Senin, 29 April 2019

Ali Mustafa Yaqub (Hadis-hadis Bermasalah)


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu membimbing umat Islam dimanapun dan kapanpun. Namun kenyataannya, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi penafsiaran yang cocok. Dengan metodologi yang sesuai al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di manapun.[1]
Sedangkan hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang diakui otoritatif setelah al-Qur’an. Di kalangan ulama Sunni, hadis atau sunnah adalah rujukan normatif yang menjadi penjelas (bayan) substansi al-Qur’an. Meskipun terdapat perbedaan menyangkut statusnya, yakni apakah ia dapat menjadi sumber independen dari al-Qur’an atau tidak, pada kenyataannya para ulama (Sunni) sepakat menyangkut signifikansi hadis sebagai sumber tasyri’. Posisi demikian dengan jelas terekam dalam literatur fiqh mazhab. Yusuf al-Qaradawi dengan tepat mencatatnya:Tanpa Sunnah kita tidak mengetahui kebanyakan ketentuan hukum dalam Islam baik menyangkut ibadah atau muamalah. Siapa saja yang membaca buku-buku fiqh Islam dari beragam mazhab, maka akan jelas baginya bahwa Sunnah adalah pegangan mayoritas ketentuan hukum.[2]

Namun demikian, tidak seperti al-Qur’an yang metode periwayatannya dilakukan secara mutawatir dan sudah ditulis sejak masa kenabian Muhammad Saw., sehingga ia menjadi niscaya sebagai sumber hukum, tidak demikian halnya dengan hadis. Hadits, yang baru ditulis pada akhir abad II Hijriyah dan periwayatannya yang tidak semuanya dilakukan secara mutawatir, perlu diteliti lebih dulu sebelum bisa diamalkan. Untuk itulah, para ulama di masa lalu berusaha mengembangkan sebuah metode dimana hadis selanjutnya bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Secara umum, ada dua besaran atau objek kajian dalam hadis, yaitu kegiatan mendapatkan, mengkaji, dan mempelajari materi hadits dan (ilmu riwayah al-hadits) dan kegiatan mengkaji status hadis dengan mengukur apakah ia bisa diterima atau ditolak (ilmu dirayah al-hadits). Dari dua besaran kegiatan mempelajari hadis ini, disiplin ilmu terakhir lah yang banyak berkaitan dengan aktivitas mengamalkan atau aktivitas mendapatkan hukum (istinbat al-hukm) dari hadis, yang darinya dikenal dua metode kritik hadis, yaitu metode kritik sanad (periwayatan), dan metode kritik matn (teks/ redaksi).
Untuk konteks wilayah Indonesia pada umumnya, diantaranya muncul nama-nama yang ahli dibidang ilmu hadits. Diantaranya yang tidak asing ditelinga kita seperti Syuhudi  Ismail, Hasbi as-Shiddiqy dan berikut sosok pakar  Hadis yang akan kita bahas dalam makalah kali ini yang muncul diabad modern yaitu Ali Mustafa Ya’qub dalam karyanya Hadits-Hadits Bermasalah.
Dengan demikian, makalah ini akan membahas secara terperinci mengenai: Ali Mustafa Ya’qub dalam karyanya Hadits-Hadits Bermasalah.
  1. Rumusan Masalah:
Berdasarkan latar pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana latar belakang kehidupan atau biografi Ali Mustafa Ya’qub?
  2. Bagaimana kegelisahan Akademik Ali Mustafa Ya’qub?
  3. Bagaimana logika dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah ?
  4. Bagaimana metodologi dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah?
  5. Bagaimana Apresiasi buku ini dibandingkan buku lain ?
  6. Bagaimana kritik terhadap buku ini?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.         Mengetahui latar belakang kehidupan atau biografi Ali Mustafa Ya’qub
2.         Mengetahui kegelisahan Akademik Ali Mustafa Ya’qub
3.         Mengetahui logika dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah
4.         Mengetahui metodologi dan sistematika penulisan buku Hadits-hadits bermasalah 
5.         Mengetahui Apresiasi buku ini dibandingkan buku lain
6.         kritik terhadap buku ini










BAB II
PEMBAHASAN

  1. Biografi KH. Ali Mustafa Yaqub
Ali Mustafa Yaqub lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa  Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam  lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali  tiap hari sehabis belajar di sekolah dasar (SD) di desa tempat kelahirannya, ia  habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng  bukit pesisir Utara Jawa Tengah.[3]  Kebiasaan ini kelak membentuk karakter  dan kepribadian Ali yang tegas, kritis, dan peduli.
Ayahnya bernama Yaqub, seorang mubaligh terkemuka pada  zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinya “Menegakkan Amar Ma’ruf dan memberantas Kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai  terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas  penduduk di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang belum  mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan kakeknya mendirikan  sebuah pondok pesantren yang para santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah  beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap rida Allah swt, berjiwa  besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah swt.[4] dan Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan Ibu rumah tangga  yang ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub). Ibu Ali meninggal pada tahun 1996
Pendidikan KH. Ali Mustafa Yaqub, Semula Ali berminat ke pendidikan umum. Namun ayahnya memasukkannya ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat  kelahirannya, dengan diantar ayahnya ia mulai mondok untuk memperoleh  ilmu agama di pesantren Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah. Rentang waktu 1966-1969. Kemudian ia nyantri lagi di pesantren Tebuireng  Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok Seblak,  1969-1972. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan  menuntut ilmu pada program studi syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari  Jombang dan selesai pada tahun 1975.[5]
Kemudian melanjutkan studinya lagi di luar negeri mengambil Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia (S1, 1976–1980), Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir Hadits (S2, 1980–1985), dan Universitas Nizamia, Hyderabad, India, Spesialisasi Hukum Islam (S3, 2005–2008) di mana dalam disertasinya yang berjudul “Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika dalam Perspektif al-Quran dan Hadits”.
Kiprah dan Dakwah KH. Ali Mustafa Yaqub  Setelah pulang ke tanah air beliau menjadi dosen di berbagai Perguruan Tingi Islam seperti: Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah dan UIN Syarif Hidayatullah. Beliau merupakan sosok pribadi intelektual muslim. Ia dikenal sebagai pakar ilmu hadits. Sebab itu tidak mengherankan bila ia mengembangkan dakwah Islamiah lewat perspektif hadits. Dan kalau berbicara soal hadits berikut kisi-kisi kehidupan, perilaku dan tindakan Rasulullah Saw., KH. Ali Mustafa Yaqub memang memiliki otoritas.[6]
Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika di Riyadh ia terpilih menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Tahun 1990-1996 beliau menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin. Pada tahun 1997 ia mendirikan pondok pesantren dengan spesialisasi ilmu hadits yang bernama Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah. Pesantren ini terletak di Jalan SD Inpres no. 11 Pisangan Barat Ciputat, Jakarta, yang didirikan untuk mempelajari tentang hadits dan ilmunya. Pesantren tersebut memberikan pendidikan secara gratis dan banyak diminati oleh anak-anak muda dari berbagai daerah.[7]
Dalam dunia tulis menulis Ali Mustafa punya sebuah filosofi yang  menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya yaitu, “Walaa Tamuutunna Illa wa antum Katibun”. “Pantang meninggal sebelum berkarya”. Menurutnya,  tulisan akan menjadi guru lintas generasi; sedang kata-katanya hanya untuk orang waktu yang terbatas. Buku akan selalu bisa dibaca oleh banyak orang di setiap waktu. Dalam sebuah syair yang beliau gubah, Ali Mustafa  mengungkapkan:
“Karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa sementara  penulisnya hancur terkubur di bawah tanah.”[8]
               Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Ali Mustafa adalah seorang pakar  hadis, tetapi karya yang telah beliau hasilkan tidak hanya terbatas pada kajian  hadis saja, tetapi pada kajian keilmuan lainnya juga, seperti Aqidah, Fiqih,  Dakwah, dan Tafsir. Sampai tahun 2009 telah berjumlah 27 judul bukunya  yang telah diterbitkan.
Dalam bidang kajian hadis, karya tulis Ali Mustafa meliputi: Imam  Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis (1991); Kritik Hadis  (1995); Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM  A’zamî Pembela Eksistensi Hadis (2002); Hadis-Hadis Bermasalah (2003);  dan Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003).
Dalam bidang Fiqih meliputi: Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan,  Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2009); Nikah  Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2005); dan Imam  Perempuan (2006).
Dalam bidang Dakwah meliputi: Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan  Penghafal al-Qur’an (1990); Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (1997);  Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2000); Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada  Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010).
  1. Kegelisahan Akademik
Buku ini diterbitkan bermula dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan  dari berbagai lapisan masyarakat tentang hadis yang berkembang di kalangan masyarakat. Berbagai pertanyaan yang datang pada akhirnya menciptakan buku ini sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang muncul tentang hadis yang sering terdengar di telinga masyarakat. Penelitian tentang hadis yang banyak tersebar di kalangan masyarakat yang pada akhirnya mengilhami penulis untuk menerbitkan buku ini. Hadis-hadis itu adakalanya kondang di masyarakat , bahkan menjadi dasar amalan ibadah mereka, padahal setelah diteliti hadis-hadis tersebut ternyata palsu.
Kendati hadis-hadis itu berbeda dalam segi kualitasnya, namun semuanya sama dalam hal kepopulerannya di masyarakat. Karenanya, setelah hadis-hadis itu dikumpulkan dalam buku ini, buku ini tidak disebut Hadis-hadis palsu dan Lemah Sekali, seperti lazimnya buku-buku yang sudah terbit, tetapi cukup disebut Hadis-hadis Bermasalah. Tentu saja, hadis-hadis yang semula dipermasalahkan oleh sebagian masyarakat, setelah diketahui statusnya melalui buku ini, diharapkan tidak lagi dipermasalahkan. [9]

  1. Logika dan Sistemtika Penulisan Ali Mustafa Yakub
Usaha keras Ali Mustafa Ya’qub dalam mengumpulkan dan meneliti hadits guna memastikan kualitasnya, akhirnya tersusunlah sebuah buku hadits sebagaimana yang dikenal pada saat ini dengan tema Hadits-hadits bermasalah. Usaha kerasnya ini tergambar dari usaha beliau mempersiapkan bukunya selama 9 (Sembilan) tahun, yang dimulai pada tahun 1994 sampai pada tahun 2003.
Nama buku Hadits-hadits bermasalah adalah merupakan pemberian langsung Ali Mustafa Ya’qub yang ditulis sebanyak 203 halaman, Pada mulanya Ali Mustafa Ya’qub hanya mengumpulkan sebanyak 28 hadits, namun setelah melihat apa yang berkembang dimasyarakat, ternyata  masih ada hadits yang perlu beliau tambahkan dalam bukunya tersebut, beliau menambahkan sebanyak 5 buah hadits lagi, karna hadits tersebut dipandang perlu untuk diketahui oleh masyarakat. Jadi, jumlah Hadis-hadis bermasalah dalam buku ini sebanyak 33 Hadis bermasalah.
  1. Metodologi Penulisan Buku Hadits-Hadits Bermasalah
Metode yang dipakai oleh Ali Mustafa Ya’qub dalam menulis bukunya adalah metode maudhu’i (tematik). Dengan diawali uraian cerita (qishahah) dan metode dialog (hiwar). Bahkan kadang-kadang disana diselipi dengan kata-kata jenaka. Tujuannya untuk mempermudah pembaca memahami kandungan hadis tersebut. Sebagai suatu cerita, terkadang tulisan-tulisan dalam buku tersebut, diangkat dari kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat, dan tentu saja dengan dilakukan perubahan nama tokoh-tokoh dalam cerita itu. Adapula tulisan itu semata-mata fiktif, tanpa diawali suatu kejadian apapun. Dan ada pula yang merupakan gabungan antara fakta dan fiktif. Penulis buku yang juga pimpinan Pesantran Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, menjabarkan setiap hadis dari mulai matan (teks)-nya, rawi (periwayat), kualitas hadis dan kedudukan hadis itu secara umum serta uraian sedikit banyak menyangkut ilmu hadits.[10]
Hadits-hadits yang disajikan dalam buku tersebut cukup familiar dan kita akan terkejut, ternyata banyak hadits yang bermasalah. Dan itu adalah yang berkembang di masyarakat. Kenyataan ini membuktikan apa yang beliau tegaskan bahwa, dibanding dengan hadit-hadits shahih, Hadits-hadits yang palsu yang beredar di masyarakat jumlahnya jauh lebih kecil. Namaun jumlah yang sangat kecil ini apabila dibiarkan, dapat mengotori jumlah yang sangat besar. Karenanya membersihkan yang sangat besar dari hal-hal yang sangat kecil itu tampaknya suatu keharusan.
Ada sebanyak 33 hadits yang beliau himpun dalam bukunya, ke-33 hadits tersebut dipandang hadits-hadits yang bermasalah ataupun dipandandang sebagai hadits Dha’if. Ali Mustafa Ya’qub menetapkan kualitas hadits tersebut sebagai hadits-hadits yang bermsalah tidak sekedar menetapkan saja. Akan tetapi untuk memastikan kualitas sebua hadits dalam menyusun bukunya terlebih dahulu beliau meneliti hadits itu dengan mentahkrij hadits tersebut dari kitab sumbernya, dan tidak hanya merujuk pada satu kitab saja akan tetapi semua kitab-kitab yang menukuil hadits tersebut. Setelah itu barulah beliau melakukan i’tibar, meneliti siapa-siapa yang menjadi sanadnya, siapa rawinya dan tak lupa juga beliau meneliti kualitas matannya, baru setelah itu beliau memperkuatnya dengan asbabul wurud hadits tersebut.
Koleksi hadits dalam buku beliau tidak terbatas pada satu pembahasan saja, akan tetapi berisi beberapa pembahasan, beliau mengisi kitabnya dengan hadits-hadits tentang hukum, mu’amalah, fadhailul a’mal, kisah-kisah, ahklak, dan beberapa pembahasan yang lain mengenai hadits-hadits yang populer di kalangan masyarakat yang kualitas haditsnya lemah.
1)      Mencari llmu di Negeri Cina
Pada akhir tahun 1994 ada seorang mahasiswi lnstitut llmu Al-Qur'an Jakarta yang sedang menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kawasan Kebayoran Lama, ditanya oleh seorang warga masyarakat setempat. Katanya, "Siapakah yang meriwayatkan Hadis Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, dan mengapa Nabi Saw menyebutkan Cina, bukan Eropa saja?". Pertanyaan ini sangat bagus, karena yang ditanyakan adalah periwayatnya, dan ini merupakan aspek sanad (silsilah keguruan Hadis), juga substansinya (mengapa menyebut Cina), dan ini menyangkut aspek matan (materi Hadis). Pertanyaan ini juga sekaligus membuktikan bahwa Hadis tersebut sudah memasyarakat.
Teks Hadis populer tersebut:
اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْن فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Hadis ini oleh para ulama dikatagorikan sebagai Hadis masyhur yang non-terminologis, yaitu Hadis yang sudah populer di masyarakat meskipun terkadang-hal itu belum berarti bahwa ia benar-benar Hadis yang berasal dari Nabi Saw. Kemudian Hadis Carilah ilmu meskipun di negeri Cina di atas tadi diriwayatkan oleh rawi-rawi antara lain, Ibn ‘Adiy (w. 356 H) dalam kitabnya al-Kamil fi Dhu'afa al-Rijal. Abu Nu'aim (w. 430 H) dalam kitabya Akhbar Ashbihan, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya Tarikh Baghdad dan al-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Ibn Abd al-Barr (w. 463 H) dalam kitabnya Jami 'Bayan al-'Ilm wa Fadhlih. Ibn Hibban (w. 254 H) dalam kitabnya al-Majruhin. dan lain-lain. Sementara itu sanadnya adalah, mereka semua·menerima Hadis itu dari: al-Hasan bin Atiyah, dari Abu Atikah Tarif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik, (dari Nabi Saw). [11]
Maka, hadis maudhu’ diatas memiliki makna rendah dalam kedudukannya, jatuh tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi SAW sedangkan beliau tidak mengatakannya. Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudhu’ adalah sesuatu yang dinisbahkan pada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukanlah perkataan, perbuatan, atau takrir Nabi SAW.Sebuah hadis dikatakan palsu apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, matan ( teks ) hadis tak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW. Kedua, bertentangan dengan Al-Quran, akal, dan kenyataan.[12]
·         Kualitas Hadis
Imam Ibn Hibban mengatakan. Hadis ini bathil la ashla lahu (batil, palsu, tidak ada dasarnya). Pernyataan Ibn Hibban ini diulang kembali oleh al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqhasid al-Hasanah. Sumber kepalsuan Hadis ini adalah rawi yang bernama Abu Atikah Tarif bin Sulaiman (dalam sumber lain tertulis: Salman). Menurut para ulama Hadis seperti al-'Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa'i, dan Abu Hatim, mereka sepakat bahwa Abu Atikah Tarif bin Sulaiman tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi Hadis. Bahkan menurut al-Sulaimani, Abu Atikah dikenal sebagai pemalsu Hadis. Imam Ahmad bin Hanbal juga menentang keras Hadis tersebut.  Artinya, beliau tidak mengakui bahwa ungkapan Carilah Ilmu meskipun di negeri Cina itu sebagai Hadis Nabi.[13]
·         Riwayat~riwayat Lain
Hadis tersebut juga ditulis kembali oleh Ibn al-Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu'at (Hadis-hadis palsu). Kemudian al-Suyuti dalam kitabya al-La 'ali al-Mashnu'ah fi al-Ahadits al-Maudhu'ah- sebuah kitab ringkasan dari kitab Ibn al-jauzi ditambah komentar dan tambahan- mengatakan bahwa di samping sanad di atas, Hadis tersebut memiliki tiga sanad lain.
Dalam sanad pertama terdapat nama Ya'qub bin Ibrahim al-As- qalani. Menurut Imam al-Dzahabi, Ya'qub bin Ibrahim al-Asqalani adalah kadzdzab (pendusta). Dalam sanad kedua terdapat nama Ahmad bin Abdullah ai-Juwaibari. dia adalah seorang pemalsu Hadis. Sementara dalam sanad ketiga, Ibrahim al-Nakha'i tidak pernah mendengar apa-apa dari Anas bin Malik. Demikin kata Ibn Hajar al- Asqalani. Oleh karenanya, ia juga tidak lebih dari seorang pendusta.[14]
Selanjutnya, dalam disiplin ilmu Hadis, Hadis yang sangat parah kelemahannya, seperti Hadis Maudhu, Hadis matruk dan Hadis munkar tidak dapat dijadikan sebagai dalil apa pun, hatta untuk dalil amal-amal kebajikan (fadhail al-a 'mal) , sebab salah satu syarat dapat digunakannya Hadis- hadis dha’if untuk dalil-dalil fadhail al-a'mal adalah kedha'ifan Hadis- hadis tersebut tidak parah. Sedangkan Hadis "Mencari ilmu di negeri Cina" itu sangat parah kedhai'fannya. Oleh karena itu, meskipun Prof. Dr. Nur al-Din 'Itr berbeda pendapat dengan Syeikh Nashir al-Din al- Albani dan Ibn al-Jauzi dalam menilai Hadis tersebut, namun dalam prakteknya mereka sepakat bahwa Hadis tersebut tidak dapat di- gunakan untuk dalil apa pun, baik untuk aqidah, syari’ah maupun akhlaq dan fadhail al-a'mal.
Adanya ungkapan tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, Ungkapan itu boleh jadi mulanya adalah semacam kata-kata mutiara, karena konon katanya Negeri Cina pada masa lalu sudah dikenal memiliki budaya yang tinggi. Kemudian lambat-laun unkapan itu disebut-sebut sebagai Hadis.
2)   Tidak makan kecuali lapar
نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَ إِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ
Kami adalah orang-orang yang tidak makan sehingga kami lapar, dan apabila kami makan, kami tidak sampai kenyang.
·         Ketinggalan kereta
            Sebagai orang yang mempelajari hadist, penulis merasa ketinggalan dari para penceramah. Sejauh penulis membaca kitab-kitab hadist, beliau tidak menemukan adanya hadist tentang tidak makan kecuali setelah lapar.
·         Dokter dari sudan
            Penulis tidak menemukan di kitab-kitab hadist. Akan tetapi pada akhirnya beliau menemukan dalam kitab al-rahmah fi al-tibb wa al-hikmah, karya Imam al-Suyuti. Dan ternyata ungkapan di atas bukanlah sebuah hadist Nabi SAW, melainkan ucapan seorang dokter ahli dari Sudan.
·         Hadist palsu
            Ternyata ungkapan yang selama ini diklaim sebagai Hadis itu tidak lebih dari sekedar ucapan seorang dokter dari sudan. Sekiranya hal itu benar Hadis Nabi Saw, tentulah Imam al-Suyuti (w.911 H)sudah menyebutkan bahwa ungkapan itu adalah sabda Nabi Saw. Karena Imam al-Suyuti adalah seorang Ahli Hadis unggulan yang mendapat gelar al-Hafidz pamungkas.
3)      Orang yang Mengenali Dirinya la Mengenal Tuhannya
Hadis ini sungguh sangat populer, khususnya di kalangan orangorang tasawuf. Bagi mereka yang tidak kritis, karena disebut sebagai Hadis, maka hal itu mereka terima seutuhnya, tanpa perlu mempertanyakan lagi. Bahkan mungkin ada yang beranggapan, mempertanyakan suatu Hadis dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan kebenaran.
Tetapi bagi orang-orang yang bersikap kritis, mereka selalu digoda pertanyaan, siapakah periwayat Hadis itu? Benarkah hal itu merupakan Hadis Nabi Muhammad Saw? Apabila hal itu benar Hadis, maka apa kualitasnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sering kami dengar dari kawan-kawan.
Hadis populer sebagaimana dimaksud di atas itu adalah ungkapan sebagai berikut:
من عرف نفسه عرف ربه
Artinya: Siapa yang mengenali dirinya, ia mengenali Tuhannya.
Konon, Hadis ini maksudnya adalah, siapa yang mengetahui bahwa dirinya itu bersifat baru, ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Qadim (dahulu). Siapa yang mengetahui bahwa dirinya akan punah (Fana), ia akan mengetahui bahwa Tuhannya adalah bersifat baqa kekal).[15] Dan sebagai Hadis populer, ia tercantum dalam kitab-kitab tentang Hadis populer.
·         Kualitas Hadis
Dari kitab-kitab rujukan yang kami telaah, tidak ada seorang pun ulama yang mengatakan bahwa ungkapan di atas itu bersumber dari Rasulullah Saw. Menurut Abu al-Mudhaffar bin al-Sam'ani, ungkapan di atas itu tidak dikenal sebagai Hadis marfu' (bersumber dari Nabi Saw), melainkan bersumber dari Yahya bin Muadz al-Razi. Karenanya, Imam al-Nawawi menegaskan bahwa Hadis itu laisa bi tsabit (tidak ada). Imam Ibn Taimiyah juga menyatakan bahwa Hadis itu maudhu' (palsu).
Sumber lain menuturkan bahwa ungkapan itu adalah ucapan Abu Sa'id al-Kharraz." Dan bagaimanapun, ungkapan itu bukanlah Hadis Nabawi. Karenanya, apabila hal itu dinisbahkan kepada Nabi Saw, maka ungkapan itu menjadi Hadis palsu. Maka tepatlah pernyataan Imam al-Nawawi dan Imam Ibn Taimiyah yang menegaskan bahwa Hadis tersebut adalah palsu. Pernyataan Imam al-Nawawi laisa bi tsabit adalan istilah lain bagi Hadis palsu.[16]
·         Metode Kasyf
Meskipun para Ahli Hadis, seperti Imam al-Nawawi dan Imam Taimiyah, telah menetapkan bahwa Hadis tersebut di atas palsu, namun sebagian kaum sufi tetap memandang bahwa Hadis itu shahih. Ibna Ghars menuturkan bahwa kitab-kitab tashawwuf sangat sarat dengan Hadis ini. Kaum sufi itu, seperti Syaikh Muhyi al-Din bin al-'Araby dan lain-lain memposisikan ungkapan tersebut sebagai Hadis.
Menurut Isma’il al-‘Ajluni dalam buku Mustafa mengatakan, bahwa Syaikh Hijazi al-Wa'idh, pensyarah kitab al-Jami' al-Shaghir karya al-Suyuti, bahkan menyebutkan bahwa Syaikh Muhyi al-Din bin al-Araby itu dianggap sebagai hafidh (ahli Hadis). Bahkan ada yang menuturkan, Syaikh Muhyi al-Din mengatakan, "Hadis ini, meskipun tidak shahih dari segi riwayat, namun bagi kami Hadis itu shahih berdasarkan metode kasyf."[17] Kasyfsecara kebahasaan berarti membuka atau menyingkap tabir. Sementara makna kasyf menurut istilah kaum sufi adalah pancaran Tuhan, yaitu pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada seseorang sehingga orang itu mengetahui sesuatu tanpa proses pembelajaran dan penelitian.
Para ahli Hadis sejak masa Nabi sampai masa kini, tidak pernah ada yang menggunakan metode kasyf untuk membuktikan otentisitas (keshahihan) Hadis. Apabila metode kasfy ini dibenarkan, maka semua orang dapat mengklaim dirinya memiliki metode ini, dan pada gilirannya Hadis-hadis palsu dapat berubah menjadi Hadis shahih. Apabila benar metode kasyfini dipakai oleh sejumlah orang-orang sufi dalam membuktikan otentisitas Hadis, maka ini adalah salah satu perbedaan antara kaum sufi dengan ahli-ahli Hadis dalam masalah tersebut.
Sementara itu, Imam Jalal al-Din al-Suyuti menulis buku secara khusus untuk membahas Hadis di atas itu, dengan judul al-Qaul alAsybah fi Hadits Man Arafa Nafsah Arafa Rabbah.? Sedangkan dalam Adab al-Dunya wa al-Din, karya Imam al-Mawardi, terdapat keterangan dari Aisyah, bahwa Nabi Saw pernah ditanya tentang orang yang paling tahu terhadap Tuhannya. Jawab Nabi Saw, "Yaitu orang yang paling mengenali dirinya". Namun sayang, tidak ada kejelasan tentang sanad Hadis riwayat Aisyah ini sehingga sulit dilacak keshahihannya.[18]
4)      Hadis Tentang Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Shalat malam dibulan Ramadlon dinamakan tarawih yang artinya istirahat.[19] Hal ini karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.
Dalam kalangan masyarakat jumlah rakaat shalat tarawih menjadi perdebatan diantara mereka. Beberapa menagatakan shalat tarawih dilakukan delapan rakaat adapula yang berpendapat dilakukan dua puluh rakaat. Ada sebuah Hadis riwayat Imam al-Thabrani yang berbunyi:
عن ابن عباس قال، كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلى في رمضان عشرين ركعة والوتر
 artinya : Dari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Saw shalat pada bulan Ramdhan dua puluh rakaat dan witir”.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami menuturkan dalam kitabnya bahwa hadis ini adalah lemah sekali, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa Abu Syaibadi malam adalah munkar hadisnya. Sedangkan Imam al-Nasai mengatakan Abu Syaibah adalah matruk hadisnya.
Sedangkan hadis yang menerangkan tentang shalat tarawih delapan rakaat dan witir. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah hadis yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang meenghadap Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya, “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang wanitadi rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka meminta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “Makah al itu diridhai Nabi Saw, karena beliau tidak berkata apa-apa”[20]
·         Kualitas Hadis
Hadis ini kualitasnya lemah sekali, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para kritik Hadis Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam al-Nasai pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta).[21] Ada lagi hadis lain yang lebih konkrit dari hadis diatas, yaitu riwayat Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:
Artinya: Nabi Saw pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.
Hadis ini nilainya sama dengan hadis Ubay bin Ka’ab di atas yaitu matruk (semi palsu), karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah. Jadi menurut buku ini ketika kita shalat tarawih baik delapan rakaat maupun dua puluh rakaat menggunakan hadis diatas adalah salah. Shalat tarawih delapan rakaat maupun dua puluh itu semua benar apabila menggunakan hadis yang shahih, dimana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan , yang kemudian lazim dikenal sebagai shalat tarawih.
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang menjalankan qiyam Ram,adhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diamluni” (Hadis riwayat al-Bukhari).
Dalam hadis ini, Nabi Saw tilebih tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan. Shalat tarawih dilakukan berapapun rakaatnya apabila menggunakan hadis ini sebagai dalil, maka keduanya benar. Hanya bedanya nanti mana yang afdhal saja.. Bisa jadi shalat tarawih delapan rakaat lebih afdhal apabila dilakukan dengan baik, khusyu, dan lama.[22]
Dalil shalat witir yang pernah diriwayatkan oleh Aisyah istri Nabi Saw yang digunakan sebagai dalil shalat tarawih, dimana Nabi Saw baik pada bulan Ramadhan maupun diluar Ramadhan tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat, yang berbunyi,
Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ANda tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”
Ketika hadis tersebut dibaca secara utuh, maka konteks hadis tersebut tentang shalat witir, karena pada akhir hadis tersebut Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Artinya Pertama, ketika dalil tersebut digunakan sebagai landasan sebagai shalat tarawih dengan jumlah sebelas rakaat, maka penggunaan hadis tersebut tidak dibaca secara keseluruhan. Kedua, Shalat yang dilakukan Nabi Saw bukan shalat Tarawih karena dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah melakukan shalat baik bulan Ramadhan dan diluar Ramadhan. Ketiga, umumnya kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat dengan menggunakan hadis Aisyah sebagai dalil shalat mereka. Baik, karena dalam hadis tersebut Aisyah menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat setiap malam sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun tidak.[23]
·         Sahabat Memakai Hadis Palsu?[24]
Apabila hadis tentang tarawih dua puluh rakaat itu palsu, sedangkan yang masyhur tarawih dua puluh rakaat dikerjakan oleh para sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, berarti para sahabat menjadikan hadis palsu sebagai dalil ibadah mereka?
Menurut para ulama ahli Hadis, pemalsuan hadis baru ada setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H. Jadi para sahabat tidak memakai hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua puluh rakaat. Hadis palsu tentang shalat tarawih yang disebut diatas adalah diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin sulaiman al-Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H.
Kemudian kualitas hadis Ubay bin Ka’ab yang  mengimami shalat tarawih pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut mauquf , karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw.
Lalu, adanya angka dua puluh dalam rakaat shalat tarawih darimana? Dalam hadis-hadis yang shahih tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw melakukan shalat tarawih dua atau tiga malam saja. Sejak saat itu, sampai beliau wafat tidak ada yang melakukan shalat tarawih di masjid. Baru kemudian pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, beliau menyuruh sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid, dan ternyata Ubay bin Ka’ab bersama sahabat shalat tarawih dua puluh rakaat.
Menurut buku yang ditulis Ali Mustafa Yaqub, shalat tarawih dapat dilakukan berapapun rakaat nya karena Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat tarawih, dan dilakukan dengan baik, khusyu, dan benar. Kalaupun dalam buku ini juga menjelaskan tentang shalat tarawih dua puluh rakaat adalah bid’ah, maka yang dimaksud bid’ah disini bukan ibadah yang tidak ada dalilnya melainkan bid’ah dalam arti kebahasaan yaitu, shalat tarawih dengan berjamaah itu sudah tidak pernah dianggap tidak pernah ada. Nabi Saw hanya melakukan dua atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan berjamaah.
Shalat tarawih adalah perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah untuk dilaksanakan oleh umatnya untuk dilaksanakan akan tetapi Rasulullah senantiasa mengingatkan bahwa shalat tarāwiḥ bukan fardhu (kewajiban). Rasulullah melakukan shalat tarawih di masjid dalam beberapa malam saja yaitu pada malam pertama sampai dengan malam ketiga/keempat. Pada malam-malam berikutnya, Rasulullah tidak keluar lagi ke masjid karena beliau khawatir shalat tarāwiḥ akan difardhukan atas umat-nya sepeninggal beliau. Shalat tarāwiḥ dilaksanakan pada masa Rasulullah pada pertengahan malam sampai menjelang masuk waktu shalat subuh masuk. Ḥadīth tentang shalat tarawih yang dikerjakan oleh Rasulullah di masjid tidak menyebutkan jumlah raka’at shalat tarawih.
Shalat tarawih merupakan bentuk ibadah yang hanya dilaksanakan pada saat bulan Ramadhan dan hukumnya sudah Qot’i ( Sunnah). Shalat tarawih boleh 8 rakaat, 4-4 rakaat dan diakhiri 3 rakaat witir, atau 10 rakaat, 2-2 rakaat dan satu witir. Demikianlah di masa nabi dan abu bakar. Kemudian di masa Umar Ibn Khattab dijadikan 20 rakaat. Al Baihaqy telah mengumpul semua riwayatriwayat itu. Diriwiyatkan itu nyatalah bahwa para sahabat mula-mula mengerjakan 8 rakaat kemudian mereka mengerjakan 20 dengan witir 3 rakaat. Diterangkan oleh Asy Syaukani bahwa hadist-hadist yang diperoleh dalam bab ini hanya menunjukkan kepada adanya qiyam Ramadlan, berjamaah atau bersendiri-sendiri. Karena itu menetapkan shalat yang disebut tarawih dengan dengan bilangan tertentu dan mengkhususkannya dengan bacaan tertentu tidak ada sunnahnya dari Nabi SAW.
5)      Hadis Tentang Bergembira Dengan Datangnya Ramadhan
Dalam Islam bulan suci Ramadhan sangat dipercayai sebagai bulan yang paling dimuliakan di antara bulan-bulan lainnya. Di mana dalam bulan suci ramadhan seluruh umat Islam sa-dunia diwajibkan untuk berpuasa selama 1 bulan penuh. Selain sebagai kewajiban, berpuasa di bulan ramadhan merupakan amalan yang sangat banyak keutamaannya. Dengan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, bulan Ramadhan menjadi bulan yang sangat ditunggu dan disambut kedatangannya. Ada banyak bentuk “penyambutan” bulan Ramadhan sebagai “tamu agung” oleh umat Islam. [25]
Hadis populer yang sering di dengar:
من فرح بدخول رمضان حرم الله جسده على النيران
Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.
Banyak penceramah begitu antusias menyampaikan hadis ini, tanpa tahu dari mana sebenarnya teks ini berasal. Anda bisa perhatikan, hampir tidak ada penceramah yang menyampaikan sumber dan rujukan seusai mengutip hadis ini. Karena memang hadis ini tidak dijumpai di kitab-kitab hadis. Teks hadis yang terdapat dalam kitab Durroh al-Nashihin, karya Utsman al-Khubbani, kitab yang dituding sebagai penyebar hadis-hadis palsu dan kisah-kisah imajinasi. Dalam kitab tersebut tidak disebutkan siapa perawinya dan juga apa kualitasnya. Kitab Durroh al-Nashihin sendiri bukan termasuk kitab hadis, melainkan kitab akhlak yang berisi nasihat-nasihat untuk berperilaku luhur.
Dalam buku Ali Mustafa Yaqub dijelaskan bahwa ia melacak hadis tersebut di kitab-kitab rujukan hadis, untuk mengetahui siapa rawinya, kemudian diteliti apa kualitasnya. Namun, sayangnya tidak ditemukan, sehingga pada buku ini tidak berani menyatakan bahwa ungkapan tersebut termasuk hadis Nabi Saw.  Karenanya, paling tidak untuk sementara sampai ditemukan rawi dan kualitas hadis tersebut, ditegaskan bahwa ungkapan tersebut bukan hadis Nabi Saw. Tidak diketahuinya siapa yang pertama mengungkapkan ungkapan tersebut, karenanya apabila ungkapan itu dinisbahkan kepada Nabi Saw maka hal itu menjadi hadis palsu.
Banyak para dai begitu bersemangat menyampaikan hadits ini,sehingga tidak tahu dari mana sebenarnya hadist ini berasal,hadits di atas terdapat dalam kitab Durrotun Nashihin, karya Utsman bin Hasan al-Khubawi, para ahli hadis menilai kitab ini sebagai kitab yang bermasalah karena kitab ini selain dipenuhi dengan hadits dhaif (lemah) dan maudhu' (palsu),kitab ini juga dipenuhi hadits yang statusnya laa ashla lahu (tidak ada sumbernya) sehingga tidak bisa dianggap sebagai hadist.[26]
E.     Apresiasi Terhadap Buku Ini Dibanding Buku Sejenis
            Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Buku Hadits-hadits bermasalah dibandingkan buku sejenisnya, antara lain sebagai berikut:
a)      Mencantumkan nama Perawi Hadits yang bermasalah
b)      Membumbuhi bukunya dengan komentar-komentar para ulama terhadap hadits yang diteliti
c)      Dilengkapi dengan uraian cerita (qishahah) dan metode dialog (hiwar).
d)     Menjelaskan sumber dimana hadits tersebut diambil
F.     Kritik Terhadap Buku Ini
            Sebagai suatu penelitian ilmiah, karya tersebut tidak lepas dari kekurangan-kekuranag. Dalam sebuah penelitian, khususnya Ilmu Hadits, sebuah penukilan yang akurat adalah penukilan yang dilakukan dari buku pertama dari sumber yang asli. Seyogyanya penelitian dalam buku itu semuanya begitu. Namun karena terkadang beliau kesulitan mendapatkan sumber yang asli itu, beliau terpaksa menukil dari sumber yang kedua. Kelemahan dalam penukilan seperti ini adalah apabila dalam penukilan sumber kedua itu salah, kemudian beliau menukil dari situ, maka akan terjadi dua kali kesalahan dalam penukilan. Namu bagaimanapun beliau telah berusah untuk merujuk dan menukil dari sumber-sumber asli yang pertma, kecuali beliau mendapatkan kesulitan-kesulitan untuk mendapatkan rujukan-rujukan yang asli. Dan yang akhir ini jumlahnya sedikit.

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Buku Hadit-hadits bermasalah ini awal mulanya adalah jawaban atas pertanyaan dari berbagai lapisan masyarakat tentang hadis-hadis yang berkembang di kalangan mereka. Lalu disajikan dalam bentuk tulisan secara berkala di majalah Amanah dalam rubrik Hadis/Mimbar. Pada tahun 2003 barulah buku beliau diterbitakan oleh Pustaka Firdaus. Buku tersebut berisi informasi penting tentang hadits-hadits yang dipermasalahkan dikalangan masyarkat. Ada sebanyak 33 Hadits yang dihimpun dalam buku tersebut yang dipandang sebagai hadits-hadits yang bermasalah yang masyhur dikalangan masyarakat Indonesia.
Metode yang dipakai oleh Ali Mustafa Ya’qub dalam menulis bukunya adalah metode maudhu’i (tematik). Dengan diawali dengan uraian cerita (qishahah) dan metode dialog (hiwar). Ali Mustafa Ya’qub menjabarkan setiap hadis dari mulai matan (teks)-nya, rawi (periwayat), kualitas hadis dan kedudukan hadis itu secara umum serta uraian sedikit banyak menyangkut ilmu hadits.
Koleksi hadits dalam buku beliau tidak terbatas pada satu pembahasan saja, akan tetapi berisi beberapa pembahasan, beliau mengisi kitabnya dengan hadits-hadits tentang hukum, mu’amalah, fadhailul a’mal, kisah-kisah, ahklak, dan beberapa pembahasan yang lain mengenai hadits-hadits yang populer di kalangan masyarakat yang kualitas haditsnya lemah.



DAFTAR PUSTAKA:
al-Adzahabi. Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal. Beirut: Dar al-Fikr. 1963
al-Din, Muhammad Nashir. Manahil al-‘Irfan. Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah. tth
al-Din, Muhammad Nashir. Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif. 1992 M
al-Hindi, Muhammad Thohir.Tadzkiraoh al-Mawdhu’at. Beirut: Dar Ihya al-Tu-Turats al-‘Araby. 1399 H
al-Sakhawi, Muhammad bin Abd al-Rahman, al-Rahman . al-Maqashid al-Hasanah. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1979
Al-Suyuti, al-La’ali al-Masnu’ah Fii Ahadist al-Maudhu’ah,Beirut: Dar al-Ma’rifah. tth
al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustholah al-Hadis. Dar al-Qur’an  al-Karim: Beirut. 1789
Anis, Ibrohim. al-Mu’jam al-Wasit. Dar al-Fikr, ttp, tth.
Balban, Ibn. al-Ihsan bi Tartib Shahih ibn Hiban. Beirut: Dar al-Fikr. 1996
Cholidah, Ni’ma Diana. “Kontribusi Ali Mustafa Yakub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”, (Skripsi, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011
Hatim, al-Razi Ibn Abi. al-Jarh wa al-Ta’dil. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1952
Ibn Hibban, Kitab al-Majruhin, Dar al-Ma’rofah. Beirut: Tt. tth
Ibn Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq, Shahih ibn Khuzaimah, Editor Dr Muhammad Mustafa Azami. Damascus: al-maktab al-islami. 1980
Kahfi, Dona. “Tradisi Mandi Balimau di Masyarakat Kuntu: Living Hadis Sebagai Bukti Sejarah”. Jurnal Living Hadis, Vol. 1 Nomor 2, Oktober 2016
Mawardi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman (Teori Double Movement), dalam ed. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010
al-‘Uqaili, Muhammad bin ‘Amr. Kitab al-Dhu’afa al-Kabir, Editor Dr Abd al-Muhti’ Amin Qola’ji. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. tth
Mustafa, Azami Muhammad. Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin. Riyadh: Syirkah al-Thiba’ah al-‘Arabyah al-Sa’udiyah. 1982
Panjimas, “Bergembira Menyambut Bulan Mulia” https://www.panjimas.com/kajian/2014/06/27/bergembira-menyambut-bulan-mulia/
Ruslan, Heri. “Hadis-Hadis Palsu: Kelompok Sufi dan Politiisi dituding Sebagai Kelompok yang Paling Banyak Memalsukan Hadis” https://jalmilaip.files.wordpress.com/2011/09/hadis-hadis-palsu.pdf. diakses 4 Mei 2019
Ya’kub, Ali Mustafa. Hadits-Hadits Bermasalah. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 2008
Ya’kub, Ali Mustafa. Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001
Ya’kub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997
Ya’kub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000
Yakub, Ali Mustafa. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003
Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Risalah. 1993




[1] Mawardi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman (Teori Double Movement), dalam ed. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
[2] Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1993), hlm. 44

[3] Ali Mustafa Yakub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 143
[4] Ni’ma Diana Cholidah, “Kontribusi Ali Mustafa Yakub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”, (Skripsi, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 11-12
[5] Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 240
[6] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 240.
[7] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah, h.240
[8] Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. v
[9] Ali Mustafa Ya’Squb, Hadits-Hadits Bermasalah, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2008), hlm. xi-xii
[10] Ali Mustafa Ya’qub, Hadits-Hadit, hlm. xiii
[11] Ibn Hibban dalam Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, hlm. 2-3
[12] Heri Ruslan, “Hadis-Hadis Palsu: Kelompok Sufi dan Politiisi dituding Sebagai Kelompok yang Paling Banyak Memalsukan Hadis” https://jalmilaip.files.wordpress.com/2011/09/hadis-hadis-palsu.pdf, diakses 4 Mei 2019
[13] Al-Albani dalam Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, hlm. 2-3
[14] Al-Suyuti, al-La’ali al-Masnu’ah Fii Ahadist al-Maudhu’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth), hlm. 193
[15] Muhammad bin Abd al-Rahman, al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: Beirut, 1979), hlm. 419
[16] Muhammad Thohir al-Hindi,  Tadzkiraoh al-Mawdhu’at, (Beirut: Dar Ihya al-Tu-Turats al-‘Araby, 1399 H), hlm. 11
[17] Ali Mustafa Ya’qub, Hadits-Hadits, hlm. 79
[18] Ali Musthafa Yakub, Hadis-hadis, hlm.78-79
[19] Dr. Ibrohim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, (Dar al-Fikr, ttp, tth), 380
[20] Ibn Balban, al-Ihsan bi Tartib Shahih ibn Hiban, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 342
[21] al-Adzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal,(Beirut: Dar al-Fikr, 1963), hlm, 47-48
[22] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 141
[23] Ali Musthofa Ya’kub, Hadis-hadis, Hlm. 143-145
[24] Ali Musthofa Ya’kub, Hadis-hadis, hlm. 147-150
[25] Dona Kahfi, “Tradisi Mandi Balimau di Masyarakat Kuntu: Living Hadis Sebagai Bukti Sejarah” (Jurnal Living Hadis, Vol. 1 Nomor 2, Oktober 2016), hlm 276
[26] Panjimas, “Bergembira Menyambut Bulan Mulia” https://www.panjimas.com/kajian/2014/06/27/bergembira-menyambut-bulan-mulia/ diakses: 1 Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...