Keberadaan hadis sebagai pedoman hidup menempati posisi kedua
setelah Alquran yang juga sebagai marja‘ syar‘iy, merupakan hal yang layak
untuk diakui mampu membantu menafsirkan pesan-pesan global dari kandungan
al-Wahyu al-Matlu (Alquran) agar mudah dipahami oleh umat Islam. Namun
kelayakan hadis sebagai penjelas tidak terlepas dari bagaimana orisinilitas-nya
dan otoritas-nya dijadikan sebagai hujjah. Karena ketika hadis ingin dijadikan
sebagai hujjah terlebih dahulu seseorang harus mampu memfilter bagaimana
kedudukan hadis tersebut hingga bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum.
Kehujjahan hadis sebagai marja’ syar‘iy tidak dapat dikatakan
kemutawatirannya sama dengan Alquran, melainkan terdapat titik perbedaan yang
sangat jauh, sebab kemutawatiran Alquran mutlak tidak dapat dibantahkan,
sedangkan hadis kemutawatirannya masih terdapat hal yang diperselisihkan oleh
kalangan ulama hadis dikarenakan banyaknya tersebar hadis- hadis palsu terutama
pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Tholib. Pada masa itu barisan umat Islam
benar-benar terpecah, yang tercermin pada terbentuknya dua kelompok militer Amir
al-Mu’min³n, Ali yang didukung oleh penduduk Hijaz dan Irak, dan kelompok
militer Muawiyah. Gubernur Syam yang didukung oleh mayoritas penduduk Syam dan
Mesir.[1]
Setelah munculnya pemalsuan-pemalsuan hadis dengan berbagai sebab,2
maka sebuah keharusan untuk menguji setiap periwayatan yang dinisbahkan pada
Rasulullah saw. Apakah bernilai shahih atau tidak. Dirasa sangat sulit untuk
melacak fenomena-fenomena tersebut jika hanya menggunakan kritik sanad,
melainkan harus menggunakan kritik matan.[2]
Studi kritik sanad telah muncul di kalangan sahabat, perihal
periwayat, dimulai dari keadilan (integritas pribadi) maupun kedabitan
(kapasitas intelektual). Kemudian berkembang dan berkembang seiring semakin
banyaknya mata rantai.4 Sedangkan dalam hal kritik matan, Menurut al-adlabi
sebagai salah satu islam bermanhaj Syafii mengatakan: belum ada tulisan tentang
obyek kritik matan secara komprehensif. Maka dari itu beliau menawarkan karyanya
yang berjudul: Manhaj Naqd al-
Matn ‘ind Ulama al-Hadits al-Nabawi (Beirut: Dar al-Afaq, tth) (1403 H/1983 M ), ³ yang mana karya pertama kalinya pada masa itu
dinilai sebagai karya yang relatif lengkap tentang metode kritik matan.[3]
Dengan demikian, makalah ini akan membahas secara terperinci
mengenai Kritik Matan Hadis Menurut: Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
- Bagaimana latar belakang kehidupan atau
biografi Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi?
- Bagaimana kegelisahan Akademik Salah
ad-Din ibn Ahmad al-adlabi?
- Bagaimana urgensi studi kritik matan?
- Bagaimana kriteria kritik matan menurut
ulama hadis?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Mengetahui
latar belakang kehidupan atau biografi Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi.
2.
Mengetahui
kegelisahan akademik Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi.
3.
Mengetahui
urgensi kritik matan.
4.
Mengetahui
kriteria kritik matan menurut ulama hadis
Nama lengkapnya adalah Salah ad-Din ibn Ahmad Ibn Muhammad Sa'id al-adlabi
atau lebih dikenal dengan nama Salah ad-Din ibn Ahmad al-adlabi dan sapaan
akrabnya yaitu "al-adlabi", ia merupakan tokoh ahli hadis asal Syiria
yang lahir di kota Halab pada tahun 1367 H/1948 M. Penyebutan nama
"Idlibi" merupakan penisbahan dari kakeknya, karena ayahnya yang
bernama Syekh Ahmad adalah putra kesayangan Syekh Muhammad Sa'id al-adlabi. Salahad-Din
al-adlabi merupakan ulama Salaf abad 19 Masehi. Ia merupakan kaliber ulama yang
banyak memberikan kontribusi dengan pandangannya terhadap permasalahan-permasalahan
agama. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara setelah Muhammad Basyir
yang juga merupakan doktor dalam spesialis keilmuan tentang linguistic
(Bahasa). Penyebutan al-adlabi yang terdapat pada nama kakeknya adalah
kelaziman yang biasa didengar ketika seorang ulama besar lagi berpengaruh,
namanya dinisbahkan dengan sebuah kota tempat ia berkiprah dalam mengembangkan
ilmunya, yaitu kota kecil seluas 2.354 m2 dimaksud, yang terletak dekat dengan
Aleppo dan sekitar 323 km jaraknya dari Damaskus yang terdapat di Kota Syiria.[4]
Ketokohan Şalāh ad-Din ibn Ahmad al-adlabi tidak berbeda dengan
kebanyakan ilmuan hadis lainnya, yang secara akademisi ia juga mengecap
pendidikan dasar sampai kependidikan tinggi. Ia menimba pendidikan pada
Madrasah Iftidaiyah, kemudian pada madrasah setingkat dengan madrasah aliyah
yang berbasis syari'ah di Madinah tempat kelahirannya, kemudian ia melanjutkan
pendidikannya pada perguruan tinggi syari'ah di Damaskus, kemudian
melanjutkannya pada perguruan Dar al-Hadis al-Hasaniyah yang juga berhubungan
dengan spesialisasi kajian yang sebelumnya ia geluti, hingga ia meneyelesaikan
pendidikan tingginya dengan mendapatkan gelar magister pada bidang ilmu
keislaman dan ilmu hadis yaitu pada tahun 1975 M/1395 H. Ia juga memperoleh
gelar Doktor dalam bidang Ilmu Islam dan hadis dengan predikat "Hasan
Jiddan" yaitu dari Dar al-Hadis al-Hasaniyah di Magribi pada tahun 1980
M/1401 H. Ia juga banyak mengajar diberbagai perguruan tinggi islam terkemuka,
seperti pada perguruan tinggi al-Qarwain,[5] ia
di amanahi sebagai dosen bahasa Arab selama dua tahun di Maroko, dosen hadis di
Fakultas Dirasah Islamiyah Dubai selama empat tahun, sebagai dosen hadis dan
ilmu hadis di Universitas Muhammad ibn Su'üd Riyad selama sepuluh tahun
lamanya, ia juga sebagai pembimbing diperguruan Syari'ah selama tiga tahun.
Daurah ke Kanada juga menjadi perjalanan pendidikan yang pernah dijalaninya
dalam melakukan penelitian dan kajian mendalam tentang hadis dan ilmu hadis.[6]
Kapasitas ilmu yang dimilikinya memberikan makna penting bagi
masyarakat, sebagai tempat bertanya tentang persoalan yang terjadi ditengah
kehidupan bermasyarakat, kemudian ia juga dikatakan sebagai konsultan tentang
kajian keagamaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dikatakan secara
langsung ataupun tidak langsung, karena dalam bentuk halaqah ia juga memberikan
pengajian dengan metode diskusi atau dengan kata lain ia memberikan kesempatan
untuk bertanya kepada jamaah yang ikut serta menyaksikan persentasi pembahasan
yang disampaikannya. Kemudian secara tidak langsung yaitu, diskusi dalam bentuk
Tanya jawab melalui media sosial yang dibuka dengan tanpa membatasi pengunjung
dan pengomentar terhadap status yang dimilikinya tersebut.
Sebagai tokoh bermazhab Syafi'iy yang tidak fanatik, Salāh ad-Din
Ibn Ahmad alIdlibi dikenal sebagai dosen dan juga da'i yang memiliki keilmuan
mampu mempengaruhi terhadap kalangan ahli hadis kemudian terhadap pentingnya
kajian terhadap kritik hadis, terutama kritik pada matan hadis. Yang selama ini
perhatian terhadap matan tidak begitu dimarakkan, tetapi setelah munculnya
karya Ibn Qayyim (w 751 H) pada masa lalu, kemudian karya al-adlabi di abad
modern mampu menaruh perhatian yang menilai betapa pentingnya kritik matan
tersebut.[7]
Salāh ad-Din ibn Ahmad al-adlabi sebagai sosok ulama yang memiliki
semangat, ketekunan, kecerdasan dan keterampilan yang luar biasa dalam menulis
buah pikiran yang terlintas dibenaknya. Ketajaman pikiran yang dimiliki oleh al-adlabi
dibuktikan dengan beberapa karya tulis yang dimilikinya.
Selain dari karya tentang Manhaj Naqd al-Matn 'Ind 'Ulama' al-Hadis
an-Nabawi, alIdlibi juga memiliki karya dalam bentuk yang lain seperti artikel
atau tulisan lepas. Adapun karya tulis yang merupakan buah pikiran Salah ad-Din
Ibn Ahmad al-adlabi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Bagiyah
al-Ra'id Lamma Fi Hadis Am Zar'in Min al-Fu'ādi Lil Qadilyad, Ditahqiq, dengan
cara bersama, oleh Wazārah al-Auqaf dan al-Syu'un al-Islamiyah, Penerbit:
al-Ribaț, Tahun 1975. (2) Manhaj Naqd al-Matn 'Inda 'Ulama' al-Hadis an-Nabawi,
Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, Tahun 1983.[8]
(3) Mu'jam al-Jarh Wa Tadil Min Kalam alHafiz al-Tabrāni Fi al-Mu'jam as-Sagir,
Mekkah: Maktabah al-Istiqamah, Tahun 1992 dsb.
Dalam sejarah ilmu
hadis, metode kritik matan pertama kali ditulis dalam sebuah karya khusus
dikarang oleh Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dengan judul al-Mannar al-Munif. Berarti
sekitar empat ratus tahun sudah berjalan penulisan ilmu hadis. Karena orang
yang pertama kali menulis ilmu hadis adalah al-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan
judul al-Muhaddis al-Fasil Bain al-Rawi wa al-Wa’i. Kitab al-Ilal karya Ibn
Madini yang merupakan guru dari Imam Bukhari, sepintas dipahami karya tersebut
membahas tentang kritik matan secara meluas, ternyata fokusnya justru pada
kritik sanad. Namun kedua karya itu
masih sangat terbatas isinya bila dikaitkan dengan kebutuhan praktis kritik
matan. Baru kemudian disusul oleh al-adlabi dengan karyanya Manhaj Naqd alMatn
‘Inda ‘Ulama’ al-Hadis an-Nabawi (1403 H/1983 M). Sehingga tidak berlebihan
jika dikatakan karya al-adlabi merupakan karya yang pertama kali pada masa itu
dinilai sebagai karya yang relatif lengkap tentang metode kritik matan.
Dalam bukunya, Dr. Salah al-Din juga berupaya memperjelas metode
kritik matan, yang sejak dini kaum muslimin telah mempraktekannya dan telah
meletakkan dasar-dasar metodeloginya. Dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan
tentang latar belakang perlunya mempedalam kritik matan, kemudian beliau juga
memaparkan fakta-fakta bahwa kritik matan sudah dipakai oleh para sahabat dan
ulama hadis.
Kritik sanad memang cukup, tetapi bersifat elementer saja, sebab
setelah dilakukan kajian terhadap periode periwayatan, dimana hadis-hadis
beralih dari seorang periwayat ke periwayat lain sampai ke tangan para penulis
kitab hadis (Mukharij), disini ada dua fenomena yang mencolok, yaitu terkait fenomena
pemalsuan hadis dan fenomena kekeliruan para periwayat. Yang pertama lahir dari
kesengajaan, sedangkan yang kedua dari ketidak sengajaan.[9]
Para pemalsu hadis mendapatkan lahan yang subur untuk menebarkan benih-benih kebohngan dan kebathilan dan
menyandarkannya secara dusta kepada Rasulullah SAW. Meskipun hadis-hadis palsu
itu termakan oleh sementara pencari hadis (para pemula) dan oleh sementara ahli
fiqih, namun para ahli hadis tidak pernah lupa untuk memberikan perhatian kepada
pemalsuan seperti itu. Dimana mereka banyak mengoleksi hadis, tetapi
seleksi mereka amat ketat sehingga yang mereka pakai tidak mustahil lebih sedikit.[10]
Pertama: awal munculnya pemalsuan hadis
Mengenai kemunculan pemalsuan, terdapat 2
makna al-Wadh’u (membuat-buat/Pemalsuan) yang berkaitan dengan waktu.
a.
Kebohongan semata pada Rasulullah:
Pada makna ini, artinya pemalsuan
hadis telah terjadi sejak masa Rasulullah. Contohnya adalah riwayat dalam
Musykil al-Atsar yang ditakhrij oleh ath-Thahawi. Dari Buraidah, ia berkata,
ada seseorang yang datang kepada masyarakat kampung dekat madinah. Lalu orang
itu berkata: “sesungguhnya Rasulullah telah memerintahkan kepadaku untuk
memutuskan sesuatu berdasarkan pendapatku sendiri mengenai masalah ini dan
itu”.
b.
Praktik yang amat luas dalam rangka
memasukkan berbagai kebohongan dalam hadis Nabi SAW.
Jika dilihat dari makna ini, maka pemalsuan mulai terjadi pada
masa fitnah al-Kubra, yakni pertentangan yang terjadi antara sahabat Ali dan
Mu’awiyah. Di tengan ketegangan itu, ada diantara pengikut masing-masing yang
berusaha menjatuhkan lawan dengan cara membuat hadis palsu, agar golongan
mereka menjadi semakin mantap dan musuh menjadi semakin lemah.[11]
Kedua: larangan tuhan mengenai pemalsuan hadis
Allah SWT telah melarang perbuatan dusta di
berbagai ayat dalam al-Quran, diantaranya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ
كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang
yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan
ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat
keberuntungan. (Al-An’am: 21).
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى ٱللَّهِ وَكَذَّبَ
بِٱلصِّدْقِ إِذْ جَآءَهُۥٓ ۚ أَلَيْسَ فِى جَهَنَّمَ مَثْوًى
لِّلْكَٰفِرِينَ
Artinya: Maka siapakah yang lebih
zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan
kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat
tinggal bagi orang-orang yang kafir?
(Azzumar: 32).
Berdusta kepada Allah SWT berarti
mencakup berdusta kepada rasul-Nya. Sebab Rasulullah SAW adalah penyampai wahyu
dari-Nya. Dengan demikian, mendustakan Rasul sama saja dengan mendustakan yang
menguntus-Nya.[12]
Ketiga: larangan Nabi Saw mengenai
dusta
Diriwayatkan dari Nabi Saw. Dari Al
Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ
كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Sesungguhnya berdusta atas namaku
tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas
namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
(HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadits yang shahih, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku,
maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam
Mu’jam Al Kabir)
Imam Dzahabi juga membawakan hadits,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku
padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya
di neraka.”
- Praktik
Pemalsuan Hadis Sesudah Masa Nabi
a.
Dapat dilihat dari seputar terjadinya
fitnah”. Ulama' Hadis berpendapat, bahwa pemalsuan
hadis dimulai dari kaum Syi'ah, yaitu ketika mereka merasa yakın, Ali lah yang
per berhak memegang tampuk khilafah. Begitu pula dengan keturunan Sejak itu,
mereka mulai membuat hadis palsu berkenaan dengan kena tamaan Ali r.a dan
keluarganya. Mereka tidak puas dengan hadis-hadis shahih yang berisi
keutaman-keutamaan yang sejenis. Hadis-hadis seperti itu didengar oleh sebagian
Ahlus Sunnah Wa al-Jamaah yang kurang berpengetahuan, sehingga mereka membuat
tandingan dengan cara membuat hadis-hadis palsu berkenaan deng-an
keutamaan-keutamaan Abu Bakar, Umar maupun Utsman, serta Mu'awiyah.
Karena Irak merupakan pusat Syi'ah, maka Ulama' Hadis menilai
bahwa negeri itulah yang menjadi pusat munculnya hadis-hadis palsu untuk pertama
kalinya. [13]
Sepeninggal Rasulullah Saw., kedustaan terhadap beliau mengambil bentuk
yang lebih berat, yaitu melalui dua cara yaitu kebohongan dan kesalahan,
khususnya berkenaan dengan semua hadis yang pernah didengar. Padahal Nabi saw.
telah bersabda: "Cukup bagi seseorang untuk dikatakan pendusta, bila ia
meriwayatkan semua yang didengarnya." Pernyataan senada juga dikemukakan
oleh Umar ibn al-Khattab dan Abdullah ibn Mas'ud: "Cukup bagi seseorang
untuk dikatakan pendusta, bila ia meriwayatkan semua yang didengarnya."
Imam Malik pernan berkata kepada Ibn Wahab:" Ketahuilah, bahwa tidak
dikatakan muslim, orang yang menceritakan semua yang pernah didengarnya. Dan
seseorang tidak akan pernah dijadikan imam, bila ia meriwayatkan semua yang
pernah didengarnya.[14]
Termasuk kedustaan semacam itu adalah hadis-hadis palsu yang
dibuat oleh orang-orang saleh, yang biasanya melontarkan pernyata pernyataan
yang indah atau mengambilnya dari orang lain, kemudian membuat sanadnya. Dengan
cara seperti itu, mereka lantas menyan darkannya kepada Nabi saw. Hal itu
mereka sadari sebagai tindakan dusta, tetapi berdampak positif, bukan berdampak
negatif. Imam Muslim di dalam al-Muqaddimah, meriwayatkn, bahwa Abu Ja'far
al-Hasyimi almadani merupakaan salah satu contoh pemalsu hadis yang berkenaan
dengan kebaikan.[15]
b.
Sikap sahabat dan tabi’in
Para Sahabat dan Tabi'in sebenarnya tidak lalai dengan
merebaknya pemalsuan semacam itu. Mereka bahkan telah berusaha memperkenalkan
mereka yang memalsukan hadis kepada masyarakat, agar tindakan mereka tidak
menjadi contoh (tidak ditiru).
Hal itu ditambah lagi dengan sikap mereka yang
amat cermat dalam meriwayatkan hadis. Misalnya kita lihat Abdullah ibn Abbas,
tatkala ia menerima riwayat dari orang yang ia ragukan, ia tidak mau menerima.
Demikian pula Mu'awiyah, ia selalu memperingatkan masyarakat agar menghindari
hadis-hadis yang tidak pernah ada pada masa Umar ibn ibn al-Khaththab, dengan
alasan Umar selalu menakut-nakuti masyarakatnya agar mereka bersikap hati-hati
terhadap periwayatan hadis. Sehingga tak seorangpun berani meriwayatkan
sesuatu, kecuali yang benar-benar ia ketahui. Hal ini juga tidak lepas dari
keberadaan umat Islam waktu itu, yang belum terpecah-pecah menjadi
aliran-aliran, seperti yang terjadi pada masa sesudahnya. Karena itu, Mu'awiyah
merasa yakin dengan hadis-hadis yang beredar pada masa Umar, dan merasa
khawatir (waspada) terhadap hadishadis yang muncul sesudahnya.
Imam Muslim meriwayatkan dari
Abdullah ibn Amir al-Yahshabi. katanya: "Saya mendengar Mu'awiyah berkata:
'Berhati-hatilah kalian dalam meriwavatkan hadis, kecuali hadis yang pernah
beredar pada masa Umar ibn al-Khaththab. Karena Umar ibn al-Khaththab selalu
memperingatkannya agar senantiasa takut kepada Tuhanya.[16]
Maka dari itu para sahabat dan
tabi’in tetap pada keadaan mereka yang selalu berhati-hati dan waspada terhadap
berbagai pemalsuan dan para pelakunya.
Tidak ragu lagi, bahwa seorang pemalsu hadis dalam melakukan
aktifitasnya terdoronh oleh berbagai faktor. Faktor-faktor itu bisa muncul
secara sengaja dan bisa muncul tanpa sengaja.
a.
Sebab-sebab yang disengaja dalam praktik pemalsuan hadis:
petama adalah niat untuk menghancurkan islam dari dalam. Dalam hal ini,
tidak sedikit orang Zindik yang mengambil peran nyata. Wujudnya berupa
intervensi yang dilakukan oleh mereka yang berlindung di belakang pemerintahan
yang pernah ditaklukan oleh islam. Mereka dengan serta merta menciptakan
hadis-hadis palsu, sebagai serangan terhadap islam dan Rasulullah Saw. Dengan
tindkan seperti itu , mereka mengira, bahwa akidah umat Islam akan hancur dan
agam islam itu sendiri akan porak poranda.
Sebagai contoh
dapat dikemukakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqiy[17]
dalam kitab al-Asma' Wa ash-Shifat, melalui jalur Muhammad ibn Syajja'
ats-Tsalji dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan kuda, lalu menjalankannya hingga berkeringat.
Kemudian Dia menciptakan Diri-Nya dari kuda itu." Al-Baihaqiy mengatakan,
bahwa hadis yang berasal dari ats-Tsalji itu adalah palsu, berkenaan dengan
masalah Tasybih. Ats-Tsalji menyandarkannya kepada ahli hadis untuk mengelabui
umat Islam. Lebih lanjut, al-Baihaqiy mengatakan, bahwa ats-Tsalji banyak
menciptakan hadis palsu berkenaan dengan persoalan tersebut.21 Tujuannya jelas,
bukan saja untuk meruntuhkan martabat Ahli Hadis, tetapi juga untuk meruntuhkan
Islam.
Sedangkan yang Kedua:
adalah pembelaan terhadap aliran-aliran sebagai berikut; 1. Pembelaan terhadap
aliran politik, 2. Pembelaan terhadap agama, 3. Pembelaan terhadap aliran
geografis. Dimana ketiga hal tersebut terdorong oleh motif-motif dunia
sebagaimana berikut, Sebagai motif untuk mendekati penguasa dan mencari
pendukung ataupun khalayak massa
b.
Sebab-sebab yang Tidak Disengaja dalam pemalsu hadis
Umumnya faktor
yang mendorong seseorang memalsukan hadis dalah disengaja, misalnya
menghancurkan Islam, membela aliran terten atau keinginan mendapatkan harta dan
kedudukan. Tetapi ada pula faktor vang tidak disengaja. Suatu hadis palsu
muncul dari seorang periwayat yang salah atau keliru dalam periwayatannya, atau
ada orang lain yang memasukkan hadis palsu ke dalam kitabnya tanpa sepengetahuannya.
Berkenan dengan penjelasan ini, saya akan mengetengahkan dua persoalan.
1)
Terjadinya
Kekeliruan Atau Kesalahan Pada Diri Periwayat. Kadang-kadang seorang periwayat,
betapapun tsiqatnya, terjerumus ke dalam kekeliruan atau kesalahan. Sehingga
bisa terjadi, ia memarfu'kan suatu hadis kepada Nabi saw, yang sebenarnya hanya
merupakan pernyataan sahabat atau yang lain. Tetapi hadis semacam ini,
kadangkadang disebut hadis palsu, namun kadang-kadang disebut syibh almaudhu'
(semi palsu).
2)
Penyusupan
hadis palsu dalam karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuan diirinya.[18]
a.
Kekeliruan periwayatan pada masa sahabat (Sahabat dan fenomena keliruannya).
Diantara para sahabat Rasul Saw.
Tidak ada yang mendustkan beliau, mereka adalah orang-orang yang rela
mengorbankan jiwa dan raga demi mengakkan agamanya dan membantu dakwahnya.
Allah SWT juga memilih mereka sebagai para pengemban amanat agama dan
menyebarkannya kepada generasi sesudahnya.
Akan tetapi,
para sahabat tetaplah manusia biasa, meskipun secara umum mereka memiliki jiwa
yang bersih dan daya hafalan yang kuat, tetapi mereka bukanlah orang-orang
ma’shum (terpelihara dari kesalahan atau kekeiruan), karena itulah ada beberapa
sahabat yang keliru dalam meriwayatkan suatu hadis. Sebagai contoh adalah
riawayat ibnu umar, bahwa seorang mayit akan disiksa lantaran tangisan
keluarganya, dan penjeklasan Sayyidah A’isyah: “bahwa Ibnu Umar keliru dalam
meriwayatkan hadis tsb, Tatkala ada seseorang tetangga Yahudi meninggal dunia,
sementara keluarganya menangisi nya.” Nabi Saw segera menuturkan, bahwa orang
itu akan akan disiksa, dan bahwa keluarganya sedang menangisinya.
b.
Kekeliruan
periwayatan pasca sahabat, Tidak dapat disangkal lagi, bahwa kekeliruan
para periwayat yang terjadi setelah masa sahabat banyak sekali. Dimana sikap
kehati-hatian pada saat itu telah melemah. Karena itu tidak heran bila kita
melihat banyak kekeliruan yang dilakukan oleh para periwaya pada hadis-hadis
yang mereka riwayatkan.[19]
Adapun beberapa faktor pendukung terjadinya kekeliruan:
1)
Terbatasnya
kodifikasi hadis
Usaha penulisan
atau lebih tepatnya kodifikasi belum merupakan hal yang biasa. justru pada umumnya,
para periwayat masih mengandalkan hafalan. Sebab kekuatan hafalan bagi mereka merupakn
identitas yang bisa dibanggakan, dan kenyataan ini memang tidak ada yang
meragukan.
2)
Periwayatan
secara makna
Periwayatan secara
maknawi praktis merupakan salah satu timbulnya kekeliruan. Sebab periwayat yang
mempertahankan redaksi hadis yang diterimanya akan lebih membuatnya terhindar
dari dari kekeliruan seperti itu, disbanding periwayat yang hanya
mempertahankan maknanya, tanpa menjaga redaksinya. Karena mayoritas periwyat
memperbolehkan periwayatan secara secara maknawy, maka kekeliruan pada periwayatan
mereka juga banyak terjadi.
Disamping
meeneliti secara cermat hadis-hadis mawdu’, para ulama hadis juga tidak luput
dari perhatian terhadap riwayat-riwayat “semi mawdhu” . hal inilah yang sering
dilupakan oleh para periwayat, sehingga mereka sering terjerumus pada
kekeliruan fatal , yakni meriwayatkan hadis bukan dengan jalur yang semestinya.[20]
Sayyidah Aisyah r.a. memiliki keistimewaan berupa kecerdasan, daya hafalan
yang kuat, dan memiliki banyak riwayat. Beliau
juga menafsirkan hadis Rasulullah saw kepada sahabat-sahabat wanita lain yang
tidak paham. Hal ini terjadi dihadapan Rasulullah sendiri.
Bagi orang yag
tidak berpikir jauh, ketika mendengar riwayat berikut, ia akan menilai bahwa
kelebihan pada Aisyah seperti disebutkan diatas tidak benar. Riwayat dimaksud
adalah, Aisya r.a. mendengar Rasululah saw bersabda: “Tak seorangpun yang
dihisab, melainkan akan hancur”. Pernyataan Nabi saw ini terasa janggal
baginya, karena itu ia segera bertanya : “wahai Rasul, bukankah Allah swt telah
berfirman: “Adapun orang yang diberikan kitab dari sebelah kanannya, maka ia
kan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. (al- Insyiqaq: 7-8)? “Beliau
menjawab: “Itu adalah pemeriksaan sepintas (al-Ardh). Tetapi orang yang
diperiksa secara ketat pasti akan hancur.”[21]
Namun kenyataan
justru lain. Riwayat seperti itu justru menjadi bukti kecerdasan Aisya r.a. dan
kemampuannya untuk membandingkan hadis dengan al-Qur’an, serta keberaniannya
untuk segera bertanya saat mengalami kesuitan. Hal-hal seperti itu sungguh
merupakan keistimewaan kebiasaannya dengan sikap-sikap seperti itu di hadapan
Nabi saw membuatnya memiliki kekuatan analisis tajam dan daya cerna yang
mengagumkan.
Kritik Aisyah
terhadap riwayat-riwayat Abu Hurairah (w.57 H) salah satunya Kritik terhadap Riwayat:[22] (“Sesungguhnya mayat akan disiksa karena
tangisan keluarganya”). Aisyah mengatakan bahwa periwayat keliru dalam
menyampaikan hadis tersbut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu
ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat
keluarga si mayat sedang meratap diatasnya.
Rasusulullah
juga bersabda: (mereka
sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam
kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah Al-Qur’an bukti
ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah RA maknanya
bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan mengutip surah Al-An’am ayat 264 artinya:
”...dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” beberapa
sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi
Thalib, Absullah bin Mas;ud, dan Abdullah bin Abbas demikian pula Abdullah bin
Umar, mereka tergolong kritikus hadis, penilaian hadis yang mereka lakukan
terfokus pada matan hadis.[23]
Kritik Aisyah terhadap riwayat selain Abu Hurairah yaitu riwayat
Umar
Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan sebuah hadis dari Ibn Abbas, ia berkata: “Beberapa orang yang saya
pandang mendapatkan ridha Allah, salah satunya adalah Umar, memberikan
kesaksian kepadaku, bahwa Nabi Saw melarang melakukan shalat setelah subuh,
sehingg matahari terbit dan setelah ashar sehingga matahari terbenam. Imam
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadis senada dari Abu Hurairah r.a.
Ketika riwayat itu didengar oleh
Aisyah, ia mengingkarinya, serya mengatakan, Umar melakukan kesalahan.
Sebenarnya Rasulullah saw hanya bersabda: “Janganlah kalian memilih waktu
matahari terbit untuk melakukan shalat. Dan jangan pula memilih waktu pada
matahari terbenam. Sebab matahari itu muncul dari kedua tanduk setan. Redaksi
riwayat itu yang ada pada Shahih muslim adalah: Umam melakukan kesalahan.
Sebenarnya RasulullahSaw, hanya melarang melarang memilih waktu matahari terbit
dan terbenam untuk melakukan shalat.
Kemudian dia dan sahabat yang
lainnya meriwayatkan: Bahwa Rasulullah saw, tidak meninggalkan sholat dua
raka’atnya ba’da sholat ‘Ashar. Yakni dua rakaat , sholat yang seharusnya
beliau lakukan ba’da Dzuhur. Karena
utusan Abd Qois dimana beliau kemudian melakukan selesai sholat Ashar. intinya
Rasulullah Saw bila telah melakukan suatu sholat maka beliau akan
melanggengkannya.
Fatimah binti
Qais[24]
meriwayatkan bahwa suaminya Abu Amr bin Hafah keluar bersama Ali bin Abi Thalib
menuju Yaman. Sesampainya di sana, suaminya mengirimkan seorang utusan untuk menyampaikan
talak terakhir kepadanya, dan memerintahkan agar anggota keluarga suaminya itu memberi
nafkah untuknya. Tetapi mereka justru mengtatakan: “kamu tidak berhak
menerima nafkah, kecuali bila engkau hamil.” Fatimah pun datang menghadap
Nabi saw. Melaporkan hal tersebut. Ternyata Nabi saw. justru bersabda: “خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ” Artinya: Engkau tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal.
HR. Bukhori dan Muslim”78
Umar menolak
riwayat itu, karena dipandangnya menyimpang dari apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an.
Umar memberikan keputusan, bahwa wanita yang ditalak tiga, tetap berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Dia berkata: ”Kami tidak akan
meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul karena semata ada riwayat dari seorang
wanita, yang kami tidak tahu, ia menghafal ayat itu atau tidak.”[25]
Kemungkinan
yang dimaksud Umar dengan ayat al-Qur’an itu adalah firman Allah swt.:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ
بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
”Hai Nabi,
apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) ’iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu
‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau
mereka mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah,
dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat
dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. ath-Thalaq: 1).”
Nabi
Muhammad saw telah memberi peringatan terhadap adanya riwayat-riwayat munkar.
Dan juga, Allah swt mewajibkan mentaati rasul-Nya dan mengikukti
perintah-perintahnya. Nabi Muhammad tidak hanya menegaskan untuk mengikuti
perintahnya saja, tetapi juga mengisyaratkan akan muncul pendapat sebagian
orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an telah ada di hadapan mereka, sehingga mereka
akan mengamalkan dan merasa cukup dengan al-Qur’an saja, yang hanya menjelaskan
secara umum. Sedangkan hukum-hukum praktis dan terperinci mestilah memerlukan
rujukan al-Sunnah. Seperti dalam hadis nabi:
وعن أبي رافع - رضي الله عنه - قال :
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : ( لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته ،
يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه ، فيقول لا أدري ، ما وجدنا في كتاب
الله اتبعناه ) . رواه أحمد وأبو داود ، والترمذي ، وابن ماجه ، والبيهقي في (
دلائل النبوة )[26]
Sungguh
akan aku temukan salah seorang di antara kalian duduk bersandar, yang dating
kepada hal yang aku perintahkan atau aku larang, tetapi ia justru berkata
dengan acuh: aku tidak tahu, (pokoknya) apa saja yang kami temukan di dalam
al-Qur’an akan kami ikuti.
Nabi saw juga telah memberikan peringatan keras untuk tidak
mendustakannya. Beliau bersabda:
من
كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah mempersiapkan
tempatnya di neraka.
Rasulullah juga telah menjelaskan bahwa ukurannya adalah hati
mengenal atau mengingkarinya. Serta hadis-hadis beliau adalah sejalan dengan
Kitab Allah dan Sunnah nabi-Nya. Yang bertentangan dengan keduanya harus
ditolak. Seperti dijelaskan pad hadis berikut:
روى
الخطيب، عن جبير بن مطعم، قال: قال رسول الله ﷺ: (ما حدثتم عني مما تعرفونه
فخذوه، وما حدثتم عني مما تنكرونه فلا تأخذوا به) قال:(فإني لا أقول المنكر).
Apa
yang diceritakan kepadamu dariku tentang pa yang kalian kenal, mka ambillah dan
apa yang diceritakan kepadamu dariku tentang apa yang kalian ingkari, maka
jangan kalian mabil. Beliau bersabda: Sebab aku tidak mengatan munkar.[27]
Adapun metode yang salah, karena tidak sejalan dengan ayat-ayat
al-Qur’an dan akal sehat dan justru menguatkan pandagan Zindik dan para pemalsu
yang setiap kali menemukan hikmah dan perkataan yang baik, pasti akan mereka
buat sanadnya dan mereka nisbahkan kepada Rasulullah saw. Mereka bertujuan
untuk menguatkan pandangan mereka dan melegalisir metode mereka, seperti hadis
di bawah ini:
إذا
حدثتم عني بحديث يوافق الحق فخذوا به حدثت به أو لا أحدث
Jika kalian diriwayati sebuah hadis dariku yang sejalan dengan ke
benaran, maka ambillah, sama juga aku benar-benar meriwayatkannya atau tidak.[28]
Kemudian Ibn al-Jauzi mengutip dari al-Uqaili, bahwa redaksi
seperti itu tidak memiliki sanad yang shahih dari Nabi saw. dan bahwa
al-Asy'ats ini memang meriwayatkan hadis munkar. Ia juga mengutip dari Yahya
ibn Ma'in bahwa hadis itu dipalsukan oleh kaum zindik. Serta dari al-Khaththabi
ia mengutip bahwa hadis itu batal, tidak ada asal sama sekali baginya.
Al-Dzahabi juga mengemukakan hadis ini dan mengatakan sangat munkar, ketika
memaparkan biografi Asy'tas ibn Nizar al-Hajimi, serta berkata: "Hadis itu
dinilai dla'if oleh Ibn Ma'in dan yang lain. Al-Nasa'i berkata bahwa hadis itu
matruk. Sedang al-Bukhari mengatakan hadis itu munkar."
Hadis maudlu’ seringkali digunakan oleh pemalsu, khususnya mereka
yang memalsukan hadis dengan anggapan mencari ridla dan mendekatkan diri kepada
Allahswt. Sehingga banyak sekali perkataan-perkataan yang menyusup, seperti
hukum ahl al-Kitab, Persi, India, para Zahid, para thabib, tukang cerita dll.
Namun para kritikus mampu membuka kedok hadis-hadis palsu itu dan menjelaskan
kepalsuannya.
Sedangkan hadis ahad menurut Al-Khathib al-Baghdadi tidak bias
diterima jika dalam keadaan sebagai berikut:
1)
Jika
menafikan hukum akal
2)
Jika
menafikan hukum al-Qur’an yang muhkam
3)
Menafikan
Sunnah yang sudah maklum
4)
Menafikan
praktik yang berstatus sebagai sunnah (yang sudah disepakati, shahih dan bukan
dhanni)
5)
Menafikan
dalil apapun yang bersifat mutlak
Kriteria untuk menolak dan mengetahui hadis dla’if, antara lain:
1)
Memuat
balasan dan ancama yang berlebihan, yang tidak mungkin disabdakan oleh
Rasulullah saw
2)
Memuat
hal-hal yang diingkari oleh indera
3)
Terlalu
longgar isinya dan membius
4)
Bertentangan
secara nyata dengan sunnah yang sharih
5)
Menunjukkan
bahwa Nabi saw melakukan sesuatu yang jelas di hadapan seluruh sahabat dan
semuanya sepakat untuk menyembunyikan, tidak meriwayatkan
6)
Hadis
itu batal dalam dirinya sendiri
7)
Redaksi
tidak mirip dengan sebda para nabi
8)
Di
dalam hadis itu ada sejarah yang begini begini
10) Dibatalkan isinya oleh sejumlah bukti kuat
11) Bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang sharih
12) Disertai oleh sejumlah indikasi yang yang menunjukkan kebatalannya.
Karena kriteria
ini tidak lepas dari sejumlah penulangan, maka penulis akan menyusun kriteria kritik
matan ke dalam beberapa sub bab berikut:
a.
Riwayat
tentang ketuhanan
روى الترمذي، عن العباس بن عبد المطلب
، انه كان جالسا في البطحاء، في عصابة، ورسول الله ورع جالس فيهم ، اذ مرت عليهم
سحابة ، فنظروا إليها، فقال رسول الله ﷺ : « هل تدرون ما اسم هذه ؟ » . قالوا:
نعم، هذا السحاب. فقال رسول الله ﷺ : « والمزن » قالوا: والمزن. قال رسول الله ﷺ :
« والعنان » قالوا: والعنان. ثم قال لهم رسول الله : «اما هل تدرون كم بعد ما بين
السماء والأرض؟». فقالوا: لا، والله ما ندري . قال: «وان بعد ما بينها اما واحدة،
وأما اثنتان، أو ثلاث وسبعون سنة، والسماء التي فوقها كذلك ، حتی عدهن سبع سموات
كذلك، ثم قال: «فوق السماء السابعة بحر، بين اعلاه وأسفله کا من السماء إلى السماء
، وفوق ذلك ثمانية أوعال ، بين أظلافهن وركبهن ما بين سماء إلى سماء ، فوق ظهورهن
العرش، بين أسفله وأعلاه ما بين سماء الى اسماء ، والله فوق ذلك».
Al-Tirmidziy
meriwayatkan dari al-Abbas ibn Abdul Muththalib. bahwa ia duduk di tanah lapang
di al-Bathha' dan Rasulullah saw. ada di tengah para sahabat. Tiba-tiba ada
mega lewat, lalu mereka memperhatikannya. Rasulullah saw, lalu bertanya:
"Tahukah kalian apa nama benda itu?" Mereka menjawab: "Ya, itu
namanya mega." Rasulullah saw. berkata: "Dan awan berair."
Mereka berkata: "Dan awan berair." Beliau berkata lagi: "Dan
mendung." Mereka berkata: "Dan mendung." Kemudian Rasulullah
saw. bertanya lagi kepada mereka: "Tahukah kalian, seberapa jauh jarak
antara langit dan bumi?" Mereka menjawab: "Demi Allah, kami tidak
tahu." Beliau berkata: "Jauhnya mungkin antara tujuh puluh satu hinga
tujuh puluh tiga tahun. Langit yang ada di atasnya juga begitu." Sampai
langit yang ketujuh. Kemudian beliau bersabda: "Di atas langit ketujuh ada
laut, yang antara bagian bawah dan atasnya seperti jarak antara satu langit
dengan langit lainnya. Di atasnya ada binatang-binatang yang jarak antara
kuku-kukunya dengan lututnya seperti jarak antara satu langit dengan langit
lainnya. Di atas punggung binatang-binatang itu ada Arasy, yang jarak antara
bagian bawah dan bagian atasnya adalah sejauh antara langit dan bumi, dan Allah
ada di atasnya. "[31]
Hadis ini
mengandung makna yang munkar, karena bertentangan dengan al-Qur'an, yang
menjelaskan bahwa penyangga Arasy adalah malaikat-malaikat yang memiliki sayap.
Sedang riwayat ini menjelaskan bahwa penyangganya adalah binatang-binatang yang
memiliki kuku. Allah Ta'ala berfirman:
"Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap,
masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu." (QS. Fathir: 1).[32]
Hadis ini juga mencirikan penyangga
Arasy sebagai “tais” (secara verbal berarti kambing liar atau kambing hutan),
padahal istilah ini digunakan untuk penghinaan. Dari sisi lain, hadis ini juga
memberikan sifat “di atas” kepada Allah swt. Makna tersebut tidak sejalan
dengan al-Qur’an yang menyebutkan:
والله فوق
ذالك
(Jadi tidak ada
ungkapan secara tegas bahwa Allah ada di Arasy).
b.
Riwayat
tentang kenabian
روى
الطبراني ، من طريق أبي عقيل الثقفي ، حديث (ما مات رسول الله علت حتى قرأ وكتب)،
ثم قال: (هذا حديث منكر ، وأبو عقیل ضعيف الحديث ، وهذا معارض الكتاب الله عز وجل)[33]
Hadis ini
menyebutkan bahwa Rasulullah mampu membaca dan menulis sebelum beliau wafat.
Ini dianggap munkar karena bertentangan dengan al-Qur’an. surat al-Ankabut ayat
48:
«وما كنت تتلوا من قبله من كتاب ولا تخطه بيمينك ، اذا لارتاب
المبطلون»
“Dan
kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu
tidak (pernah) mebulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu
pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.
c.
Riwayat
tentang tafsir
روى البخاري من طريق نافع ، عن ابن عمر
، ومن طريق ابن شهاب الزهري، عن عبيد الله بن عبد الله، عن ابن عباس، عن عمر بن
الخطاب ، أن عبد الله بن أبي ابن سلول - وهو منافق معروف -، لما توفي جاء ابنه عبد
الله بن عبد الله بن أبي"، إلى رسول الله ﷺ، وهو من فضلاء الصحابة ، فسأله أن
يعطيه قميصه يكفن فيه اباه، فأعطاه، ثم سأله أن يصلي عليه ، فقام رسول الله ﷺ،
فقام عمر ، فأخذ بثوب رسول الله ﷺ، فقال: يا رسول الله : أتصلي عليه وقد قال يوم
كذا كذا وكذا؟
يشير بذلك الى مثل قوله «لا تنفقوا على
من عند رسول الله حتى ينفضوا»، والى مثل قوله «ليخرجن الأعز منها الأذل»
فقال رسول الله ﷺ: (انما خيرني الله
فقال «استغفر لهم أولا تستغفر لهم، أن تستغفر لهم سبعين مرة فلن يغفر الله لهم ،
وسأزيده على سبعين)، فصلى عليه رسول الله ، وصلى معه الناس، ثم انصرف ، فلم مکث
الا يسيرا حتى نزل قوله تعالى: «ولا تصل على أحد منهم مات أبدا، ولا تقم على قبره،
انهم كفروا بالله ورسوله ، وماتوا وهم فاسقون» . قال عمر : فعجبت بعد من جرأتي على
رسول الله ﷺ، والله ورسوله أعلم.[34]
Menurut riwayat
itu, Rasulullah saw. telah mengalami kesulitan memahami makna takhyir
(alternasi) dari firman Allah swt: "Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau
tidak kamu memohonkan ampun Dimereka." Padahal sudah jelas bahwa yang
dimaksud bukanlah menyuruh memilih antara memohonkan ampun bagi mereka atau
tidak memohonkan ampun bagi mereka. Tapi yang dimaksud adalah pemberitahuan
Allah swt bahwa Dia tidak akan mengampuni mereka, meskipun Engkau (Muhammad)
memperbanyak permohonan ampun, sampai tujuh puluh kali sekalipun. Dan yang
dimaksud adalah hitungan banyak, bukan jumlah tujuh puluh itu sendiri. Sehingga
tidak ada pemahaman terbaliknya (mafhum mukhalafahnya). Yakni bahkan meski
lebih dari tujuh puluh kali sekalipun, berdasarkan kelengkapan ayat itu:
"Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun
Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Sesungguhnya mereka
telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik." Bagaimana makna ayat ini bisa menjadi kabur bagi Nabi saw yang
memiliki tingkat kefasihan tertinggi dalam berbahasa? Karena itu, sebagian
ulama menolak hadis itu dan mencacat keshahihannya, meski ada di dalam Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Al-Qadli Abu
Bakar al-Baqillani mengatakan hadis ini tidak boleh diterima dan tidak benar
Rasulullah saw menyabdakannya. Ia juga mengatakan, hadis ini termasuk hadis
ahad yang tidak diketahui kebenarannya. Maksudnya, hadis ahad karena tidak
mencapai derajat mutawatir, statusnya dhanni dilihat dari segi wurud-nya,
sehingga harus ditolak jika bertentangan dengan prinsip dasar, seperti yang
terjadi berkenaan dengan hadis ini.
Al-Ustadz
Muhamamd Rasyid Ridla telah menganalisis pendapat ulama tentang hadis ini. Ia
berkata: "Yang benar adalah bahwa hadis ini bertentangan dengan kedua ayat
di atas. Mereka yang lebih menekuni pokok-pokok agama dan dalil-dalilnya yang
qath'i dibanding dalil-dalil yang dhanni, tidak menemukan apa yang dapat
digunakan untuk menjawab kontradiksi hadis ini. Mereka ini tidak ada pilihan
kecuali menilai tidak shahih hadis tersebut, meskipun dari sudut matannya. Yang
berada di baris terdepan di antara mereka itu adalah al-Qadli Abu Bakar
al-Baqillani, Imam al-Haramain al-Ghazali dan disetujui oleh al-Darawardi,
salah seorang pensyarah al-Bukhari. Adapun mereka yang lebih menekuni sanad
dibanding matan dan cabang-cabang dibanding pokok-pokok, maka mereka akan
memaksa diri menyatakan apa yang isinya telah saya rangkumkan dari tokoh mereka
yang paling hafidh." Maksudnya Ibn Hajar al-Asqalani.[35]
Dalam
hadis-hadis dla’if yang berkenaan dengan tafsir, banyak sekali isi yang
bertentangan dengan al-Qur'an, baik secara verbal maupun spiritnya saja. Dan
hal ini memerlukan penelitian tersendiri yang cukup luas dan dalam.
d.
Riwayat
tentang balasan dan akhirat
Sebuah hadis
yang menyatakan kematian menjadi penebus dosa bagi setiap muslim:
«الموت كفارة لكل مسلم»، رواه البيهقي في شعب الايمان، وصححه أبو
بكر ابن العربي، وقال الحافظ العراقي في أماليه انه ورد من طرق يبلغ بها رتبة
الحسن.
"Kematian
adalah penebus dosa bagi setiap muslim." Hadis ini diriwayatkan oleh
al-Baihaqi di dalam Syu'ab Liman, dinilai shahih oleh Abu Bakar ibn al-Arabi.
Al-Hafidh al-Iraqi di dalam al-Amali-nya mengatakan bahwa hadis itu datang dari
berbagai jalur yang mencapai tingkat hasan.
Ibn Hajar
mengatakan bahwa dengan adanya jalur-jalur itu, hadis tersebut tidak layak
untuk dinilai palsu. Hanya saja, ia mencatat ketidakmungkinan memahami hadis
secara literal. Bagaimana mungkin kematian menjadi penebus dosa bagi setiap
muslim? Padahal di dalam kaum muslimin ada orang yang melakukan dosa yang
dijelaskan oleh al-Qur'an siksanya adalah neraka Jahannam? Jika kematian
menjadi penebus dosa bagi setiap muslim, niscaya siksa itu tidak ada gunanya?
Karena itulah, Ibn Hajar kemudian mentakwilkan hadis itu dengan menyatakan yang
dimaksud adalah kematian tertentu, seandainya hadis itu shahih.
Masuknya
sebagian muslim ke dalam Jahannam ditegaskan sendiri oleh ayat-ayat al-Qur'an
dan dijelaskan pula oleh hadis-hadis Nabi saw. Ulama juga sepakat mengenai hal
itu. Sehingga apa yang bertentangan dengannya harus ditolak. Sedang Ibn
al-Jauzi menilai hadis itu palsu, dengan menyebut sanad-sanadnya dan
menjelaskan kelemahan-kelemahan yang ada di dalam sanad-sanad itu. Al-Shaghani
juga menilainya palsu, sebagaimana dikutip oleh al-Sakhawi.[36]
a.
Syarat-syarat
menolak riwayat karena bertentangan dengan Hadis
Jika
kita hendak menolak sebuah riwayat yang marfu’ kepada Nabi saw karena
berttentangan dengan hadis lain, maka harus memenuhi dua syarat:
1)
Tidak
ada kemungkinan memadukan (al-jam’u).jika dimungkinkan pemaduan di antara
keduanya dengan tanpa memaksakan diri, maka tidak perlu menolak salah satunya.
Jika di antara keduanya terjadi pertentangan yang tidak mungkin dipadukan, maka
harus di-tarjih.
2)
Hadis
yang dijadikan sebagai dasar untuk menolak hadis lain yang bertentangan
haruslah berstatus mutawatir.[37]
Landasan syarat
ini adalah penilaian derajat keshahihan berkenaan dengan yang ditolak dan
dijadikan alasan menolak. Sebab telah maklum bahwa yang mutawatir adalah qath’I
al-wurud, sedang yang tidak mutawatir dhanni al-wurud.
b.
Riwayat
yang berkaitan dengan adab
روى
ابن الجوزي في الموضوعات، عن أبي هريرة قال: نهی رسول الله ﷺ عن أن يقطع الخبز
بالسكين، وقال: «أكرموه، فإن الله عز وجل قد أكرمه، وروي كذلك عن عائشة عن النبي ﷺ
قال: «لا تقطعوا اللحم بالسكين، فإن ذلك من صنع الأعاجم». واسنادهما واهیان .
Ibn
al-Jauzi meriwayatkan di dalam al-Maudlu’at, dari Abu Hurairah, katanya,
Rasulullah saw. melarang roti dipotong dengan pisau, dan bersabda:
"Muliakanlah roti itu, karena Allah Azza Wa Jalla telah
memuliakannya." Ia juga meriwayatkan dari Aisyah dari Nabi saw., beliau
bersabda: "Jangan memotong daging dengan pisau, karena hal itu merupakan
tindakan orangorang non-Arab." Sanad kedua riwayat ini lemah.
Namun Imam
Ahmad mengatakan bahwa hadis itu tidak shahih dengan dalil bahwa Nabi saw.
memotong daging kambing dengan pisau. Ibn al-Jauzi mengakui dan mengutip
pernyataan ini setelah riwayat di atas. Juga Ibn al-Qayyim di dalam al-Manar
al-Munif.[38]
c.
Riwayat
tentang kiamat dan akhirat
روي البخاري عن أنس، أن غلامًا
للمغيرة، من أقران أنس، مر عند النبي ﷺ، فقال : «ان أخر هذا فلم يدركه الهرم حتى
تقوم الساعة »
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Anas, bahwa pelayankecil al-Mughirah, orang segenerasi dengan
Anas, lewat di dekat Nabi saw. Lalu beliau bersabda: “Jika anak ini diberi usia
Panjang, maka dia belum sampai pikun kecuali akan dating kiamat”
Hadis ini jelas
janggal, karena secara verbal menunjukkan bahwa kiamat akan terjadi selang
beberapa saat setelah Nabi saw wafat, yakni sewaktu anak itu mendekati usia
pikun.
Yang benar
adalah sebagai berikut:
رواه البخاري ومسلم، عن عائشة، أن
رجالا من الأعراب جفاة، كانوا يأتون النبي ﷺ، فيسألونه: متى الساعة ؟. فكان ينظر
الى أصغرهم فيقول: «ان يعش هذا لا يدركه الهرم حتى تقوم عليكم ساعتكم »
diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah, bahwa beberapa orang pedalaman datang
kepada Nabi saw., lalu bertanya: "Kapan kiamat tiba?" Lalu beliau
melihat yang termuda di antara mereka seraya bersabda: "Jika anak ini
masih hidup, maka tidak akan menemukan usia pikun kecuali kiamat kalian akan
tiba."
Hisyam
ibn Urwah, periwayat hadis itu dari ayahnya dari Aisyah, menafsirkan dengan
kematian mereka. Jadi mereka menanyakan kiamat dalam arti hari kiamat, tetapi
Nabi saw, membelokkan pertannyaan itu. Karena tidak ada yang mengetahui
waktunya kecuali Allah swt. Di samping itu tidak ada manfaat menanyakan batas
waktu kiamat. Beliau kemudian membelokkan pertanyaan itu kepada kiamat dalam
arti masa kehancuran mereka. Jika mereka masih diberi umur panjang, maka sebelum
anak itu memasuki usia pikun mereka telah ditimpa kehancuran atau kematian.
d.
Riwayat
tentang hadis-hadis hukum
روي
مسلم عن رافع بن خديج قال: سمعت النبي ﷺ يقول: «شر الكسب مهر البغي، وثمن الكلب،
وكسب الحجام». وفي رواية: «ثمن الكلب خبيث، ومهر البغي خبيث، وكسب الحجام خبيث».
Imam
Muslim meriwayatkan dari Rafi' ibn Khadij, katanya: Nabi saw bersabda:
"Pekerjaan paling buruk adalah mahar pelacuran, harga anjing dan profesi
bekam." Riwayat lain menyebutkan: "Harga anjing adalah buruk, mahar
pelacuran adalah buruk dan pekerjaan membekam adalah buruk. "[39]
Al-Nasa'i
meriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: Rasulullah saw. melarang pekerjaan
bekam, (harga jual-beli) anjing dan pelacuran. juga ada riwayat-riwayat lain
yang menyebutkan larangan bekerja sebagai tukang bekam. Dan jika terpaksa,
hendaklah bekerja sebagai pemberi makan ternak. Riwayat-riwayat itu jelas
merendahkan profesi bekam, padahal ia merupakan jenis pekerjaan dan Islam
sendiri memerintahkan untuk bekerja. Bahkan bekam termasuk salah satu jenis
pengobatan tradisional (al-thibb). Yang bertentangan dengan hadis:
روي أبو داود عن أبي هريرة، أن رسول
الله ﷺ قال: «ان كان في شيء مما تداويتم به خير فالحجامة».
Abu
Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Jika
kalian memerlukan pengobatan yang baik, maka ia adalah bekam."
e.
Riwayat
yang bertentangan dengan keteragan baku dari sirah nabawiyah
Banyak
sekali hal-hal dalam sirah nabawiyah yang telah baku karena memiliki banyak
jalur dan sejalan dengan hadis-hadis nabawi. Jika ada riwayat yang termasuk
hadis nabawi bertentangan dengan sesuatu yang telah baku di dalam sirah, maka
hal ini menjadi indikator kepalsuan riwayat.
روي البخاري، عن شريك بن عبد الله، أنه
سمع ابن مالك، يحدث عن اللية التي أسري فيها برسول االله ﷺ، فقال انه جاءه ثلاثة نفر،
قبل أن يوحي إليه، ... وسرد قصة الاسراء
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Syuraik ibn Abdillah, bahwa ia mendengar Ibn Malik bercerita
tentang malam di mana Rasulullah saw. diisra'kan. Ia mengatakan bahwa telah
datang tiga kelompok, sebelum beliau diberi wahyu ... dan ia menceritakan kisah
Isra' selengkapnya.
Tidak
ragu lagi bahwa riwayat syurik mengalami kesalahan. Imam Muslim mengatakan
bahwa ia seharusnya mendahulukan yang seharusnya diakhir dan mengakhirkan yang
seharusnya di awal, mengurangi dan menambah. Pernyataan itu merupakan isyarat
dahwa di dalamnya terjadi banyak kesalahan, dan diakuipula oleh pensyarahnya.
Dan kesalahan yang paling jelas adalah perkataan “sebelum beliau diberi wahyu”.[40]
Setiap
riwayat yang bertentangn dengan hadis yang telah diakui shahih dari Rasulullah
saw, adakalanya mutawatir dan adakalanya disertai sejumlah indikator yang
menghilangkan keraguan, maka riwayat itu dianggap tertolak. Demikian pula jika
riwayat itu bertentangan dengan apa yang telah baku di dalam sirah nabawiyah
yang mulia.
Diperhitungkan
pula ketidak mungkinan memadukan antara keduanya dengan takwil yang wajar.
Adapun jika pemaduan di antara keduanya memerlukan takwil yang jauh danterlalu
dipaksakan, maka yang lebih baik adalah tidak menggunakan takwil-takwil seperti
itu.
a.
Riwayat
yang bertentangn dengan akal
روی ابن الجوزي في « الموضوعات » عن
معاذ بن جبل، أن النبي ﷺ لما بعثه الى اليمن قال له : « انك تأتي قوما أهل كتاب ،
فإن سألوك عن المجرة فأخبرهم أنها من عرق الأفعى التي تحت العرش ».[41]
Ibnu
al-Jauzi meriwayatkan dalam kitab al-Maudlu’at dari Muadz ibn Jabal,
Sesungguhnya Nabi saw ketika mengutusnya ke Yaman bersabda kepadanya: “Engkau
mendatangi kaum Ahli Kitab, maka jika mereka bertanya kepadamutentang galaksi,
maka katakanlah bahwa ia berasal dari keringat ular yang berada di bawah
Arasy”.[42]
Keberadaan galaksi berasal dari keringat
ular, dan ular tersebut berada di bawah Arasy itu semua tidak dibenarkan akal.
Ibnu al-Qayyim juga menghukumi batil hadis ini, dan berdalil bahwa itu bukan
dari sabda Rasulullah.
b.
Riwayat
yang bertentangn dengan indera
Ibnu
Majah meriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Manusia yang
paling bodoh adalah tukang-tukang celupdan tukang-tukang susun”
Riwayat ini
bertentangan dengan indera (kenyataan), karena tidak seorangpun dapat
membuktikan bahwa pelaku pekerjaan ini lebih bohong dari pelaku pekerjaan itu.
Apa yang ditemukan dalam suatu lingkungan mungkin tidak ditemukan di lingkungan
lain Rasulullah tidak pernah mencela pekerjaan apapun.[44]
c.
Riwayat
yang bertentangn dengan sejarah
Tidak benar
bahwa hadis yang berselisih dengan sejarah menjadi tertolak, karena sejarang
yang dimaksud itu haruslah sejarah yang dapat dipastikan kebenarannya. Hadis
yang ditolak adalah hadis ahad yang bertentangan dengan sejarah, karena hadis
ahad memilik posisi yang nisbi, maka tidak boleh bertentangan dengan sesuatu
yang eksistensinya pasti atau mendekati kepastian.
Diriwayatkan
dari Nabi saw: “Tidak ada seorang nabi diutus kecuali setelah berumur empat
puluh tahun”.
Ibn al-Jazuli
menghukumi hadis ini palsu, karena menurut sejarahnya Nabi Isa as diutus dan
diangkat ke langit dalam usia tiga puluh tiga tahun.[46]
Sulit memang
bagi ulama hadis untuk menentukan perkataan mana yang tidak seperti perkataan
kenabian, tetapi yang terpenting adalah perkataan yang menandung keserampangan,
atau makna-makna yang rendah atau ungkapan tentang istilah-istilah yang dating
kemudian.
a.
Riwayat
yang mengandung keserampangan
Hadis-hadis
Nabawi memang memperingatkan kita dari dosa, agar manusia menjauhinya, tetapi sebagian riwayat sangat
keterlaluan dalam memberikan peringatan, sehingga memberi justifikasi bagi kita
untuk menghukumi palsu hadis-hadis seperti itu.
Contohnya,
peringatan dari riba:
روي ابن ماجه، عن ابن هريرة، ان رسول
الله ﷺ قال: «الربا سبعون حوبا، ايسرها ان ينكح الرجل امه»
Ibnu
Majah meriwayatkan dai Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Riba
adalah tujuh jenis dosa, yang teringan adlaah dosa seseorang menikahi ibunya”
Hadis ini jelas
mengandung unsur terlalu berlebihan dalam memberiperingatan. Seandainya riba
termasuk salah satu dosa dosa besar san seandainya Allah swt mengizinkan
memerangi pemakan riba, maka haruskah dosa terendah adalah seperti dosa
menikahi ibunya?.[47]
b.
Hadis
yang mengandung makna yang rendah
Jika ada riwayat mengandung makna yang rendah, maka hal ini
menunjukkan ketidak shahihan penisbatannya terhadap Nabi saw. Ibnu Qayyim
menjadikan hal ini sebagai bukti kalua riwayat itu palsu. Contohnya adalah:
Di
antaranya adalah: “Kasihanilah orang besar yang jatuh hina, dan orang kaya yang
jatuh miskin, dan alim yang dipermainkan anak-anak”.
Begitu pula hadis yang mencela tukang tenun ,
tukang sepatu, pengrajin emas (artinya kerajinan-kerajinan yang mubah), maka
hal itu mendustakan atas nama Rasulullah saw, Karena Rasulullah tidak mencela
usaha-usaha mubah.
Yang dimaksud
dengan rendah di sini adalah rendah maknanya, adapun rendah dalam kata makana
tidak cukup sebagi bukti untuk menghukumi palsu sebuah riwayat, karena mungkin
seorang riwayat meriwayatkan hadis dengan makna saja, dan mengungkapkannya
denag kata-kata yang rendah dari dirinya sendiri, tetapi harus diterangkan
tentang kerendahan kata-kata itu supaya tidak dinisbatkan kepada Rasul.
c.
Hadis
yang lebih menyerupai perkataan ulama khalaf
Seorang
peneliti akan menemukan dalam riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada
Rasulullah saw., sebagian istilah yang lebih menyerupai perkataan parta ahli
fiqh (fuqaha), atau ahli aliran aliran dan agama (ahl al-madzahib wa al-nihal),
atau istilah-istilah kurun terakhir Islam yang merupakan kurun setelah kenabian.
Biasanya yang
menyebabkan hal itu terjadi adalah fanatisme yang bersarang dan menguasai
sebagian jiwa. Maka di samping loyalitasnya pada al-Qur'an dan Sunnah ia juga
loyal kepada fanatisme kelompok atau aliran tertentu, sehingga mendorongnya
untuk memalsukan hadis, untuk menopang alirannya atau untuk menyerang kelompok
musuhnya.
1)
Hadis
maudlu’ tentang pembelaan aliran teologis, seperti hadis di bawah ini yang
meriwayatkan mengenai hakekat iman:
رواه ابن الجوزي، عن
علي الرضا ، عن أبيه موسى الكاظم ، عن أبيه جعفر الصادق ، عن أبيه محمد الباقر ،
عن أبيه علي زين العابدين ، عن أبيه الحسين السبطر ، عن أبيه علي ابن أبي طالب ،
قال : قال رسول الله : « الإيمان معرفة بالقلب ، وقول باللسان، وعمل بالأركان».
Hadis tersebut
menjelaskan bahwa Nabi bersabda: “Iman adalah mengetahui dengan hati, dan
ucapan dan lisan, dan beramal dengan semua anggota”. Salah seorang pemalsu
hadis meriwayatkan hadis yang marfu’, bahwa nabi bersabda: “iman adalah
perkataan dan perbuatan”. Hadis ini dibuat untuk menguatkan pendapat yang
mengatakan iman adalah mengetahui dengan hati dan amal, dan amal saleh adalah
bagian dari iman.[49]
2)
Hadis
Maudlu’ tentang pembelaan madzhab fiqh untuk memperkuat dalil, istimbath dan
teori-teori masing-masing madzhab, contohnya:
ومن الموضوع لنصرة
بعض المذاهب، ماروي عن ابن عباس، أن العشرة الميشرين بالجنة، ما كانوا يرفعون
أيديهم، إلا لافتتاح الصلاة.
Apa yang
diriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa sepuluh orang yang diberi kabar gembira
dengan surga tidak pernah mengangkat tangan mereka (dalam sholat) kecuali dalam
permulaan sholat. Artinya mereka tidak mengangkat tangan ketika ruku’, dan
bangun dari ruku’. Ini bertentangan dengan apa yang dating secara shahih dari
Nabi saw, dan bertentangan dengan apa yang dating dari mereka secara shahih.
Hadis ini dipalsukan untuk menguatkan madzhab orang yang berpendapat tidak
perlu mengangkat tangan dalam shalat kecuali ketika pembukaan shalat.[50]
F.
Apresiasi dan Kritik
Dalam kitabnya al-Idlabi yaitu Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama
al-Hadits al-Nabawi memuat berbagai macam hadis. Dan setiap pembagian
hadis-hadis al-Idlabi memberikan contoh hadis dengan jelas beserta dengan
penjelasan maupun penafsiran hadis yang benar. Tidak hanya contoh yang benar
saja dicantumkan, beliau juga mencantumkan contoh hadis yang salah. Sehingga
pembaca mudah mengkomparasikan jika ada kesalahan dalam hadis tersebut.
Menurut al-Idlabi dalam melakukan penelitian otentitas redaksi
matan, terdapat kesulitan- kesulitan yang dialami yaitu; Pertama,
Minimnya literatur dan metodologi dalam objek studi kritik matan ini. Kedua,
Terurainya pembahasan mengenai kritik matan, seperti sulitnya menemukan
literatur Hadis, atau jenis tertentu, seperti pembahasan hadis, mursal, atau
hasan, Ketiga, Salah satu yang membuat dilema adalah adanya penerapan
metode yang mengakibatkan penilaian da’îf terhadap beberapa redaksi hadis, yang
telah dilakukan oleh Ulama hadis, namun setelah diteliti berstatus sahih,
khususnya mereka yang hanya melihat sepintas, tanpa meneliti secara cermat
redaksi matannya.
Kritik terhadap kitab Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits
al-Nabawi karya al-Adlabi dari peneliti adalah tidak adanya deskripsi dari
macam-macam hadis. Sehingga bagi pelajar ilmu hadis pemula kesulitan untuk
memahami. Sebaiknya kitab ini baik untuk dipelajari oleh tingkatan menengah ke
atas, yang sebelumnya telah memiliki modal dasar-dasar ilmu hadis
A.
Kesimpulan
Isu sentral yang diangkat dalam bukunya al-Idlabi ada empat
kriteria dalam mempraktikkan kritik matan. Pertama, matan yang
bersangkutan tidak bertentangan dengan Alquran. Kedua, tidak
bertentangan dengan dengan hadis dan Sîrah Nabawiyah yang telah diterima secara
luas kebenarannya. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal, indra dan
sejarah. Keempat, mirip dengan sabda kenabian. Hal tesebut bertujuan
agar orang tidak dengan mudah membuang suatu hadis hanya karena bertentangan
dengan Alquran, hadis, Sirah Nabawiyah, akal, indra atau sejarah, tetapi
penilaian bertentangan itu belum melalui penilaian yang cermat.
Ada beberapa urgensi dalam melakukan Studi Kritik Matan, yaitu; Pertama,
menghindari sikap sembrono dan berlebihan dalam meriwayatkan suatu hadis,
karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan ini. Secara
praktis, meneliti secara obyektif dan cermat terhadap matan hadis, serta
mencocokkannya dengan kaidah-kaidah yang telah dikonsepsikan oleh spesialis
hadis, merupakan hal yang mutlak diperlukan. Tanpa hal itu, dikhawatirkan kita
dapat terjerumus ke dalam salah satu dari dua jurang yang sama-sama berbahaya,
yaitu sikap sembrono (terlalu longgar dalam meriwayatkan hadis) dan berlebihan
(terlalu ketat dalam meriwayatkan sadis). Kedua, Menghadapi kemungkinan
adanya kesalahan pada diri seorang periwayat. Ketiga, Menghadapi
musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis, dengan menggunakan sanad sahih, namun
matanya tidak sahih. Keempat, Menghadapi kemungkinan adanya kontradiksi
(ikhtilaf).
‘Ajjaj,
Muhammad al-Khatib. al-Sunnahal-Tadwin. Terj. Al-Lahab Akram Fahmi. Hadis
Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: Gema Ihsani. 1999.
‘Itr,
Nuruddin. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio.
Bandung: Remaja Rosda karya. 1994.
al-Adlabi, Salahudin Ibn Ahmad. Manhaj
Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi. Beirut: Darul al-Afaq
al-Jadid. 1983.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Silsilah
Hadis Dha’if dan Maudhu’. Jakarta: Gema Insani. 1994. Jilid I.
al-Hajjaj, Muslim bin. Shahih Muslim. Riyadh:
Dar al Mughni. 1998.
Al-Qur’an.
Al-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa. Sunan
Tirmidzi. Bairut: Daar al-Gharb al-Islami. 1998. Juz XII.
Amin, Kamaruddin. Menguji
Kembali. Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: Penerbit Hikmah. 2009.
An-nur,
Achmad Siddiq. Hadis Palsu dan sejarah munculnya. (http://arsitekhijrah.blogspot.co.id//2012/03/hadis-palsu-dan-sejarah-munculnya.html).Diakses
pada hari Seni 11 Maret 2019.
Asshobagh, Muhammad. Al-hadis an-Nabawy
Mushtholahuhu-Balaghotuhu-Kutubuhu. Tt.
asshubagh,
Muhammad bin Luthfi. al-hadis an-Nabawy Mushtholahuhu-Balaghotuhu. Bairut. Tt.
Daud, Abu. Sunan Abu Daud.
Bairut: Dar Al-Kitab Al-Arobi. TT. Juz 4.
Ismail,
Muhammad Syuhuda. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Jauzi, Ibnu. al-Maudluat. Beirut:
Darul Kutub Ilmiyah. Juz I.
Kahhalah,
ʻUmar Rida. Mujam Al-Muallifin, Tarajim Muṣannifi Al-Kutub Al-Arabiyah.
Dimashq: al-Maktabah al-Arabiyah.
Kamil, Sukron. Naqd Al-Hadis. terj. Metode
Kritik Sanad dan Matan Hadis. Pusat Penelitian Islam Al-Huda. 2000.
Maswara,
Husen. Kritik Matan Hadis Di Kalangan Sahabat. Ambon: Tahkim Fak Syariah.
2013.
Nasution, Ismail. Takhrij
Hadis-hadis Tentang Keutamaan Keluarga Nabi Muhammad saw. Tesis MA. Medan:
UIN Sumatera Utara. 2016.
Ritonga,
Ahmadi. KontribusiPemikiran Salah Ad-din Ibn Ahmad Al-adlabi dalam metode
kritik matan hadis. Attauhid: Jurnal of Hadith Studies. 2017.
Al Kirmani. Shohih al-Bukhori.
Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr
Sohrah. Etika Makan dan Minum
dalam Pandangan Syariah. Al-Daulah. 5. Juni 2016.
Yasin, Moh. Hadis Tentang Hasil Pekerjaan
Khabith. Studi Hadis Abu Dawud. Undergraduate thesis. Surabaya: UIN Sunan
Ampel. 2011.
[1] Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnahal-Tadwin, Terj. Al-Lahab Akram Fahmi, Hadis
Nabi Sebelum Dibukukan, (Jakarta: Gema Ihsani, 1999), hlm. 226
[2] Shalahudi Ibn
Ahmad al-Idlibi, Metodologi Kritik Matan Hadis, Terj. Muhammad Qadirun
Nur, et, al. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 46
[3] Shalahudi Ibn
Ahmad al-Idlibi, Metodologi Kritik, hlm. 4
[4] Ahmadi
Ritonga, KontribusiPemikiran Salah Ad-din Ibn Ahmad Al-Idlibi dalam metode
kritik matan hadis, (Attauhid: Jurnal of Hadith Studies, 2017), hlm. 3
[5] Universitas
Al-Qarawin (Jami’ah Al-Qarawin) adalah perguruan tinggi yang berada di Kota
Fez, Maroko yang didirikan pada tahun 895 M
[6] Ahmadi
Ritonga, Kontribusi Pemikiran Salah Ad-din, hlm. 4
[7] Shalahudi Ibn
Ahmad al-Idlibi, Metodologi Kritik, hlm. 46
[8] Muhammad
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),H. 73-74
[9] Ahmadi
Ritonga, Kontribusi Pemikiran Salah Ad-din, hlm. 2 & 16
[14] Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim,
(Riyadh: Dar al Mughni, 1998), hlm. 486.
[17] Beliau adalah
Al-Hafidz Ahmad Ibn Husain Ibn Ibn Ali, al-Baihaiy, Abu Bakar, Muhadis, Faqih,
beliau juga pengikut Syafi’I, lihat Mu’jam Mu’allifin, hlm. 206
[18] Achmad Siddiq
An-nur. Hadis Palsu dan sejarah munculnya
.(http://arsitekhijrah.blogspot.co.id//2012/03/hadis-palsu-dan-sejarah-munculnya.html).Diakses
pada hari Seni 11 Maret 2019.
[19] Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj.
Mujio. Bandung: Remaja Rosda karya. 1994. hlm. 38-41
[21] Husen Maswara,
Kritik Matan Hadis Di Kalangan Sahabat, (Ambon: Tahkim Fak Syariah
2013), hlm. 147
[22] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode
Kritik Sanad dan Matan Hadis, (Pusat Penelitian Islam Al-Huda), 2000, h .
34.
[24] Beliau adalah Fatimah binti Qais ibn Khalid al-Qurasyiyyah al-Fihriyyah,
saudari Adh-Dhahhak ibn Qais, dan termasuk wanita-wanita yang berhijrah
mula-mula. Beliau perna menjadi istri Abu Bakar ibn Hafsh, tetapi kemudian
diceraikan. Lalu Nabi saw. berpesan kepadanya: Berʻiddahlah di sisi Ummi
Syuraik. Kemudian beliau menyuruh ber'iddah di sisi Ibn Ummi Maktum. Lalu
sewaktu is tertimpa sesuatu yang kurang baik, Nabi saw, memberi petunjuk untuk
bersama Usamah Ibn Zaid. Di rumahnyalah Ahl asy-Syura berkumpul, sewaktu Umar
terbunuh. Dialah yang menceritakan kisah "al-jasasah" secara panjang
lebar, bahkan tidak ada yang meriwayatkan sepanjang yang diriwayatkan.
Asy-Sya'biy meriwayatkan kisah itu darinya, sewaktu ia tiba di Kufah bersama
saudaranya. Asy-Sya'biy waktu itu menjad amir di sana. Ibn Hajar memauqufkan
sebagian kisah itu kepada Jabir dan yang lain (Lihat al-Ishabah, juz VIII, hal.
69).
[25] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis,
terj. Hlm. 150
[26] Abu Daud,
Sunan Abu Daud, (Bairut: Dar Al-Kitab Al-Arobi,TT), Juz 4, 131
[27] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi,
229
[28] Ibnu Jauzi, al-Maudluat,
(Beirut: Darul Kutub Ilmiyah), Juz I, 257
[29] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 208
[30] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 209
[31] Al-Tirmidzi,
Muhammad ibn Isa, Sunan Tirmidzi, (Bairut: Daar al-Gharb al-Islami,
1998), Juz XII, 182
[32] Al-Qur’an, 35:
1.
[33] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Hadis Dha’if dan Maudhu’ (Jakarta: Gema
Insani, 1994), Jilid I, 196
[34] Al Kirmani, Shohih
al-Bukhori, Juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr) 403-409
[35] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 227
[36] Kamaruddin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit
Hikmah, 2009), 253
[37] Ismail
Nasution, Takhrij Hadis-hadis Tentang Keutamaan Keluarga Nabi Muhammad saw,
Tesis MA, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2016), 56
[38] Sohrah, Etika
Makan dan Minum dalam Pandangan Syariah, Al-Daulah, 5 (Juni 2016), 26
[39] Moh Yasin, Hadis
Tentang Hasil Pekerjaan Khabith (Studi Hadis Abu Dawud no. indek 3417),
Undergraduate thesis, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2011), 71
[40] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 249
[41] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi,
308
[42] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 258
[43] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi,
315
[44] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 260
[45] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi,
320
[46] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 268
[47] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 270-273
[48] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘indi Ulama al-Hadits al-Nabawi,
339
[49] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 280
[50] Salahudin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 280-284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar