Senin, 08 April 2019

METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS “SALAHUDIN IBN AHMAD AL- ADLABI”(Oleh M. Masykur & M Fadhil)


Keberadaan hadis sebagai pedoman hidup menempati posisi kedua setelah Alquran yang juga sebagai marja‘ syar‘iy, merupakan hal yang layak untuk diakui mampu membantu menafsirkan pesan-pesan global dari kandungan al-Wahyu al-Matlu (Alquran) agar mudah dipahami oleh umat Islam. Namun kelayakan hadis sebagai penjelas tidak terlepas dari bagaimana orisinilitas-nya dan otoritas-nya dijadikan sebagai hujjah. Karena ketika hadis ingin dijadikan sebagai hujjah terlebih dahulu seseorang harus mampu memfilter bagaimana kedudukan hadis tersebut hingga bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum.
Kehujjahan hadis sebagai marja’ syar‘iy tidak dapat dikatakan kemutawatirannya sama dengan Alquran, melainkan terdapat titik perbedaan yang sangat jauh, sebab kemutawatiran Alquran mutlak tidak dapat dibantahkan, sedangkan hadis kemutawatirannya masih terdapat hal yang diperselisihkan oleh kalangan ulama hadis dikarenakan banyaknya tersebar hadis- hadis palsu terutama pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Tholib. Pada masa itu barisan umat Islam benar-benar terpecah, yang tercermin pada terbentuknya dua kelompok militer Amir al-Mu’min³n, Ali yang didukung oleh penduduk Hijaz dan Irak, dan kelompok militer Muawiyah. Gubernur Syam yang didukung oleh mayoritas penduduk Syam dan Mesir.[1]

Setelah munculnya pemalsuan-pemalsuan hadis dengan berbagai sebab,2 maka sebuah keharusan untuk menguji setiap periwayatan yang dinisbahkan pada Rasulullah saw. Apakah bernilai shahih atau tidak. Dirasa sangat sulit untuk melacak fenomena-fenomena tersebut jika hanya menggunakan kritik sanad, melainkan harus menggunakan kritik matan.[2]
Studi kritik sanad telah muncul di kalangan sahabat, perihal periwayat, dimulai dari keadilan (integritas pribadi) maupun kedabitan (kapasitas intelektual). Kemudian berkembang dan berkembang seiring semakin banyaknya mata rantai.4 Sedangkan dalam hal kritik matan, Menurut al-adlabi sebagai salah satu islam bermanhaj Syafii mengatakan: belum ada tulisan tentang obyek kritik matan secara komprehensif. Maka dari itu beliau menawarkan karyanya yang berjudul:  Manhaj Naqd al- Matn ‘ind Ulama al-Hadits al-Nabawi (Beirut: Dar al-Afaq, tth) (1403 H/1983 M ), ³ yang mana karya pertama kalinya pada masa itu dinilai sebagai karya yang relatif lengkap tentang metode kritik matan.[3]
Dengan demikian, makalah ini akan membahas secara terperinci mengenai Kritik Matan Hadis Menurut: Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana latar belakang kehidupan atau biografi Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi?
  2. Bagaimana kegelisahan Akademik Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi?
  3. Bagaimana urgensi studi kritik matan?
  4. Bagaimana kriteria kritik matan menurut ulama hadis?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui latar belakang kehidupan atau biografi Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi.
2.      Mengetahui kegelisahan akademik Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi.
3.      Mengetahui urgensi kritik matan.
4.      Mengetahui kriteria kritik matan menurut ulama hadis


Nama lengkapnya adalah Salah ad-Din ibn Ahmad Ibn Muhammad Sa'id al-adlabi atau lebih dikenal dengan nama Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi dan sapaan akrabnya yaitu "al-adlabi", ia merupakan tokoh ahli hadis asal Syiria yang lahir di kota Halab pada tahun 1367 H/1948 M. Penyebutan nama "Idlibi" merupakan penisbahan dari kakeknya, karena ayahnya yang bernama Syekh Ahmad adalah putra kesayangan Syekh Muhammad Sa'id al-adlabi. Salahad-Din al-adlabi merupakan ulama Salaf abad 19 Masehi. Ia merupakan kaliber ulama yang banyak memberikan kontribusi dengan pandangannya terhadap permasalahan-permasalahan agama. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara setelah Muhammad Basyir yang juga merupakan doktor dalam spesialis keilmuan tentang linguistic (Bahasa). Penyebutan al-adlabi yang terdapat pada nama kakeknya adalah kelaziman yang biasa didengar ketika seorang ulama besar lagi berpengaruh, namanya dinisbahkan dengan sebuah kota tempat ia berkiprah dalam mengembangkan ilmunya, yaitu kota kecil seluas 2.354 m2 dimaksud, yang terletak dekat dengan Aleppo dan sekitar 323 km jaraknya dari Damaskus yang terdapat di Kota Syiria.[4]
Ketokohan Şalāh ad-Din ibn Ahmad al-adlabi tidak berbeda dengan kebanyakan ilmuan hadis lainnya, yang secara akademisi ia juga mengecap pendidikan dasar sampai kependidikan tinggi. Ia menimba pendidikan pada Madrasah Iftidaiyah, kemudian pada madrasah setingkat dengan madrasah aliyah yang berbasis syari'ah di Madinah tempat kelahirannya, kemudian ia melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi syari'ah di Damaskus, kemudian melanjutkannya pada perguruan Dar al-Hadis al-Hasaniyah yang juga berhubungan dengan spesialisasi kajian yang sebelumnya ia geluti, hingga ia meneyelesaikan pendidikan tingginya dengan mendapatkan gelar magister pada bidang ilmu keislaman dan ilmu hadis yaitu pada tahun 1975 M/1395 H. Ia juga memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Islam dan hadis dengan predikat "Hasan Jiddan" yaitu dari Dar al-Hadis al-Hasaniyah di Magribi pada tahun 1980 M/1401 H. Ia juga banyak mengajar diberbagai perguruan tinggi islam terkemuka, seperti pada perguruan tinggi al-Qarwain,[5] ia di amanahi sebagai dosen bahasa Arab selama dua tahun di Maroko, dosen hadis di Fakultas Dirasah Islamiyah Dubai selama empat tahun, sebagai dosen hadis dan ilmu hadis di Universitas Muhammad ibn Su'üd Riyad selama sepuluh tahun lamanya, ia juga sebagai pembimbing diperguruan Syari'ah selama tiga tahun. Daurah ke Kanada juga menjadi perjalanan pendidikan yang pernah dijalaninya dalam melakukan penelitian dan kajian mendalam tentang hadis dan ilmu hadis.[6]
Kapasitas ilmu yang dimilikinya memberikan makna penting bagi masyarakat, sebagai tempat bertanya tentang persoalan yang terjadi ditengah kehidupan bermasyarakat, kemudian ia juga dikatakan sebagai konsultan tentang kajian keagamaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dikatakan secara langsung ataupun tidak langsung, karena dalam bentuk halaqah ia juga memberikan pengajian dengan metode diskusi atau dengan kata lain ia memberikan kesempatan untuk bertanya kepada jamaah yang ikut serta menyaksikan persentasi pembahasan yang disampaikannya. Kemudian secara tidak langsung yaitu, diskusi dalam bentuk Tanya jawab melalui media sosial yang dibuka dengan tanpa membatasi pengunjung dan pengomentar terhadap status yang dimilikinya tersebut.
Sebagai tokoh bermazhab Syafi'iy yang tidak fanatik, Salāh ad-Din Ibn Ahmad alIdlibi dikenal sebagai dosen dan juga da'i yang memiliki keilmuan mampu mempengaruhi terhadap kalangan ahli hadis kemudian terhadap pentingnya kajian terhadap kritik hadis, terutama kritik pada matan hadis. Yang selama ini perhatian terhadap matan tidak begitu dimarakkan, tetapi setelah munculnya karya Ibn Qayyim (w 751 H) pada masa lalu, kemudian karya al-adlabi di abad modern mampu menaruh perhatian yang menilai betapa pentingnya kritik matan tersebut.[7]
Salāh ad-Din ibn Ahmad al-adlabi sebagai sosok ulama yang memiliki semangat, ketekunan, kecerdasan dan keterampilan yang luar biasa dalam menulis buah pikiran yang terlintas dibenaknya. Ketajaman pikiran yang dimiliki oleh al-adlabi dibuktikan dengan beberapa karya tulis yang dimilikinya.
Selain dari karya tentang Manhaj Naqd al-Matn 'Ind 'Ulama' al-Hadis an-Nabawi, alIdlibi juga memiliki karya dalam bentuk yang lain seperti artikel atau tulisan lepas. Adapun karya tulis yang merupakan buah pikiran Salah ad-Din Ibn Ahmad al-adlabi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Bagiyah al-Ra'id Lamma Fi Hadis Am Zar'in Min al-Fu'ādi Lil Qadilyad, Ditahqiq, dengan cara bersama, oleh Wazārah al-Auqaf dan al-Syu'un al-Islamiyah, Penerbit: al-Ribaț, Tahun 1975. (2) Manhaj Naqd al-Matn 'Inda 'Ulama' al-Hadis an-Nabawi, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, Tahun 1983.[8] (3) Mu'jam al-Jarh Wa Tadil Min Kalam alHafiz al-Tabrāni Fi al-Mu'jam as-Sagir, Mekkah: Maktabah al-Istiqamah, Tahun 1992 dsb.
            Dalam sejarah ilmu hadis, metode kritik matan pertama kali ditulis dalam sebuah karya khusus dikarang oleh Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dengan judul al-Mannar al-Munif. Berarti sekitar empat ratus tahun sudah berjalan penulisan ilmu hadis. Karena orang yang pertama kali menulis ilmu hadis adalah al-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan judul al-Muhaddis al-Fasil Bain al-Rawi wa al-Wa’i. Kitab al-Ilal karya Ibn Madini yang merupakan guru dari Imam Bukhari, sepintas dipahami karya tersebut membahas tentang kritik matan secara meluas, ternyata fokusnya justru pada kritik sanad.  Namun kedua karya itu masih sangat terbatas isinya bila dikaitkan dengan kebutuhan praktis kritik matan. Baru kemudian disusul oleh al-adlabi dengan karyanya Manhaj Naqd alMatn ‘Inda ‘Ulama’ al-Hadis an-Nabawi (1403 H/1983 M). Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan karya al-adlabi merupakan karya yang pertama kali pada masa itu dinilai sebagai karya yang relatif lengkap tentang metode kritik matan.
Dalam bukunya, Dr. Salah al-Din juga berupaya memperjelas metode kritik matan, yang sejak dini kaum muslimin telah mempraktekannya dan telah meletakkan dasar-dasar metodeloginya. Dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan tentang latar belakang perlunya mempedalam kritik matan, kemudian beliau juga memaparkan fakta-fakta bahwa kritik matan sudah dipakai oleh para sahabat dan ulama hadis.
Kritik sanad memang cukup, tetapi bersifat elementer saja, sebab setelah dilakukan kajian terhadap periode periwayatan, dimana hadis-hadis beralih dari seorang periwayat ke periwayat lain sampai ke tangan para penulis kitab hadis (Mukharij), disini ada dua fenomena yang mencolok, yaitu terkait fenomena pemalsuan hadis dan fenomena kekeliruan para periwayat. Yang pertama lahir dari kesengajaan, sedangkan yang kedua dari ketidak sengajaan.[9]
C.    Merebaknya Pemalsuan Hadis Pada Masa Periwayatan
  1. Pada Masa Nabi
Para pemalsu hadis mendapatkan lahan yang subur untuk menebarkan benih-benih kebohngan dan kebathilan dan menyandarkannya secara dusta kepada Rasulullah SAW. Meskipun hadis-hadis palsu itu termakan oleh sementara pencari hadis (para pemula) dan oleh sementara ahli fiqih, namun para ahli hadis tidak pernah lupa untuk memberikan perhatian kepada pemalsuan seperti itu. Dimana mereka banyak mengoleksi hadis, tetapi seleksi mereka amat ketat sehingga yang mereka pakai tidak mustahil lebih sedikit.[10]
Pertama: awal munculnya pemalsuan hadis
Mengenai kemunculan pemalsuan, terdapat 2 makna al-Wadh’u (membuat-buat/Pemalsuan) yang berkaitan dengan waktu.
a.          Kebohongan semata pada Rasulullah:
Pada makna ini, artinya pemalsuan hadis telah terjadi sejak masa Rasulullah. Contohnya adalah riwayat dalam Musykil al-Atsar yang ditakhrij oleh ath-Thahawi. Dari Buraidah, ia berkata, ada seseorang yang datang kepada masyarakat kampung dekat madinah. Lalu orang itu berkata: “sesungguhnya Rasulullah telah memerintahkan kepadaku untuk memutuskan sesuatu berdasarkan pendapatku sendiri mengenai masalah ini dan itu”.
b.      Praktik yang amat luas dalam rangka memasukkan berbagai kebohongan dalam hadis Nabi SAW.
Jika dilihat dari makna ini, maka pemalsuan mulai terjadi pada masa fitnah al-Kubra, yakni pertentangan yang terjadi antara sahabat Ali dan Mu’awiyah. Di tengan ketegangan itu, ada diantara pengikut masing-masing yang berusaha menjatuhkan lawan dengan cara membuat hadis palsu, agar golongan mereka menjadi semakin mantap dan musuh menjadi semakin lemah.[11]
Kedua: larangan tuhan mengenai pemalsuan hadis
Allah SWT telah melarang perbuatan dusta di berbagai ayat dalam al-Quran, diantaranya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan. (Al-An’am: 21).
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى ٱللَّهِ وَكَذَّبَ بِٱلصِّدْقِ إِذْ جَآءَهُۥٓ ۚ أَلَيْسَ فِى جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَٰفِرِينَ
Artinya: Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? (Azzumar: 32).
Berdusta kepada Allah SWT berarti mencakup berdusta kepada rasul-Nya. Sebab Rasulullah SAW adalah penyampai wahyu dari-Nya. Dengan demikian, mendustakan Rasul sama saja dengan mendustakan yang menguntus-Nya.[12]
Ketiga: larangan Nabi Saw mengenai dusta
Diriwayatkan dari Nabi Saw. Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)
Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
  1. Praktik Pemalsuan Hadis Sesudah Masa Nabi
a.      Dapat dilihat dari seputar terjadinya fitnah”.  Ulama' Hadis berpendapat, bahwa pemalsuan hadis dimulai dari kaum Syi'ah, yaitu ketika mereka merasa yakın, Ali lah yang per berhak memegang tampuk khilafah. Begitu pula dengan keturunan Sejak itu, mereka mulai membuat hadis palsu berkenaan dengan kena tamaan Ali r.a dan keluarganya. Mereka tidak puas dengan hadis-hadis shahih yang berisi keutaman-keutamaan yang sejenis. Hadis-hadis seperti itu didengar oleh sebagian Ahlus Sunnah Wa al-Jamaah yang kurang berpengetahuan, sehingga mereka membuat tandingan dengan cara membuat hadis-hadis palsu berkenaan deng-an keutamaan-keutamaan Abu Bakar, Umar maupun Utsman, serta Mu'awiyah.
Karena Irak merupakan pusat Syi'ah, maka Ulama' Hadis menilai bahwa negeri itulah yang menjadi pusat munculnya hadis-hadis palsu untuk pertama kalinya. [13]
Sepeninggal Rasulullah Saw., kedustaan terhadap beliau mengambil bentuk yang lebih berat, yaitu melalui dua cara yaitu kebohongan dan kesalahan, khususnya berkenaan dengan semua hadis yang pernah didengar. Padahal Nabi saw. telah bersabda: "Cukup bagi seseorang untuk dikatakan pendusta, bila ia meriwayatkan semua yang didengarnya." Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Umar ibn al-Khattab dan Abdullah ibn Mas'ud: "Cukup bagi seseorang untuk dikatakan pendusta, bila ia meriwayatkan semua yang didengarnya." Imam Malik pernan berkata kepada Ibn Wahab:" Ketahuilah, bahwa tidak dikatakan muslim, orang yang menceritakan semua yang pernah didengarnya. Dan seseorang tidak akan pernah dijadikan imam, bila ia meriwayatkan semua yang pernah didengarnya.[14]
Termasuk kedustaan semacam itu adalah hadis-hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang saleh, yang biasanya melontarkan pernyata pernyataan yang indah atau mengambilnya dari orang lain, kemudian membuat sanadnya. Dengan cara seperti itu, mereka lantas menyan darkannya kepada Nabi saw. Hal itu mereka sadari sebagai tindakan dusta, tetapi berdampak positif, bukan berdampak negatif. Imam Muslim di dalam al-Muqaddimah, meriwayatkn, bahwa Abu Ja'far al-Hasyimi almadani merupakaan salah satu contoh pemalsu hadis yang berkenaan dengan kebaikan.[15]
b.      Sikap sahabat dan tabi’in
Para Sahabat dan Tabi'in sebenarnya tidak lalai dengan merebaknya pemalsuan semacam itu. Mereka bahkan telah berusaha memperkenalkan mereka yang memalsukan hadis kepada masyarakat, agar tindakan mereka tidak menjadi contoh (tidak ditiru).
Hal itu ditambah lagi dengan sikap mereka yang amat cermat dalam meriwayatkan hadis. Misalnya kita lihat Abdullah ibn Abbas, tatkala ia menerima riwayat dari orang yang ia ragukan, ia tidak mau menerima. Demikian pula Mu'awiyah, ia selalu memperingatkan masyarakat agar menghindari hadis-hadis yang tidak pernah ada pada masa Umar ibn ibn al-Khaththab, dengan alasan Umar selalu menakut-nakuti masyarakatnya agar mereka bersikap hati-hati terhadap periwayatan hadis. Sehingga tak seorangpun berani meriwayatkan sesuatu, kecuali yang benar-benar ia ketahui. Hal ini juga tidak lepas dari keberadaan umat Islam waktu itu, yang belum terpecah-pecah menjadi aliran-aliran, seperti yang terjadi pada masa sesudahnya. Karena itu, Mu'awiyah merasa yakin dengan hadis-hadis yang beredar pada masa Umar, dan merasa khawatir (waspada) terhadap hadishadis yang muncul sesudahnya.
               Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah ibn Amir al-Yahshabi. katanya: "Saya mendengar Mu'awiyah berkata: 'Berhati-hatilah kalian dalam meriwavatkan hadis, kecuali hadis yang pernah beredar pada masa Umar ibn al-Khaththab. Karena Umar ibn al-Khaththab selalu memperingatkannya agar senantiasa takut kepada Tuhanya.[16]
               Maka dari itu para sahabat dan tabi’in tetap pada keadaan mereka yang selalu berhati-hati dan waspada terhadap berbagai pemalsuan dan para pelakunya.
  1. Sebab-Sebab Pemalsuan Hadis
Tidak ragu lagi, bahwa seorang pemalsu hadis dalam melakukan aktifitasnya terdoronh oleh berbagai faktor. Faktor-faktor itu bisa muncul secara sengaja dan bisa muncul tanpa sengaja.
a.      Sebab-sebab yang disengaja dalam praktik pemalsuan hadis:
petama adalah niat untuk menghancurkan islam dari dalam. Dalam hal ini, tidak sedikit orang Zindik yang mengambil peran nyata. Wujudnya berupa intervensi yang dilakukan oleh mereka yang berlindung di belakang pemerintahan yang pernah ditaklukan oleh islam. Mereka dengan serta merta menciptakan hadis-hadis palsu, sebagai serangan terhadap islam dan Rasulullah Saw. Dengan tindkan seperti itu , mereka mengira, bahwa akidah umat Islam akan hancur dan agam islam itu sendiri akan porak poranda.
Sebagai contoh dapat dikemukakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqiy[17] dalam kitab al-Asma' Wa ash-Shifat, melalui jalur Muhammad ibn Syajja' ats-Tsalji dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan kuda, lalu menjalankannya hingga berkeringat. Kemudian Dia menciptakan Diri-Nya dari kuda itu." Al-Baihaqiy mengatakan, bahwa hadis yang berasal dari ats-Tsalji itu adalah palsu, berkenaan dengan masalah Tasybih. Ats-Tsalji menyandarkannya kepada ahli hadis untuk mengelabui umat Islam. Lebih lanjut, al-Baihaqiy mengatakan, bahwa ats-Tsalji banyak menciptakan hadis palsu berkenaan dengan persoalan tersebut.21 Tujuannya jelas, bukan saja untuk meruntuhkan martabat Ahli Hadis, tetapi juga untuk meruntuhkan Islam.
Sedangkan yang Kedua: adalah pembelaan terhadap aliran-aliran sebagai berikut; 1. Pembelaan terhadap aliran politik, 2. Pembelaan terhadap agama, 3. Pembelaan terhadap aliran geografis. Dimana ketiga hal tersebut terdorong oleh motif-motif dunia sebagaimana berikut, Sebagai motif untuk mendekati penguasa dan mencari pendukung ataupun khalayak massa
b.      Sebab-sebab yang Tidak Disengaja dalam pemalsu hadis
Umumnya faktor yang mendorong seseorang memalsukan hadis dalah disengaja, misalnya menghancurkan Islam, membela aliran terten atau keinginan mendapatkan harta dan kedudukan. Tetapi ada pula faktor vang tidak disengaja. Suatu hadis palsu muncul dari seorang periwayat yang salah atau keliru dalam periwayatannya, atau ada orang lain yang memasukkan hadis palsu ke dalam kitabnya tanpa sepengetahuannya. Berkenan dengan penjelasan ini, saya akan mengetengahkan dua persoalan.
1)      Terjadinya Kekeliruan Atau Kesalahan Pada Diri Periwayat. Kadang-kadang seorang periwayat, betapapun tsiqatnya, terjerumus ke dalam kekeliruan atau kesalahan. Sehingga bisa terjadi, ia memarfu'kan suatu hadis kepada Nabi saw, yang sebenarnya hanya merupakan pernyataan sahabat atau yang lain. Tetapi hadis semacam ini, kadangkadang disebut hadis palsu, namun kadang-kadang disebut syibh almaudhu' (semi palsu).
2)      Penyusupan hadis palsu dalam karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuan diirinya.[18]
a.       Kekeliruan periwayatan pada masa sahabat (Sahabat dan fenomena keliruannya).
Diantara para sahabat Rasul Saw. Tidak ada yang mendustkan beliau, mereka adalah orang-orang yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi mengakkan agamanya dan membantu dakwahnya. Allah SWT juga memilih mereka sebagai para pengemban amanat agama dan menyebarkannya kepada generasi sesudahnya.
Akan tetapi, para sahabat tetaplah manusia biasa, meskipun secara umum mereka memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat, tetapi mereka bukanlah orang-orang ma’shum (terpelihara dari kesalahan atau kekeiruan), karena itulah ada beberapa sahabat yang keliru dalam meriwayatkan suatu hadis. Sebagai contoh adalah riawayat ibnu umar, bahwa seorang mayit akan disiksa lantaran tangisan keluarganya, dan penjeklasan Sayyidah A’isyah: “bahwa Ibnu Umar keliru dalam meriwayatkan hadis tsb, Tatkala ada seseorang tetangga Yahudi meninggal dunia, sementara keluarganya menangisi nya.” Nabi Saw segera menuturkan, bahwa orang itu akan akan disiksa, dan bahwa keluarganya sedang menangisinya.
b.      Kekeliruan periwayatan pasca sahabat, Tidak dapat disangkal lagi, bahwa kekeliruan para periwayat yang terjadi setelah masa sahabat banyak sekali. Dimana sikap kehati-hatian pada saat itu telah melemah. Karena itu tidak heran bila kita melihat banyak kekeliruan yang dilakukan oleh para periwaya pada hadis-hadis yang mereka riwayatkan.[19]
Adapun beberapa faktor pendukung terjadinya kekeliruan:
1)      Terbatasnya kodifikasi hadis
Usaha penulisan atau lebih tepatnya kodifikasi belum merupakan hal yang biasa. justru pada umumnya, para periwayat masih mengandalkan hafalan. Sebab kekuatan hafalan bagi mereka merupakn identitas yang bisa dibanggakan, dan kenyataan ini memang tidak ada yang meragukan.
2)      Periwayatan secara makna
Periwayatan secara maknawi praktis merupakan salah satu timbulnya kekeliruan. Sebab periwayat yang mempertahankan redaksi hadis yang diterimanya akan lebih membuatnya terhindar dari dari kekeliruan seperti itu, disbanding periwayat yang hanya mempertahankan maknanya, tanpa menjaga redaksinya. Karena mayoritas periwyat memperbolehkan periwayatan secara secara maknawy, maka kekeliruan pada periwayatan mereka juga banyak terjadi.
Disamping meeneliti secara cermat hadis-hadis mawdu’, para ulama hadis juga tidak luput dari perhatian terhadap riwayat-riwayat “semi mawdhu” . hal inilah yang sering dilupakan oleh para periwayat, sehingga mereka sering terjerumus pada kekeliruan fatal , yakni meriwayatkan hadis bukan dengan jalur yang semestinya.[20]
  1. Kritik Matan Hadis Di Kalangan Sahabat Dan Ulama Hadis
Sayyidah Aisyah r.a. memiliki keistimewaan berupa kecerdasan, daya hafalan yang kuat, dan memiliki banyak riwayat. Beliau juga menafsirkan hadis Rasulullah saw kepada sahabat-sahabat wanita lain yang tidak paham. Hal ini terjadi dihadapan Rasulullah sendiri.
Bagi orang yag tidak berpikir jauh, ketika mendengar riwayat berikut, ia akan menilai bahwa kelebihan pada Aisyah seperti disebutkan diatas tidak benar. Riwayat dimaksud adalah, Aisya r.a. mendengar Rasululah saw bersabda: “Tak seorangpun yang dihisab, melainkan akan hancur”. Pernyataan Nabi saw ini terasa janggal baginya, karena itu ia segera bertanya : “wahai Rasul, bukankah Allah swt telah berfirman: “Adapun orang yang diberikan kitab dari sebelah kanannya, maka ia kan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. (al- Insyiqaq: 7-8)? “Beliau menjawab: “Itu adalah pemeriksaan sepintas (al-Ardh). Tetapi orang yang diperiksa secara ketat pasti akan hancur.”[21]
Namun kenyataan justru lain. Riwayat seperti itu justru menjadi bukti kecerdasan Aisya r.a. dan kemampuannya untuk membandingkan hadis dengan al-Qur’an, serta keberaniannya untuk segera bertanya saat mengalami kesuitan. Hal-hal seperti itu sungguh merupakan keistimewaan kebiasaannya dengan sikap-sikap seperti itu di hadapan Nabi saw membuatnya memiliki kekuatan analisis tajam dan daya cerna yang mengagumkan.
Kritik Aisyah terhadap riwayat-riwayat Abu Hurairah (w.57 H) salah satunya Kritik terhadap Riwayat:[22]  (“Sesungguhnya mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya”). Aisyah mengatakan bahwa periwayat keliru dalam menyampaikan hadis tersbut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap diatasnya.
Rasusulullah juga bersabda: (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah Al-Qur’an bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah RA maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan mengutip surah Al-An’am ayat 264 artinya: ”...dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” beberapa sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Absullah bin Mas;ud, dan Abdullah bin Abbas demikian pula Abdullah bin Umar, mereka tergolong kritikus hadis, penilaian hadis yang mereka lakukan terfokus pada matan hadis.[23]
Kritik Aisyah terhadap riwayat selain Abu Hurairah yaitu riwayat Umar
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Ibn Abbas, ia berkata: “Beberapa orang yang saya pandang mendapatkan ridha Allah, salah satunya adalah Umar, memberikan kesaksian kepadaku, bahwa Nabi Saw melarang melakukan shalat setelah subuh, sehingg matahari terbit dan setelah ashar sehingga matahari terbenam. Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadis senada dari Abu Hurairah r.a.
Ketika riwayat itu didengar oleh Aisyah, ia mengingkarinya, serya mengatakan, Umar melakukan kesalahan. Sebenarnya Rasulullah saw hanya bersabda: “Janganlah kalian memilih waktu matahari terbit untuk melakukan shalat. Dan jangan pula memilih waktu pada matahari terbenam. Sebab matahari itu muncul dari kedua tanduk setan. Redaksi riwayat itu yang ada pada Shahih muslim adalah: Umam melakukan kesalahan. Sebenarnya RasulullahSaw, hanya melarang melarang memilih waktu matahari terbit dan terbenam untuk melakukan shalat.
Kemudian dia dan sahabat yang lainnya meriwayatkan: Bahwa Rasulullah saw, tidak meninggalkan sholat dua raka’atnya ba’da sholat ‘Ashar. Yakni dua rakaat , sholat yang seharusnya beliau lakukan ba’da Dzuhur.  Karena utusan Abd Qois dimana beliau kemudian melakukan selesai sholat Ashar. intinya Rasulullah Saw bila telah melakukan suatu sholat maka beliau akan melanggengkannya.
  1. Kritik Matan Menurut Sahabat Lain: Amirul Mukminin Umar Bin Khatab
Fatimah binti Qais[24] meriwayatkan bahwa suaminya Abu Amr bin Hafah keluar bersama Ali bin Abi Thalib menuju Yaman. Sesampainya di sana, suaminya mengirimkan seorang utusan untuk menyampaikan talak terakhir kepadanya, dan memerintahkan agar anggota keluarga suaminya itu memberi nafkah untuknya. Tetapi mereka justru mengtatakan: “kamu tidak berhak menerima nafkah, kecuali bila engkau hamil.” Fatimah pun datang menghadap Nabi saw. Melaporkan hal tersebut. Ternyata Nabi saw. justru bersabda: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ Artinya: Engkau tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal. HR. Bukhori dan Muslim”78
Umar menolak riwayat itu, karena dipandangnya menyimpang dari apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an. Umar memberikan keputusan, bahwa wanita yang ditalak tiga, tetap berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Dia berkata: ”Kami tidak akan meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul karena semata ada riwayat dari seorang wanita, yang kami tidak tahu, ia menghafal ayat itu atau tidak.”[25]
Kemungkinan yang dimaksud Umar dengan ayat al-Qur’an itu adalah firman Allah swt.:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ’iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. ath-Thalaq: 1).”
Nabi Muhammad saw telah memberi peringatan terhadap adanya riwayat-riwayat munkar. Dan juga, Allah swt mewajibkan mentaati rasul-Nya dan mengikukti perintah-perintahnya. Nabi Muhammad tidak hanya menegaskan untuk mengikuti perintahnya saja, tetapi juga mengisyaratkan akan muncul pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an telah ada di hadapan mereka, sehingga mereka akan mengamalkan dan merasa cukup dengan al-Qur’an saja, yang hanya menjelaskan secara umum. Sedangkan hukum-hukum praktis dan terperinci mestilah memerlukan rujukan al-Sunnah. Seperti dalam hadis nabi:
وعن أبي رافع - رضي الله عنه - قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : ( لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته ، يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه ، فيقول لا أدري ، ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه ) . رواه أحمد وأبو داود ، والترمذي ، وابن ماجه ، والبيهقي في ( دلائل النبوة )[26]
Sungguh akan aku temukan salah seorang di antara kalian duduk bersandar, yang dating kepada hal yang aku perintahkan atau aku larang, tetapi ia justru berkata dengan acuh: aku tidak tahu, (pokoknya) apa saja yang kami temukan di dalam al-Qur’an akan kami ikuti.
Nabi saw juga telah memberikan peringatan keras untuk tidak mendustakannya. Beliau bersabda:
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah mempersiapkan tempatnya di neraka.
Rasulullah juga telah menjelaskan bahwa ukurannya adalah hati mengenal atau mengingkarinya. Serta hadis-hadis beliau adalah sejalan dengan Kitab Allah dan Sunnah nabi-Nya. Yang bertentangan dengan keduanya harus ditolak. Seperti dijelaskan pad hadis berikut:
روى الخطيب، عن جبير بن مطعم، قال: قال رسول الله ﷺ: (ما حدثتم عني مما تعرفونه فخذوه، وما حدثتم عني مما تنكرونه فلا تأخذوا به) قال:(فإني لا أقول المنكر).
Apa yang diceritakan kepadamu dariku tentang pa yang kalian kenal, mka ambillah dan apa yang diceritakan kepadamu dariku tentang apa yang kalian ingkari, maka jangan kalian mabil. Beliau bersabda: Sebab aku tidak mengatan munkar.[27]
Adapun metode yang salah, karena tidak sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan akal sehat dan justru menguatkan pandagan Zindik dan para pemalsu yang setiap kali menemukan hikmah dan perkataan yang baik, pasti akan mereka buat sanadnya dan mereka nisbahkan kepada Rasulullah saw. Mereka bertujuan untuk menguatkan pandangan mereka dan melegalisir metode mereka, seperti hadis di bawah ini:
إذا حدثتم عني بحديث يوافق الحق فخذوا به حدثت به أو لا أحدث
Jika kalian diriwayati sebuah hadis dariku yang sejalan dengan ke benaran, maka ambillah, sama juga aku benar-benar meriwayatkannya atau tidak.[28]
Kemudian Ibn al-Jauzi mengutip dari al-Uqaili, bahwa redaksi seperti itu tidak memiliki sanad yang shahih dari Nabi saw. dan bahwa al-Asy'ats ini memang meriwayatkan hadis munkar. Ia juga mengutip dari Yahya ibn Ma'in bahwa hadis itu dipalsukan oleh kaum zindik. Serta dari al-Khaththabi ia mengutip bahwa hadis itu batal, tidak ada asal sama sekali baginya. Al-Dzahabi juga mengemukakan hadis ini dan mengatakan sangat munkar, ketika memaparkan biografi Asy'tas ibn Nizar al-Hajimi, serta berkata: "Hadis itu dinilai dla'if oleh Ibn Ma'in dan yang lain. Al-Nasa'i berkata bahwa hadis itu matruk. Sedang al-Bukhari mengatakan hadis itu munkar."
Hadis maudlu’ seringkali digunakan oleh pemalsu, khususnya mereka yang memalsukan hadis dengan anggapan mencari ridla dan mendekatkan diri kepada Allahswt. Sehingga banyak sekali perkataan-perkataan yang menyusup, seperti hukum ahl al-Kitab, Persi, India, para Zahid, para thabib, tukang cerita dll. Namun para kritikus mampu membuka kedok hadis-hadis palsu itu dan menjelaskan kepalsuannya.
Sedangkan hadis ahad menurut Al-Khathib al-Baghdadi tidak bias diterima jika dalam keadaan sebagai berikut:
1)      Jika menafikan hukum akal
2)      Jika menafikan hukum al-Qur’an yang muhkam
3)      Menafikan Sunnah yang sudah maklum
4)      Menafikan praktik yang berstatus sebagai sunnah (yang sudah disepakati, shahih dan bukan dhanni)
5)      Menafikan dalil apapun yang bersifat mutlak
6)      Bertentangan dengan hadis ahad lain yang telah dikenal shahih[29]
Kriteria untuk menolak dan mengetahui hadis dla’if, antara lain:
1)      Memuat balasan dan ancama yang berlebihan, yang tidak mungkin disabdakan oleh Rasulullah saw
2)      Memuat hal-hal yang diingkari oleh indera
3)      Terlalu longgar isinya dan membius
4)      Bertentangan secara nyata dengan sunnah yang sharih
5)      Menunjukkan bahwa Nabi saw melakukan sesuatu yang jelas di hadapan seluruh sahabat dan semuanya sepakat untuk menyembunyikan, tidak meriwayatkan
6)      Hadis itu batal dalam dirinya sendiri
7)      Redaksi tidak mirip dengan sebda para nabi
8)      Di dalam hadis itu ada sejarah yang begini begini
9)      Lebih mirip dengan keterangan thabib[30]
10)  Dibatalkan isinya oleh sejumlah bukti kuat
11)  Bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang sharih
12)  Disertai oleh sejumlah indikasi yang yang menunjukkan kebatalannya.
Karena kriteria ini tidak lepas dari sejumlah penulangan, maka penulis akan menyusun kriteria kritik matan ke dalam beberapa sub bab berikut:
a.       Riwayat tentang ketuhanan
روى الترمذي، عن العباس بن عبد المطلب ، انه كان جالسا في البطحاء، في عصابة، ورسول الله ورع جالس فيهم ، اذ مرت عليهم سحابة ، فنظروا إليها، فقال رسول الله ﷺ : « هل تدرون ما اسم هذه ؟ » . قالوا: نعم، هذا السحاب. فقال رسول الله ﷺ : « والمزن » قالوا: والمزن. قال رسول الله ﷺ : « والعنان » قالوا: والعنان. ثم قال لهم رسول الله : «اما هل تدرون كم بعد ما بين السماء والأرض؟». فقالوا: لا، والله ما ندري . قال: «وان بعد ما بينها اما واحدة، وأما اثنتان، أو ثلاث وسبعون سنة، والسماء التي فوقها كذلك ، حتی عدهن سبع سموات كذلك، ثم قال: «فوق السماء السابعة بحر، بين اعلاه وأسفله کا من السماء إلى السماء ، وفوق ذلك ثمانية أوعال ، بين أظلافهن وركبهن ما بين سماء إلى سماء ، فوق ظهورهن العرش، بين أسفله وأعلاه ما بين سماء الى اسماء ، والله فوق ذلك».
Al-Tirmidziy meriwayatkan dari al-Abbas ibn Abdul Muththalib. bahwa ia duduk di tanah lapang di al-Bathha' dan Rasulullah saw. ada di tengah para sahabat. Tiba-tiba ada mega lewat, lalu mereka memperhatikannya. Rasulullah saw, lalu bertanya: "Tahukah kalian apa nama benda itu?" Mereka menjawab: "Ya, itu namanya mega." Rasulullah saw. berkata: "Dan awan berair." Mereka berkata: "Dan awan berair." Beliau berkata lagi: "Dan mendung." Mereka berkata: "Dan mendung." Kemudian Rasulullah saw. bertanya lagi kepada mereka: "Tahukah kalian, seberapa jauh jarak antara langit dan bumi?" Mereka menjawab: "Demi Allah, kami tidak tahu." Beliau berkata: "Jauhnya mungkin antara tujuh puluh satu hinga tujuh puluh tiga tahun. Langit yang ada di atasnya juga begitu." Sampai langit yang ketujuh. Kemudian beliau bersabda: "Di atas langit ketujuh ada laut, yang antara bagian bawah dan atasnya seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya. Di atasnya ada binatang-binatang yang jarak antara kuku-kukunya dengan lututnya seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya. Di atas punggung binatang-binatang itu ada Arasy, yang jarak antara bagian bawah dan bagian atasnya adalah sejauh antara langit dan bumi, dan Allah ada di atasnya. "[31]
Hadis ini mengandung makna yang munkar, karena bertentangan dengan al-Qur'an, yang menjelaskan bahwa penyangga Arasy adalah malaikat-malaikat yang memiliki sayap. Sedang riwayat ini menjelaskan bahwa penyangganya adalah binatang-binatang yang memiliki kuku. Allah Ta'ala berfirman:
"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Fathir: 1).[32]
            Hadis ini juga mencirikan penyangga Arasy sebagai “tais” (secara verbal berarti kambing liar atau kambing hutan), padahal istilah ini digunakan untuk penghinaan. Dari sisi lain, hadis ini juga memberikan sifat “di atas” kepada Allah swt. Makna tersebut tidak sejalan dengan al-Qur’an yang menyebutkan:
والله فوق ذالك (Jadi tidak ada ungkapan secara tegas bahwa Allah ada di Arasy).
b.      Riwayat tentang kenabian
روى الطبراني ، من طريق أبي عقيل الثقفي ، حديث (ما مات رسول الله علت حتى قرأ وكتب)، ثم قال: (هذا حديث منكر ، وأبو عقیل ضعيف الحديث ، وهذا معارض الكتاب الله عز وجل)[33]
Hadis ini menyebutkan bahwa Rasulullah mampu membaca dan menulis sebelum beliau wafat. Ini dianggap munkar karena bertentangan dengan al-Qur’an. surat al-Ankabut ayat 48:
«وما كنت تتلوا من قبله من كتاب ولا تخطه بيمينك ، اذا لارتاب المبطلون»
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) mebulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.
c.       Riwayat tentang tafsir
روى البخاري من طريق نافع ، عن ابن عمر ، ومن طريق ابن شهاب الزهري، عن عبيد الله بن عبد الله، عن ابن عباس، عن عمر بن الخطاب ، أن عبد الله بن أبي ابن سلول - وهو منافق معروف -، لما توفي جاء ابنه عبد الله بن عبد الله بن أبي"، إلى رسول الله ﷺ، وهو من فضلاء الصحابة ، فسأله أن يعطيه قميصه يكفن فيه اباه، فأعطاه، ثم سأله أن يصلي عليه ، فقام رسول الله ﷺ، فقام عمر ، فأخذ بثوب رسول الله ﷺ، فقال: يا رسول الله : أتصلي عليه وقد قال يوم كذا كذا وكذا؟
يشير بذلك الى مثل قوله «لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى ينفضوا»، والى مثل قوله «ليخرجن الأعز منها الأذل»
فقال رسول الله ﷺ: (انما خيرني الله فقال «استغفر لهم أولا تستغفر لهم، أن تستغفر لهم سبعين مرة فلن يغفر الله لهم ، وسأزيده على سبعين)، فصلى عليه رسول الله ، وصلى معه الناس، ثم انصرف ، فلم مکث الا يسيرا حتى نزل قوله تعالى: «ولا تصل على أحد منهم مات أبدا، ولا تقم على قبره، انهم كفروا بالله ورسوله ، وماتوا وهم فاسقون» . قال عمر : فعجبت بعد من جرأتي على رسول الله ﷺ، والله ورسوله أعلم.[34]
Menurut riwayat itu, Rasulullah saw. telah mengalami kesulitan memahami makna takhyir (alternasi) dari firman Allah swt: "Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu memohonkan ampun Dimereka." Padahal sudah jelas bahwa yang dimaksud bukanlah menyuruh memilih antara memohonkan ampun bagi mereka atau tidak memohonkan ampun bagi mereka. Tapi yang dimaksud adalah pemberitahuan Allah swt bahwa Dia tidak akan mengampuni mereka, meskipun Engkau (Muhammad) memperbanyak permohonan ampun, sampai tujuh puluh kali sekalipun. Dan yang dimaksud adalah hitungan banyak, bukan jumlah tujuh puluh itu sendiri. Sehingga tidak ada pemahaman terbaliknya (mafhum mukhalafahnya). Yakni bahkan meski lebih dari tujuh puluh kali sekalipun, berdasarkan kelengkapan ayat itu: "Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." Bagaimana makna ayat ini bisa menjadi kabur bagi Nabi saw yang memiliki tingkat kefasihan tertinggi dalam berbahasa? Karena itu, sebagian ulama menolak hadis itu dan mencacat keshahihannya, meski ada di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Al-Qadli Abu Bakar al-Baqillani mengatakan hadis ini tidak boleh diterima dan tidak benar Rasulullah saw menyabdakannya. Ia juga mengatakan, hadis ini termasuk hadis ahad yang tidak diketahui kebenarannya. Maksudnya, hadis ahad karena tidak mencapai derajat mutawatir, statusnya dhanni dilihat dari segi wurud-nya, sehingga harus ditolak jika bertentangan dengan prinsip dasar, seperti yang terjadi berkenaan dengan hadis ini.
Al-Ustadz Muhamamd Rasyid Ridla telah menganalisis pendapat ulama tentang hadis ini. Ia berkata: "Yang benar adalah bahwa hadis ini bertentangan dengan kedua ayat di atas. Mereka yang lebih menekuni pokok-pokok agama dan dalil-dalilnya yang qath'i dibanding dalil-dalil yang dhanni, tidak menemukan apa yang dapat digunakan untuk menjawab kontradiksi hadis ini. Mereka ini tidak ada pilihan kecuali menilai tidak shahih hadis tersebut, meskipun dari sudut matannya. Yang berada di baris terdepan di antara mereka itu adalah al-Qadli Abu Bakar al-Baqillani, Imam al-Haramain al-Ghazali dan disetujui oleh al-Darawardi, salah seorang pensyarah al-Bukhari. Adapun mereka yang lebih menekuni sanad dibanding matan dan cabang-cabang dibanding pokok-pokok, maka mereka akan memaksa diri menyatakan apa yang isinya telah saya rangkumkan dari tokoh mereka yang paling hafidh." Maksudnya Ibn Hajar al-Asqalani.[35]
Dalam hadis-hadis dla’if yang berkenaan dengan tafsir, banyak sekali isi yang bertentangan dengan al-Qur'an, baik secara verbal maupun spiritnya saja. Dan hal ini memerlukan penelitian tersendiri yang cukup luas dan dalam.
d.      Riwayat tentang balasan dan akhirat
Sebuah hadis yang menyatakan kematian menjadi penebus dosa bagi setiap muslim:
«الموت كفارة لكل مسلم»، رواه البيهقي في شعب الايمان، وصححه أبو بكر ابن العربي، وقال الحافظ العراقي في أماليه انه ورد من طرق يبلغ بها رتبة الحسن.
"Kematian adalah penebus dosa bagi setiap muslim." Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Syu'ab Liman, dinilai shahih oleh Abu Bakar ibn al-Arabi. Al-Hafidh al-Iraqi di dalam al-Amali-nya mengatakan bahwa hadis itu datang dari berbagai jalur yang mencapai tingkat hasan.
Ibn Hajar mengatakan bahwa dengan adanya jalur-jalur itu, hadis tersebut tidak layak untuk dinilai palsu. Hanya saja, ia mencatat ketidakmungkinan memahami hadis secara literal. Bagaimana mungkin kematian menjadi penebus dosa bagi setiap muslim? Padahal di dalam kaum muslimin ada orang yang melakukan dosa yang dijelaskan oleh al-Qur'an siksanya adalah neraka Jahannam? Jika kematian menjadi penebus dosa bagi setiap muslim, niscaya siksa itu tidak ada gunanya? Karena itulah, Ibn Hajar kemudian mentakwilkan hadis itu dengan menyatakan yang dimaksud adalah kematian tertentu, seandainya hadis itu shahih.
Masuknya sebagian muslim ke dalam Jahannam ditegaskan sendiri oleh ayat-ayat al-Qur'an dan dijelaskan pula oleh hadis-hadis Nabi saw. Ulama juga sepakat mengenai hal itu. Sehingga apa yang bertentangan dengannya harus ditolak. Sedang Ibn al-Jauzi menilai hadis itu palsu, dengan menyebut sanad-sanadnya dan menjelaskan kelemahan-kelemahan yang ada di dalam sanad-sanad itu. Al-Shaghani juga menilainya palsu, sebagaimana dikutip oleh al-Sakhawi.[36]
a.       Syarat-syarat menolak riwayat karena bertentangan dengan Hadis
Jika kita hendak menolak sebuah riwayat yang marfu’ kepada Nabi saw karena berttentangan dengan hadis lain, maka harus memenuhi dua syarat:
1)      Tidak ada kemungkinan memadukan (al-jam’u).jika dimungkinkan pemaduan di antara keduanya dengan tanpa memaksakan diri, maka tidak perlu menolak salah satunya. Jika di antara keduanya terjadi pertentangan yang tidak mungkin dipadukan, maka harus di-tarjih.
2)      Hadis yang dijadikan sebagai dasar untuk menolak hadis lain yang bertentangan haruslah berstatus mutawatir.[37]
Landasan syarat ini adalah penilaian derajat keshahihan berkenaan dengan yang ditolak dan dijadikan alasan menolak. Sebab telah maklum bahwa yang mutawatir adalah qath’I al-wurud, sedang yang tidak mutawatir dhanni al-wurud.


b.      Riwayat yang berkaitan dengan adab
روى ابن الجوزي في الموضوعات، عن أبي هريرة قال: نهی رسول الله ﷺ عن أن يقطع الخبز بالسكين، وقال: «أكرموه، فإن الله عز وجل قد أكرمه، وروي كذلك عن عائشة عن النبي ﷺ قال: «لا تقطعوا اللحم بالسكين، فإن ذلك من صنع الأعاجم». واسنادهما واهیان .
Ibn al-Jauzi meriwayatkan di dalam al-Maudlu’at, dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah saw. melarang roti dipotong dengan pisau, dan bersabda: "Muliakanlah roti itu, karena Allah Azza Wa Jalla telah memuliakannya." Ia juga meriwayatkan dari Aisyah dari Nabi saw., beliau bersabda: "Jangan memotong daging dengan pisau, karena hal itu merupakan tindakan orangorang non-Arab." Sanad kedua riwayat ini lemah.
Namun Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis itu tidak shahih dengan dalil bahwa Nabi saw. memotong daging kambing dengan pisau. Ibn al-Jauzi mengakui dan mengutip pernyataan ini setelah riwayat di atas. Juga Ibn al-Qayyim di dalam al-Manar al-Munif.[38]
c.       Riwayat tentang kiamat dan akhirat
روي البخاري عن أنس، أن غلامًا للمغيرة، من أقران أنس، مر عند النبي ﷺ، فقال : «ان أخر هذا فلم يدركه الهرم حتى تقوم الساعة »
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa pelayankecil al-Mughirah, orang segenerasi dengan Anas, lewat di dekat Nabi saw. Lalu beliau bersabda: “Jika anak ini diberi usia Panjang, maka dia belum sampai pikun kecuali akan dating kiamat”
Hadis ini jelas janggal, karena secara verbal menunjukkan bahwa kiamat akan terjadi selang beberapa saat setelah Nabi saw wafat, yakni sewaktu anak itu mendekati usia pikun.
Yang benar adalah sebagai berikut:
رواه البخاري ومسلم، عن عائشة، أن رجالا من الأعراب جفاة، كانوا يأتون النبي ﷺ، فيسألونه: متى الساعة ؟. فكان ينظر الى أصغرهم فيقول: «ان يعش هذا لا يدركه الهرم حتى تقوم عليكم ساعتكم »
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah, bahwa beberapa orang pedalaman datang kepada Nabi saw., lalu bertanya: "Kapan kiamat tiba?" Lalu beliau melihat yang termuda di antara mereka seraya bersabda: "Jika anak ini masih hidup, maka tidak akan menemukan usia pikun kecuali kiamat kalian akan tiba."
Hisyam ibn Urwah, periwayat hadis itu dari ayahnya dari Aisyah, menafsirkan dengan kematian mereka. Jadi mereka menanyakan kiamat dalam arti hari kiamat, tetapi Nabi saw, membelokkan pertannyaan itu. Karena tidak ada yang mengetahui waktunya kecuali Allah swt. Di samping itu tidak ada manfaat menanyakan batas waktu kiamat. Beliau kemudian membelokkan pertanyaan itu kepada kiamat dalam arti masa kehancuran mereka. Jika mereka masih diberi umur panjang, maka sebelum anak itu memasuki usia pikun mereka telah ditimpa kehancuran atau kematian.
d.      Riwayat tentang hadis-hadis hukum
روي مسلم عن رافع بن خديج قال: سمعت النبي ﷺ يقول: «شر الكسب مهر البغي، وثمن الكلب، وكسب الحجام». وفي رواية: «ثمن الكلب خبيث، ومهر البغي خبيث، وكسب الحجام خبيث».
Imam Muslim meriwayatkan dari Rafi' ibn Khadij, katanya: Nabi saw bersabda: "Pekerjaan paling buruk adalah mahar pelacuran, harga anjing dan profesi bekam." Riwayat lain menyebutkan: "Harga anjing adalah buruk, mahar pelacuran adalah buruk dan pekerjaan membekam adalah buruk. "[39]
Al-Nasa'i meriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: Rasulullah saw. melarang pekerjaan bekam, (harga jual-beli) anjing dan pelacuran. juga ada riwayat-riwayat lain yang menyebutkan larangan bekerja sebagai tukang bekam. Dan jika terpaksa, hendaklah bekerja sebagai pemberi makan ternak. Riwayat-riwayat itu jelas merendahkan profesi bekam, padahal ia merupakan jenis pekerjaan dan Islam sendiri memerintahkan untuk bekerja. Bahkan bekam termasuk salah satu jenis pengobatan tradisional (al-thibb). Yang bertentangan dengan hadis:
روي أبو داود عن أبي هريرة، أن رسول الله ﷺ قال: «ان كان في شيء مما تداويتم به خير فالحجامة».
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Jika kalian memerlukan pengobatan yang baik, maka ia adalah bekam."
e.       Riwayat yang bertentangan dengan keteragan baku dari sirah nabawiyah
Banyak sekali hal-hal dalam sirah nabawiyah yang telah baku karena memiliki banyak jalur dan sejalan dengan hadis-hadis nabawi. Jika ada riwayat yang termasuk hadis nabawi bertentangan dengan sesuatu yang telah baku di dalam sirah, maka hal ini menjadi indikator kepalsuan riwayat.
روي البخاري، عن شريك بن عبد الله، أنه سمع ابن مالك، يحدث عن اللية التي أسري فيها برسول االله ﷺ، فقال انه جاءه ثلاثة نفر، قبل أن يوحي إليه، ... وسرد قصة الاسراء
Al-Bukhari meriwayatkan dari Syuraik ibn Abdillah, bahwa ia mendengar Ibn Malik bercerita tentang malam di mana Rasulullah saw. diisra'kan. Ia mengatakan bahwa telah datang tiga kelompok, sebelum beliau diberi wahyu ... dan ia menceritakan kisah Isra' selengkapnya.
Tidak ragu lagi bahwa riwayat syurik mengalami kesalahan. Imam Muslim mengatakan bahwa ia seharusnya mendahulukan yang seharusnya diakhir dan mengakhirkan yang seharusnya di awal, mengurangi dan menambah. Pernyataan itu merupakan isyarat dahwa di dalamnya terjadi banyak kesalahan, dan diakuipula oleh pensyarahnya. Dan kesalahan yang paling jelas adalah perkataan “sebelum beliau diberi wahyu”.[40]
Setiap riwayat yang bertentangn dengan hadis yang telah diakui shahih dari Rasulullah saw, adakalanya mutawatir dan adakalanya disertai sejumlah indikator yang menghilangkan keraguan, maka riwayat itu dianggap tertolak. Demikian pula jika riwayat itu bertentangan dengan apa yang telah baku di dalam sirah nabawiyah yang mulia.
Diperhitungkan pula ketidak mungkinan memadukan antara keduanya dengan takwil yang wajar. Adapun jika pemaduan di antara keduanya memerlukan takwil yang jauh danterlalu dipaksakan, maka yang lebih baik adalah tidak menggunakan takwil-takwil seperti itu.
a.       Riwayat yang bertentangn dengan akal
روی ابن الجوزي في « الموضوعات » عن معاذ بن جبل، أن النبي ﷺ لما بعثه الى اليمن قال له : « انك تأتي قوما أهل كتاب ، فإن سألوك عن المجرة فأخبرهم أنها من عرق الأفعى التي تحت العرش ».[41]
Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dalam kitab al-Maudlu’at dari Muadz ibn Jabal, Sesungguhnya Nabi saw ketika mengutusnya ke Yaman bersabda kepadanya: “Engkau mendatangi kaum Ahli Kitab, maka jika mereka bertanya kepadamutentang galaksi, maka katakanlah bahwa ia berasal dari keringat ular yang berada di bawah Arasy”.[42]
   Keberadaan galaksi berasal dari keringat ular, dan ular tersebut berada di bawah Arasy itu semua tidak dibenarkan akal. Ibnu al-Qayyim juga menghukumi batil hadis ini, dan berdalil bahwa itu bukan dari sabda Rasulullah.
b.      Riwayat yang bertentangn dengan indera
روي أبو يعلي والبيهقي رواية: «من حدّث حديثا فعطس عند فهو حق».[43]
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Manusia yang paling bodoh adalah tukang-tukang celupdan tukang-tukang susun”
Riwayat ini bertentangan dengan indera (kenyataan), karena tidak seorangpun dapat membuktikan bahwa pelaku pekerjaan ini lebih bohong dari pelaku pekerjaan itu. Apa yang ditemukan dalam suatu lingkungan mungkin tidak ditemukan di lingkungan lain Rasulullah tidak pernah mencela pekerjaan apapun.[44]
c.       Riwayat yang bertentangn dengan sejarah
Tidak benar bahwa hadis yang berselisih dengan sejarah menjadi tertolak, karena sejarang yang dimaksud itu haruslah sejarah yang dapat dipastikan kebenarannya. Hadis yang ditolak adalah hadis ahad yang bertentangan dengan sejarah, karena hadis ahad memilik posisi yang nisbi, maka tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang eksistensinya pasti atau mendekati kepastian.
رويت عن النبي ﷺ هذه الرواية، وهي: «ما من نبي نبيء إلا بعد الأربعين»[45]
Diriwayatkan dari Nabi saw: “Tidak ada seorang nabi diutus kecuali setelah berumur empat puluh tahun”.
Ibn al-Jazuli menghukumi hadis ini palsu, karena menurut sejarahnya Nabi Isa as diutus dan diangkat ke langit dalam usia tiga puluh tiga tahun.[46]
Sulit memang bagi ulama hadis untuk menentukan perkataan mana yang tidak seperti perkataan kenabian, tetapi yang terpenting adalah perkataan yang menandung keserampangan, atau makna-makna yang rendah atau ungkapan tentang istilah-istilah yang dating kemudian.
a.       Riwayat yang mengandung keserampangan
Hadis-hadis Nabawi memang memperingatkan kita dari dosa, agar manusia  menjauhinya, tetapi sebagian riwayat sangat keterlaluan dalam memberikan peringatan, sehingga memberi justifikasi bagi kita untuk menghukumi palsu hadis-hadis seperti itu.
Contohnya, peringatan dari riba:
روي ابن ماجه، عن ابن هريرة، ان رسول الله ﷺ قال: «الربا سبعون حوبا، ايسرها ان ينكح الرجل امه»
Ibnu Majah meriwayatkan dai Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Riba adalah tujuh jenis dosa, yang teringan adlaah dosa seseorang menikahi ibunya”
Hadis ini jelas mengandung unsur terlalu berlebihan dalam memberiperingatan. Seandainya riba termasuk salah satu dosa dosa besar san seandainya Allah swt mengizinkan memerangi pemakan riba, maka haruskah dosa terendah adalah seperti dosa menikahi ibunya?.[47]
b.      Hadis yang mengandung makna yang rendah
Jika ada riwayat mengandung makna yang rendah, maka hal ini menunjukkan ketidak shahihan penisbatannya terhadap Nabi saw. Ibnu Qayyim menjadikan hal ini sebagai bukti kalua riwayat itu palsu. Contohnya adalah:
منها : «ارحموا عزیز قوم ذل ، وغني قوم افتقر ، وعالما يتلاعب به الصبيان ».[48]
Di antaranya adalah: “Kasihanilah orang besar yang jatuh hina, dan orang kaya yang jatuh miskin, dan alim yang dipermainkan anak-anak”.
 Begitu pula hadis yang mencela tukang tenun , tukang sepatu, pengrajin emas (artinya kerajinan-kerajinan yang mubah), maka hal itu mendustakan atas nama Rasulullah saw, Karena Rasulullah tidak mencela usaha-usaha mubah.
Yang dimaksud dengan rendah di sini adalah rendah maknanya, adapun rendah dalam kata makana tidak cukup sebagi bukti untuk menghukumi palsu sebuah riwayat, karena mungkin seorang riwayat meriwayatkan hadis dengan makna saja, dan mengungkapkannya denag kata-kata yang rendah dari dirinya sendiri, tetapi harus diterangkan tentang kerendahan kata-kata itu supaya tidak dinisbatkan kepada Rasul.
c.       Hadis yang lebih menyerupai perkataan ulama khalaf
Seorang peneliti akan menemukan dalam riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw., sebagian istilah yang lebih menyerupai perkataan parta ahli fiqh (fuqaha), atau ahli aliran aliran dan agama (ahl al-madzahib wa al-nihal), atau istilah-istilah kurun terakhir Islam yang merupakan kurun setelah kenabian.
Biasanya yang menyebabkan hal itu terjadi adalah fanatisme yang bersarang dan menguasai sebagian jiwa. Maka di samping loyalitasnya pada al-Qur'an dan Sunnah ia juga loyal kepada fanatisme kelompok atau aliran tertentu, sehingga mendorongnya untuk memalsukan hadis, untuk menopang alirannya atau untuk menyerang kelompok musuhnya.
1)      Hadis maudlu’ tentang pembelaan aliran teologis, seperti hadis di bawah ini yang meriwayatkan mengenai hakekat iman:
رواه ابن الجوزي، عن علي الرضا ، عن أبيه موسى الكاظم ، عن أبيه جعفر الصادق ، عن أبيه محمد الباقر ، عن أبيه علي زين العابدين ، عن أبيه الحسين السبطر ، عن أبيه علي ابن أبي طالب ، قال : قال رسول الله : « الإيمان معرفة بالقلب ، وقول باللسان، وعمل بالأركان».
Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi bersabda: “Iman adalah mengetahui dengan hati, dan ucapan dan lisan, dan beramal dengan semua anggota”. Salah seorang pemalsu hadis meriwayatkan hadis yang marfu’, bahwa nabi bersabda: “iman adalah perkataan dan perbuatan”. Hadis ini dibuat untuk menguatkan pendapat yang mengatakan iman adalah mengetahui dengan hati dan amal, dan amal saleh adalah bagian dari iman.[49]
2)      Hadis Maudlu’ tentang pembelaan madzhab fiqh untuk memperkuat dalil, istimbath dan teori-teori masing-masing madzhab, contohnya:
ومن الموضوع لنصرة بعض المذاهب، ماروي عن ابن عباس، أن العشرة الميشرين بالجنة، ما كانوا يرفعون أيديهم، إلا لافتتاح الصلاة.
Apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga tidak pernah mengangkat tangan mereka (dalam sholat) kecuali dalam permulaan sholat. Artinya mereka tidak mengangkat tangan ketika ruku’, dan bangun dari ruku’. Ini bertentangan dengan apa yang dating secara shahih dari Nabi saw, dan bertentangan dengan apa yang dating dari mereka secara shahih. Hadis ini dipalsukan untuk menguatkan madzhab orang yang berpendapat tidak perlu mengangkat tangan dalam shalat kecuali ketika pembukaan shalat.[50]
F.     Apresiasi dan Kritik
Dalam kitabnya al-Idlabi yaitu Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi memuat berbagai macam hadis. Dan setiap pembagian hadis-hadis al-Idlabi memberikan contoh hadis dengan jelas beserta dengan penjelasan maupun penafsiran hadis yang benar. Tidak hanya contoh yang benar saja dicantumkan, beliau juga mencantumkan contoh hadis yang salah. Sehingga pembaca mudah mengkomparasikan jika ada kesalahan dalam hadis tersebut.
Menurut al-Idlabi dalam melakukan penelitian otentitas redaksi matan, terdapat kesulitan- kesulitan yang dialami yaitu; Pertama, Minimnya literatur dan metodologi dalam objek studi kritik matan ini. Kedua, Terurainya pembahasan mengenai kritik matan, seperti sulitnya menemukan literatur Hadis, atau jenis tertentu, seperti pembahasan hadis, mursal, atau hasan, Ketiga, Salah satu yang membuat dilema adalah adanya penerapan metode yang mengakibatkan penilaian da’îf terhadap beberapa redaksi hadis, yang telah dilakukan oleh Ulama hadis, namun setelah diteliti berstatus sahih, khususnya mereka yang hanya melihat sepintas, tanpa meneliti secara cermat redaksi matannya.
Kritik terhadap kitab Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi karya al-Adlabi dari peneliti adalah tidak adanya deskripsi dari macam-macam hadis. Sehingga bagi pelajar ilmu hadis pemula kesulitan untuk memahami. Sebaiknya kitab ini baik untuk dipelajari oleh tingkatan menengah ke atas, yang sebelumnya telah memiliki modal dasar-dasar ilmu hadis




A.    Kesimpulan
Isu sentral yang diangkat dalam bukunya al-Idlabi ada empat kriteria dalam mempraktikkan kritik matan. Pertama, matan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Alquran. Kedua, tidak bertentangan dengan dengan hadis dan Sîrah Nabawiyah yang telah diterima secara luas kebenarannya. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah. Keempat, mirip dengan sabda kenabian. Hal tesebut bertujuan agar orang tidak dengan mudah membuang suatu hadis hanya karena bertentangan dengan Alquran, hadis, Sirah Nabawiyah, akal, indra atau sejarah, tetapi penilaian bertentangan itu belum melalui penilaian yang cermat.
Ada beberapa urgensi dalam melakukan Studi Kritik Matan, yaitu; Pertama, menghindari sikap sembrono dan berlebihan dalam meriwayatkan suatu hadis, karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan ini. Secara praktis, meneliti secara obyektif dan cermat terhadap matan hadis, serta mencocokkannya dengan kaidah-kaidah yang telah dikonsepsikan oleh spesialis hadis, merupakan hal yang mutlak diperlukan. Tanpa hal itu, dikhawatirkan kita dapat terjerumus ke dalam salah satu dari dua jurang yang sama-sama berbahaya, yaitu sikap sembrono (terlalu longgar dalam meriwayatkan hadis) dan berlebihan (terlalu ketat dalam meriwayatkan sadis). Kedua, Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri seorang periwayat. Ketiga, Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis, dengan menggunakan sanad sahih, namun matanya tidak sahih. Keempat, Menghadapi kemungkinan adanya kontradiksi (ikhtilaf).



‘Ajjaj, Muhammad al-Khatib. al-Sunnahal-Tadwin. Terj. Al-Lahab Akram Fahmi. Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: Gema Ihsani. 1999.
‘Itr, Nuruddin. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda karya. 1994.
al-Adlabi, Salahudin Ibn Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi. Beirut: Darul al-Afaq al-Jadid. 1983.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Silsilah Hadis Dha’if dan Maudhu’. Jakarta: Gema Insani. 1994. Jilid I.
al-Hajjaj, Muslim bin. Shahih Muslim. Riyadh:  Dar al Mughni. 1998.
Al-Qur’an.
Al-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa. Sunan Tirmidzi. Bairut: Daar al-Gharb al-Islami. 1998. Juz XII.
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali. Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: Penerbit Hikmah. 2009.
An-nur, Achmad Siddiq. Hadis Palsu dan sejarah munculnya. (http://arsitekhijrah.blogspot.co.id//2012/03/hadis-palsu-dan-sejarah-munculnya.html).Diakses pada hari Seni 11 Maret 2019.
Asshobagh, Muhammad. Al-hadis an-Nabawy Mushtholahuhu-Balaghotuhu-Kutubuhu. Tt.
asshubagh, Muhammad bin Luthfi. al-hadis an-Nabawy Mushtholahuhu-Balaghotuhu. Bairut. Tt.
Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Bairut: Dar Al-Kitab Al-Arobi. TT. Juz 4.
Ismail, Muhammad Syuhuda. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Jauzi, Ibnu. al-Maudluat. Beirut: Darul Kutub Ilmiyah. Juz I.
Kahhalah, ʻUmar Rida. Mujam Al-Muallifin, Tarajim Muṣannifi Al-Kutub Al-Arabiyah. Dimashq: al-Maktabah al-Arabiyah.
Kamil, Sukron. Naqd Al-Hadis. terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis. Pusat Penelitian Islam Al-Huda. 2000.
Maswara, Husen. Kritik Matan Hadis Di Kalangan Sahabat. Ambon: Tahkim Fak Syariah. 2013.
Nasution, Ismail. Takhrij Hadis-hadis Tentang Keutamaan Keluarga Nabi Muhammad saw. Tesis MA. Medan: UIN Sumatera Utara. 2016.
Ritonga, Ahmadi. KontribusiPemikiran Salah Ad-din Ibn Ahmad Al-adlabi dalam metode kritik matan hadis. Attauhid: Jurnal of Hadith Studies. 2017.
Al Kirmani. Shohih al-Bukhori. Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr
Sohrah. Etika Makan dan Minum dalam Pandangan Syariah. Al-Daulah. 5. Juni 2016.
Yasin, Moh. Hadis Tentang Hasil Pekerjaan Khabith. Studi Hadis Abu Dawud. Undergraduate thesis. Surabaya: UIN Sunan Ampel. 2011.



[1] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnahal-Tadwin, Terj. Al-Lahab Akram Fahmi, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, (Jakarta: Gema Ihsani, 1999), hlm. 226
[2] Shalahudi Ibn Ahmad al-Idlibi, Metodologi Kritik Matan Hadis, Terj. Muhammad Qadirun Nur, et, al. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 46
[3] Shalahudi Ibn Ahmad al-Idlibi, Metodologi Kritik, hlm. 4
[4] Ahmadi Ritonga, KontribusiPemikiran Salah Ad-din Ibn Ahmad Al-Idlibi dalam metode kritik matan hadis, (Attauhid: Jurnal of Hadith Studies, 2017), hlm. 3
[5] Universitas Al-Qarawin (Jami’ah Al-Qarawin) adalah perguruan tinggi yang berada di Kota Fez, Maroko yang didirikan pada tahun 895 M
[6] Ahmadi Ritonga, Kontribusi Pemikiran Salah Ad-din, hlm. 4
[7] Shalahudi Ibn Ahmad al-Idlibi, Metodologi Kritik, hlm. 46
[8] Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),H. 73-74
[9] Ahmadi Ritonga, Kontribusi Pemikiran Salah Ad-din, hlm. 2 & 16
[10] Dr. Sholahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, hlm. 26
[11] Muhammad Asshobagh, Al-hadis an-Nabawy Mushtholahuhu-Balaghotuhu-Kutubuhu, Tt,  hlm. 305
[12] Dr. Sholahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan, hlm. 27-28
[13] Dr. Muhammad bin Luthfi asshubagh, al-hadis an-Nabawy Mushtholahuhu-Balaghotuhu, hlm. 309
[14] Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyadh:  Dar al Mughni, 1998), hlm. 486.
[15] Muslim, Muqoddimah as-Shohih dan Shohib Bukhori dalam kitab al-ilm, hlm 75
[16] Muslim, Muqoddimah as-Shohih, hlm. 127
[17] Beliau adalah Al-Hafidz Ahmad Ibn Husain Ibn Ibn Ali, al-Baihaiy, Abu Bakar, Muhadis, Faqih, beliau juga pengikut Syafi’I, lihat Mu’jam Mu’allifin, hlm. 206
[18] Achmad Siddiq An-nur. Hadis Palsu dan sejarah munculnya .(http://arsitekhijrah.blogspot.co.id//2012/03/hadis-palsu-dan-sejarah-munculnya.html).Diakses pada hari Seni 11 Maret 2019.
[19] Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda karya. 1994. hlm. 38-41 
[20] Dr. Sholahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan, hlm. 53-54
[21] Husen Maswara, Kritik Matan Hadis Di Kalangan Sahabat, (Ambon: Tahkim Fak Syariah 2013), hlm. 147
[22] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, (Pusat Penelitian Islam Al-Huda), 2000, h . 34.
[23] Husen Maswara, Kritik Matan Hadis, hlm. 148
[24] Beliau adalah Fatimah binti Qais ibn Khalid al-Qurasyiyyah al-Fihriyyah, saudari Adh-Dhahhak ibn Qais, dan termasuk wanita-wanita yang berhijrah mula-mula. Beliau perna menjadi istri Abu Bakar ibn Hafsh, tetapi kemudian diceraikan. Lalu Nabi saw. berpesan kepadanya: Berʻiddahlah di sisi Ummi Syuraik. Kemudian beliau menyuruh ber'iddah di sisi Ibn Ummi Maktum. Lalu sewaktu is tertimpa sesuatu yang kurang baik, Nabi saw, memberi petunjuk untuk bersama Usamah Ibn Zaid. Di rumahnyalah Ahl asy-Syura berkumpul, sewaktu Umar terbunuh. Dialah yang menceritakan kisah "al-jasasah" secara panjang lebar, bahkan tidak ada yang meriwayatkan sepanjang yang diriwayatkan. Asy-Sya'biy meriwayatkan kisah itu darinya, sewaktu ia tiba di Kufah bersama saudaranya. Asy-Sya'biy waktu itu menjad amir di sana. Ibn Hajar memauqufkan sebagian kisah itu kepada Jabir dan yang lain (Lihat al-Ishabah, juz VIII, hal. 69).
[25] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Hlm. 150

[26] Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Bairut: Dar Al-Kitab Al-Arobi,TT), Juz 4, 131
[27] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi, 229
[28] Ibnu Jauzi, al-Maudluat, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah), Juz I, 257
[29] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 208
[30] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 209
[31] Al-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa, Sunan Tirmidzi, (Bairut: Daar al-Gharb al-Islami, 1998), Juz XII, 182
[32] Al-Qur’an, 35: 1.
[33] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Hadis Dha’if dan Maudhu’ (Jakarta: Gema Insani, 1994), Jilid I, 196
[34] Al Kirmani, Shohih al-Bukhori, Juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr) 403-409
[35] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 227
[36] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009), 253
[37] Ismail Nasution, Takhrij Hadis-hadis Tentang Keutamaan Keluarga Nabi Muhammad saw, Tesis MA, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2016), 56
[38] Sohrah, Etika Makan dan Minum dalam Pandangan Syariah, Al-Daulah, 5 (Juni 2016), 26
[39] Moh Yasin, Hadis Tentang Hasil Pekerjaan Khabith (Studi Hadis Abu Dawud no. indek 3417), Undergraduate thesis, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2011), 71
[40] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 249
[41] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi, 308
[42] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 258
[43] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi, 315
[44] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 260
[45] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi, 320
[46] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 268
[47] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 270-273
[48] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi, 339
[49] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 280
[50] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 280-284

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...