي صلى الله عليه
وسلم يصلى في رمضان عشرين ركعة والوتر
artinya : Dari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Saw
shalat pada bulan Ramdhan dua puluh rakaat dan witir”.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami menuturkan dalam kitabnya bahwa hadis ini adalah
lemah sekali, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah
Ibrahim bin Utsman. Imam Tirmidzi
mengatakan bahwa Abu Syaibadi malam adalah munkar hadisnya. Sedangkan Imam
al-Nasai mengatakan Abu Syaibah adalah matruk hadisnya.
Sedangkan hadis yang menerangkan
tentang shalat tarawih delapan rakaat dan witir. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban
ada sebuah hadis yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin
Ka’ab datang meenghadap Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam
ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw
kemudian bertanya, “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang
wanitadi rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka
meminta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka
delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “Makah al
itu diridhai Nabi Saw, karena beliau tidak berkata apa-apa”[20]
·
Kualitas
Hadis
Hadis ini kualitasnya lemah sekali,
karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para
kritik Hadis Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam al-Nasai
pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu
karena ia pendusta).[21]
Ada lagi hadis lain yang lebih konkrit dari hadis diatas, yaitu riwayat Ja’far
bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:
Artinya: Nabi Saw pernah mengimami
kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.
Hadis ini
nilainya sama dengan hadis Ubay bin Ka’ab di atas yaitu matruk (semi palsu),
karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah. Jadi menurut buku ini
ketika kita shalat tarawih baik delapan rakaat maupun dua puluh rakaat
menggunakan hadis diatas adalah salah. Shalat tarawih delapan rakaat maupun dua
puluh itu semua benar apabila menggunakan hadis yang shahih, dimana Nabi Saw
tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan , yang
kemudian lazim dikenal sebagai shalat tarawih.
Rasulullah Saw
bersabda, “Siapa yang menjalankan qiyam Ram,adhan karena beriman dan
mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu
akan diamluni” (Hadis riwayat al-Bukhari).
Dalam hadis
ini, Nabi Saw tilebih tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan.
Shalat tarawih dilakukan berapapun rakaatnya apabila menggunakan hadis ini
sebagai dalil, maka keduanya benar. Hanya bedanya nanti mana yang afdhal saja..
Bisa jadi shalat tarawih delapan rakaat lebih afdhal apabila dilakukan dengan
baik, khusyu, dan lama.[22]
Dalil shalat
witir yang pernah diriwayatkan oleh Aisyah istri Nabi Saw yang digunakan
sebagai dalil shalat tarawih, dimana Nabi Saw baik pada bulan Ramadhan maupun
diluar Ramadhan tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat, yang
berbunyi,
Rasulullah Saw
tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan,
dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik
dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan
baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian
berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ANda tidur sebelum shalat
witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi
hatiku tidak tidur.”
Ketika hadis
tersebut dibaca secara utuh, maka konteks hadis tersebut tentang shalat witir,
karena pada akhir hadis tersebut Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi
Saw. Artinya Pertama, ketika dalil tersebut digunakan sebagai landasan
sebagai shalat tarawih dengan jumlah sebelas rakaat, maka penggunaan hadis
tersebut tidak dibaca secara keseluruhan. Kedua, Shalat yang dilakukan
Nabi Saw bukan shalat Tarawih karena dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa
Rasulullah melakukan shalat baik bulan Ramadhan dan diluar Ramadhan. Ketiga,
umumnya kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat dengan menggunakan hadis
Aisyah sebagai dalil shalat mereka. Baik, karena dalam hadis tersebut Aisyah
menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat setiap malam sepanjang tahun,
baik bulan Ramadhan maupun tidak.[23]
·
Sahabat
Memakai Hadis Palsu?[24]
Apabila hadis
tentang tarawih dua puluh rakaat itu palsu, sedangkan yang masyhur tarawih dua
puluh rakaat dikerjakan oleh para sahabat pada masa Khalifah Umar bin
al-Khattab, berarti para sahabat menjadikan hadis palsu sebagai dalil ibadah
mereka?
Menurut para ulama ahli Hadis,
pemalsuan hadis baru ada setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H.
Jadi para sahabat tidak memakai hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua
puluh rakaat. Hadis palsu tentang shalat tarawih yang disebut diatas adalah
diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ibrahim
bin sulaiman al-Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H.
Kemudian kualitas hadis Ubay bin
Ka’ab yang mengimami shalat tarawih pada
masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut
mauquf , karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw.
Lalu, adanya angka dua puluh dalam
rakaat shalat tarawih darimana? Dalam hadis-hadis yang shahih tidak ada
kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw
melakukan shalat tarawih dua atau tiga malam saja. Sejak saat itu, sampai
beliau wafat tidak ada yang melakukan shalat tarawih di masjid. Baru kemudian
pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, beliau menyuruh sahabat Ubay bin Ka’ab
untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid, dan ternyata Ubay bin Ka’ab
bersama sahabat shalat tarawih dua puluh rakaat.
Menurut buku yang ditulis Ali
Mustafa Yaqub, shalat tarawih dapat dilakukan berapapun rakaat nya karena Nabi
Saw tidak membatasi jumlah rakaat tarawih, dan dilakukan dengan baik, khusyu,
dan benar. Kalaupun dalam buku ini juga menjelaskan tentang shalat tarawih dua
puluh rakaat adalah bid’ah, maka yang dimaksud bid’ah disini bukan ibadah yang
tidak ada dalilnya melainkan bid’ah dalam arti kebahasaan yaitu, shalat tarawih
dengan berjamaah itu sudah tidak pernah dianggap tidak pernah ada. Nabi Saw
hanya melakukan dua atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan
berjamaah.
Shalat tarawih adalah perbuatan yang
sangat dianjurkan oleh Rasulullah untuk dilaksanakan oleh umatnya untuk
dilaksanakan akan tetapi Rasulullah senantiasa mengingatkan bahwa shalat tarāwiḥ
bukan fardhu (kewajiban). Rasulullah melakukan shalat tarawih di masjid dalam
beberapa malam saja yaitu pada malam pertama sampai dengan malam
ketiga/keempat. Pada malam-malam berikutnya, Rasulullah tidak keluar lagi ke
masjid karena beliau khawatir shalat tarāwiḥ akan difardhukan atas umat-nya
sepeninggal beliau. Shalat tarāwiḥ dilaksanakan pada masa Rasulullah pada
pertengahan malam sampai menjelang masuk waktu shalat subuh masuk. Ḥadīth
tentang shalat tarawih yang dikerjakan oleh Rasulullah di masjid tidak
menyebutkan jumlah raka’at shalat tarawih.
Shalat tarawih merupakan bentuk
ibadah yang hanya dilaksanakan pada saat bulan Ramadhan dan hukumnya sudah
Qot’i ( Sunnah). Shalat tarawih boleh 8 rakaat, 4-4 rakaat dan diakhiri 3
rakaat witir, atau 10 rakaat, 2-2 rakaat dan satu witir. Demikianlah di masa
nabi dan abu bakar. Kemudian di masa Umar Ibn Khattab dijadikan 20 rakaat. Al
Baihaqy telah mengumpul semua riwayatriwayat itu. Diriwiyatkan itu nyatalah
bahwa para sahabat mula-mula mengerjakan 8 rakaat kemudian mereka mengerjakan
20 dengan witir 3 rakaat. Diterangkan oleh Asy Syaukani bahwa hadist-hadist
yang diperoleh dalam bab ini hanya menunjukkan kepada adanya qiyam Ramadlan,
berjamaah atau bersendiri-sendiri. Karena itu menetapkan shalat yang disebut tarawih
dengan dengan bilangan tertentu dan mengkhususkannya dengan bacaan tertentu
tidak ada sunnahnya dari Nabi SAW.
5)
Hadis
Tentang Bergembira Dengan Datangnya Ramadhan
Dalam Islam bulan suci Ramadhan sangat dipercayai sebagai bulan yang
paling dimuliakan di antara bulan-bulan lainnya. Di mana dalam bulan suci ramadhan seluruh umat Islam sa-dunia diwajibkan untuk berpuasa selama 1 bulan penuh. Selain sebagai
kewajiban, berpuasa di bulan ramadhan merupakan amalan yang sangat banyak
keutamaannya. Dengan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, bulan Ramadhan
menjadi bulan yang sangat ditunggu dan disambut kedatangannya. Ada banyak
bentuk “penyambutan” bulan Ramadhan sebagai “tamu agung” oleh umat Islam. [25]
Hadis populer yang sering di dengar:
من فرح بدخول رمضان حرم الله جسده على النيران
Siapa bergembira dengan masuknya
bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.
Banyak penceramah begitu antusias
menyampaikan hadis ini, tanpa tahu dari mana sebenarnya teks ini berasal. Anda
bisa perhatikan, hampir tidak ada penceramah yang menyampaikan sumber dan
rujukan seusai mengutip hadis ini. Karena memang hadis ini tidak dijumpai
di kitab-kitab hadis. Teks hadis yang terdapat dalam kitab Durroh al-Nashihin, karya Utsman al-Khubbani, kitab yang dituding sebagai
penyebar hadis-hadis palsu dan kisah-kisah imajinasi. Dalam kitab tersebut
tidak disebutkan siapa perawinya dan juga apa kualitasnya. Kitab Durroh al-Nashihin sendiri bukan
termasuk kitab hadis, melainkan kitab akhlak yang berisi nasihat-nasihat untuk
berperilaku luhur.
Dalam buku Ali Mustafa Yaqub
dijelaskan bahwa ia melacak hadis tersebut di kitab-kitab rujukan hadis, untuk
mengetahui siapa rawinya, kemudian diteliti apa kualitasnya. Namun, sayangnya
tidak ditemukan, sehingga pada buku ini tidak berani menyatakan bahwa ungkapan
tersebut termasuk hadis Nabi Saw.
Karenanya, paling tidak untuk sementara sampai ditemukan rawi dan
kualitas hadis tersebut, ditegaskan bahwa ungkapan tersebut bukan hadis Nabi
Saw. Tidak diketahuinya siapa yang pertama mengungkapkan ungkapan tersebut,
karenanya apabila ungkapan itu dinisbahkan kepada Nabi Saw maka hal itu menjadi
hadis palsu.
Banyak para dai begitu bersemangat
menyampaikan hadits ini,sehingga tidak tahu dari mana sebenarnya hadist ini
berasal,hadits di atas terdapat dalam kitab Durrotun Nashihin, karya Utsman bin
Hasan al-Khubawi, para ahli hadis menilai kitab ini sebagai kitab yang
bermasalah karena kitab ini selain dipenuhi dengan hadits dhaif (lemah) dan maudhu'
(palsu),kitab ini juga dipenuhi hadits yang statusnya laa ashla lahu (tidak ada sumbernya) sehingga tidak bisa dianggap
sebagai hadist.[26]
E.
Apresiasi Terhadap Buku Ini Dibanding Buku Sejenis
Ada beberapa
keistimewaan yang dimiliki oleh Buku Hadits-hadits bermasalah dibandingkan buku
sejenisnya, antara lain sebagai berikut:
a)
Mencantumkan
nama Perawi Hadits yang bermasalah
b)
Membumbuhi
bukunya dengan komentar-komentar para ulama terhadap hadits yang diteliti
c)
Dilengkapi
dengan uraian cerita (qishahah) dan metode dialog (hiwar).
d)
Menjelaskan
sumber dimana hadits tersebut diambil
F.
Kritik Terhadap Buku Ini
Sebagai suatu
penelitian ilmiah, karya tersebut tidak lepas dari kekurangan-kekuranag. Dalam
sebuah penelitian, khususnya Ilmu Hadits, sebuah penukilan yang akurat adalah
penukilan yang dilakukan dari buku pertama dari sumber yang asli. Seyogyanya
penelitian dalam buku itu semuanya begitu. Namun karena terkadang beliau
kesulitan mendapatkan sumber yang asli itu, beliau terpaksa menukil dari sumber
yang kedua. Kelemahan dalam penukilan seperti ini adalah apabila dalam
penukilan sumber kedua itu salah, kemudian beliau menukil dari situ, maka akan
terjadi dua kali kesalahan dalam penukilan. Namu bagaimanapun beliau telah
berusah untuk merujuk dan menukil dari sumber-sumber asli yang pertma, kecuali
beliau mendapatkan kesulitan-kesulitan untuk mendapatkan rujukan-rujukan yang
asli. Dan yang akhir ini jumlahnya sedikit.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Buku Hadit-hadits bermasalah ini
awal mulanya adalah jawaban atas pertanyaan dari berbagai lapisan masyarakat
tentang hadis-hadis yang berkembang di kalangan mereka. Lalu disajikan dalam
bentuk tulisan secara berkala di majalah Amanah dalam rubrik Hadis/Mimbar. Pada
tahun 2003 barulah buku beliau diterbitakan oleh Pustaka Firdaus. Buku tersebut
berisi informasi penting tentang hadits-hadits yang dipermasalahkan dikalangan
masyarkat. Ada sebanyak 33 Hadits yang dihimpun dalam buku tersebut yang
dipandang sebagai hadits-hadits yang bermasalah yang masyhur dikalangan
masyarakat Indonesia.
Metode yang dipakai oleh Ali Mustafa
Ya’qub dalam menulis bukunya adalah metode maudhu’i (tematik). Dengan diawali
dengan uraian cerita (qishahah) dan metode dialog (hiwar). Ali Mustafa Ya’qub
menjabarkan setiap hadis dari mulai matan (teks)-nya, rawi (periwayat), kualitas
hadis dan kedudukan hadis itu secara umum serta uraian sedikit banyak
menyangkut ilmu hadits.
Koleksi hadits dalam buku beliau
tidak terbatas pada satu pembahasan saja, akan tetapi berisi beberapa
pembahasan, beliau mengisi kitabnya dengan hadits-hadits tentang hukum,
mu’amalah, fadhailul a’mal, kisah-kisah, ahklak, dan beberapa pembahasan yang
lain mengenai hadits-hadits yang populer di kalangan masyarakat yang kualitas
haditsnya lemah.
DAFTAR PUSTAKA:
al-Adzahabi. Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal. Beirut: Dar al-Fikr.
1963
al-Din, Muhammad Nashir. Manahil al-‘Irfan. Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah. tth
al-Din, Muhammad Nashir. Silsilah al-Ahadits
al-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif. 1992 M
al-Hindi, Muhammad Thohir.Tadzkiraoh al-Mawdhu’at. Beirut:
Dar Ihya al-Tu-Turats al-‘Araby. 1399 H
al-Sakhawi, Muhammad bin Abd al-Rahman, al-Rahman . al-Maqashid
al-Hasanah. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1979
Al-Suyuti, al-La’ali al-Masnu’ah Fii Ahadist al-Maudhu’ah,Beirut: Dar
al-Ma’rifah. tth
al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustholah al-Hadis. Dar al-Qur’an al-Karim: Beirut. 1789
Anis, Ibrohim. al-Mu’jam al-Wasit. Dar al-Fikr, ttp, tth.
Balban, Ibn. al-Ihsan bi Tartib Shahih ibn Hiban. Beirut: Dar al-Fikr. 1996
Cholidah, Ni’ma
Diana. “Kontribusi Ali Mustafa Yakub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis
Kontemporer Di Indonesia”, (Skripsi, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2011
Hatim, al-Razi Ibn Abi. al-Jarh wa al-Ta’dil. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1952
Ibn Hibban, Kitab al-Majruhin, Dar al-Ma’rofah. Beirut: Tt. tth
Ibn Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq, Shahih ibn Khuzaimah, Editor Dr
Muhammad Mustafa Azami. Damascus: al-maktab al-islami. 1980
Kahfi, Dona. “Tradisi Mandi Balimau di Masyarakat Kuntu: Living Hadis
Sebagai Bukti Sejarah”. Jurnal Living
Hadis, Vol. 1 Nomor 2, Oktober 2016
Mawardi, Hermeneutika Al-Qur’an
Fazlur Rahman (Teori Double Movement), dalam ed. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010
al-‘Uqaili, Muhammad bin ‘Amr. Kitab al-Dhu’afa al-Kabir, Editor Dr Abd
al-Muhti’ Amin Qola’ji. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. tth
Mustafa, Azami Muhammad. Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin. Riyadh:
Syirkah al-Thiba’ah al-‘Arabyah al-Sa’udiyah. 1982
Panjimas, “Bergembira Menyambut Bulan Mulia” https://www.panjimas.com/kajian/2014/06/27/bergembira-menyambut-bulan-mulia/
Ruslan, Heri. “Hadis-Hadis
Palsu: Kelompok Sufi dan Politiisi dituding Sebagai Kelompok yang Paling Banyak
Memalsukan Hadis” https://jalmilaip.files.wordpress.com/2011/09/hadis-hadis-palsu.pdf.
diakses 4 Mei 2019
Ya’kub, Ali
Mustafa. Hadits-Hadits Bermasalah. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 2008
Ya’kub, Ali
Mustafa. Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001
Ya’kub, Ali
Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997
Ya’kub, Ali
Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000
Yakub, Ali
Mustafa. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2003
Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li
Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Risalah. 1993
[1] Mawardi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman (Teori Double
Movement), dalam ed. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan
Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
[2] Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah
(Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1993), hlm. 44
[3] Ali Mustafa
Yakub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), hlm. 143
[4] Ni’ma Diana
Cholidah, “Kontribusi Ali Mustafa Yakub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis
Kontemporer Di Indonesia”, (Skripsi, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011), hlm. 11-12
[5] Ali Mustafa
Ya’kub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm.
240
[6] Ali Mustafa
Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
h. 240.
[7] Ali Mustafa
Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah, h.240
[9] Ali Mustafa Ya’Squb,
Hadits-Hadits Bermasalah, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2008), hlm.
xi-xii
[10] Ali Mustafa Ya’qub, Hadits-Hadit, hlm. xiii
[11] Ibn Hibban
dalam Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, hlm. 2-3
[12] Heri Ruslan, “Hadis-Hadis
Palsu: Kelompok Sufi dan Politiisi dituding Sebagai Kelompok yang Paling Banyak
Memalsukan Hadis” https://jalmilaip.files.wordpress.com/2011/09/hadis-hadis-palsu.pdf,
diakses 4 Mei 2019
[13] Al-Albani
dalam Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, hlm. 2-3
[14] Al-Suyuti, al-La’ali
al-Masnu’ah Fii Ahadist al-Maudhu’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth), hlm.
193
[15] Muhammad bin Abd al-Rahman, al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqashid
al-Hasanah, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: Beirut, 1979), hlm. 419
[16] Muhammad
Thohir al-Hindi, Tadzkiraoh
al-Mawdhu’at, (Beirut: Dar Ihya al-Tu-Turats al-‘Araby, 1399 H), hlm. 11
[21]
al-Adzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal,(Beirut: Dar al-Fikr,
1963), hlm, 47-48
[23]
Ali Musthofa Ya’kub, Hadis-hadis, Hlm. 143-145
[24]
Ali Musthofa Ya’kub, Hadis-hadis, hlm. 147-150
[25] Dona Kahfi, “Tradisi Mandi
Balimau di Masyarakat Kuntu: Living Hadis Sebagai Bukti Sejarah” (Jurnal
Living Hadis, Vol. 1 Nomor 2, Oktober 2016), hlm 276
[26] Panjimas, “Bergembira
Menyambut Bulan Mulia” https://www.panjimas.com/kajian/2014/06/27/bergembira-menyambut-bulan-mulia/ diakses: 1 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar