A.
Latar Belakang
Fenomena ziarah kubur tidak terkait langsung dengan al-Qur’an dan
pelaksanaannya demikian khas sehingga orang yang menentangnya tidak kekurangan alasan untuk mencapainya sebagai perilaku yang menyimpang atau
bahkan syirik. Praktiknya juga
sering spektakuler, terutama pada perayaan-perayaan besar, bila kerumunan besar
peziarah memperagakan imannya dengan emosi yang meluap sehingga mengganggu
mereka yang lebih bersikap spiritual ataupun rasional. Akhirnya fenomena
tersebut sering kali mewarisi praktik agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat
serta ritus-ritusnya. Singkatnya, fenomena itu dapat saja dicap kurang murni
dari sudut akidah, bahkan kurang serius, sehingga umumnya paling-paling
ditolerir sebagai sarana yang dibutuhkan umat yang goyah imannya, agar dapat
mengamalkan dan memperkuat iman.
Ziarah kubur ke makam para wali atau kerabat biasa, mempunyai tradisi yang
berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Perdebatan tentang tradisi ini bergaung jauh dalam sejarah, perilaku
keagamaan itu dikecam dengan gigih sebagai praktek syirik. Ada juga sebagian ulama’ yang memperbolehkan dengan tujan untuk
mengingatkan umat Muslim datangnya akhirat kelak. Adapula yang menganggap
sunnah dengan niatan amal shalih dan dakwah. Bahkan beberapa juga menganggap
bahwa tradisi ziarah kubur merupakan perbuatan bid’ah, dan hukumannya adalah
siksa neraka.
Oleh sebab itu, makalah ini akan memaparkan
beberapa pandangan tradisi ziarah kubur menggunakan pandangan fenomenologi
antara kubu yang melarang dan memperbolehkan dengan judul “Pro-Kontra Tradisi
Ziarah Kubur: Prespektirf Masyarakat Muslim”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar pendahuluan di
atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan tradisi ziarah kubur?
2.
Bagaimana
pro-kontra tradisi ziarah kubur perspektif masyarakat muslim?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk:
1.
Untuk
mengetahui tradisi ziarah kubur
2.
Untuk
mengetahui pro-kontra tradisi ziarah kubur perspektif masyarakat muslim
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Tradisi Ziarah Kubur
1.
Pengertian Tradisi
Kata tradisi berasal dari kata bahasa Indonesia yang berarti adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di
masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan
yang paling baik dan benar.[1]
Sedangkan dalam bahasa latin, kata tradisi sering dikenal dengan
traditio yang berarti diteruskan atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling
sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi
adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis
maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[2]
2.
Pengertian Ziarah Kubur
Kalimat ziarah kubur sangat dikenal oleh masyarakat. Kata “Ziarah Kubur” terdiri dari 2 kata,
yaitu ziarah dan kubur. Ziarah berasal dari bahasa Indonesia yang berarti
kunjungan ke tempat yang dianggap keramat (atau mulia, makam, dsb). Sedangkan
berziarah adalah berkunjung ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (makam
dsb) untuk berkirim doa.[3]
Kata ziarah juga diserap dari bahasa Arab yaitu زَارَ-
زِيَارَةً وَمَزَأرًا berarti
mengunjungi.[4]
Secara harfiah, kata ini berarti kunjungan, baik kepada orang yang masih hidup
atau yang sudah meninggal. Sedangkan secara teknis, kata ini menunjuk pada
serangkaian aktivitas mengunjungi makam tertentu, seperti makam Nabi, sahabat,
wali, pahlawan, orang tua, kerabat, dan lain-lain.[5]
Demikian juga kata kubur diserap dari bahasa Arabالقَبْرُ
(ج قَبُوْرٌ) yang artinya makam, kuburan.[6]
Sedangkan dalam bahasa Indonesia kubur artinya lubang di tanah
untuk menanamkan mayat; (tanah) tempat menanamkan mayat; makam. Sedangkan
kuburan adalah tanah tempat menguburkan mayat; makam.[7]
Ada juga yang berpendapat bahwa ziarah artinya
datang untuk bertemu dan kubur artinya tempat untuk menguburkan manusia. Dengan
demikian ziarah kubur adalah mendatangi/ menziarahi seseorang yang telah
dikuburkan, dikebumikan atau disemayamkan dalam kubur.[8]
Dalam syari’at Islam, ziarah kubur itu bukan
sekedar menengok kubur bukan pula sekedar tahu dan mengerti dimana ia di kubur,
atau untuk mengetahui keadaan kubur atau makam, akan tetapi kedatangan seorang
ke kubur adalah dengan maksud untuk mendoakan kepada yang di kubur muslim dan
mengirim pahala untuknya atas bacaan ayat-ayat al-Quran dan kalimat-kalimat
Tayyibah seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lainya.[9]
Banyak masyarakat Indonesia yang melakukan
ziarah ke tempat-tempat orang-orang sholeh atau seorang wali. Dalam pengertiannya
wali adalah (jamaknya awliya) yaitu orang yang dianggap dekat dan bersahabat
dengan Allah (akar kata Arab WLY, dekat). Dalam buku Kasyf al-Mahjub yang
ditulis pada abad ke-11, al-Hujwiri menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang
dijadikan acuan oleh tradisi mistis Islam untuk mengembangkan konsep kesucian
khas Islam itu “Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”(10:63); “Allah pelindung
(wali) orang-orang yang beriman” (2:258).[10]
Data historis menunjukkan, praktik ziarah ke
makam sudah ada sejak sebelum Islam datang, namun bobotnya dilebih-lebihkan,
sehingga di masa awal Islam (610-622), Nabi Muhammad melarangnya. Seiring
dengan perkembangan Islam yang dibarengi dengan pemahaman yang cukup, maka
tradisi ziarah dihidupkan kembali, bahkan dianjurkan oleh Nabi, karena hal
tersebut dapat mengingatkan kepada hari akhir, sehingga diharapkan pelakunya
dapat melakukan kontrol diri.
Ziarah bisa dilakukan kapan saja, tanpa ada batasan dalam waktu pelaksanaannya. Akan tetapi, para peziarah biasanya melakukan
ziarah para hari Jumat, menjelang hari raya Idul Fitri dan pada bulan-bulan tertentu
saat perayaan hari besar Di Indonesia ada beberapa waktu yang biasa digunakan
oleh masyarakat untuk berziarah kubur, yaitu hari Jumat, menjelang hari raya,
dan hari-hari besar lainnya. Hal ini hanyalah sebagai sebuah tradisi yang
dilakukan masyarakat Nusantara yang terus dilaksanakan hingga saat
ini. Berziarah kubur dalam Islam bisa dilaksanakan kapanpun juga tanpa ada
sebuah ketentuan mengenai harihari tertentu.[11]
3. Hadits Ziarah Kubur
Banyak hadits yang menganjurkan untuk
melakukan ziarah kubur, diantaranya hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a., dia mengatakan:
زَرَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى
وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ فِيْ أَنْ
أَسْتَغْفِرْلَهَا، فَلَمْ يَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ
لِيْ، فَزُوْرُوا القُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.
Artinya: “Nabi Saw, pernah menziarahi kuburan
ibunya, lalu beliau Saw menangis sehingga membuat orang-orang di sekitarnya
(ikut) menangis. Beliau bersabda, Aku minta izin kepada Rabbku untuk memohonkan
ampun untuknya (ibu beliau), namun Dia tidak memberikan izin. Dan aku meminta
izin untuk menziarahi kuburnya, maka Allah memberikan izin kepadaku. Maka
hendaklah kalian menziarahi kubur, karena ziarah kubur itu akan mengingatkan
kematian.” Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya. Kedudukan Hadits Shahih.[12]
Dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya, dia
mengatakan, Rasulullah Saw bersabda:
قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ،
فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمِّهِ فَزُوْرُهَا، فَإِنَّهَا
تُذَكِّرُ الآخِرَةَ.
Artinya : “Sungguh aku dulu melarang kalian
dari ziarah kubur, maka sungguh Muhammad telah diizinkan menziarahi kubur
ibunya, maka ziarahilah kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan
akhirat.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan, “Hadits hasan
shahih.”[13]
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزيْدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِيْ
حَازِمٍ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ: فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ:
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ،
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِيْ، فَزُوْرُوا
القُبُوْرَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ كُمُ الْمَوْتَ.
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb menyampaikan kepada kami dari
Muhammad bin Ubaid, dari Yazid bin Kaisan, dari Abu Hazim bahwa Abu Hurairah
berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menziarahi kubur ibunya.
Lalu beliau menangis sehingga dan orang-orang di sekeliling beliau pun ikut
menangis. Beliau berkata, „Aku pernah meminta izin kepada Rabbku agar aku
diperkenankan memintakan ampunan untuk ibuku, namun tidak diizinkan. Kemudian
aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, Dia pun mengizinkanku. Berziarah
kuburlah! karena ia bisa mengingatkan pada kematian."[14]
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى – وَاللَّفْظُ لِأَبِيْ بَكْرٍ
وَابْنِ نُمَيْرٍ- قَالُوا : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيْ
سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُبْنُ مُرَّةَ، عَنْ مُحَرِبِ ابْنِ دِثَارٍ، عَنِ ابْنِ
بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، فَزُوْرُهَا،
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَاَمْسِكُوْا مَا
بَدَا لَكُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيْذِ إِلَّا فِيْ سِقَاءٍ، فَاشْرَبُوْا
فِيْ الأَسْقِيَةِ كُلَّهَا، وَلَا تَشْرَبُوْا مُسْكِرًا. (انظر: 5104 ،5207)
قَالَبْنُ نُمَيْرٍ فِيْ رِوَايَةِ: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ
أَبِيْهِ
Artinya : Abu Bakar bin Abu Syaibah, Muhammad
bin Abdullah bin Numair, dan Muhammad bin al-Mutsanna menyampaikan kepada kami
– lafaz milik Abu Bakar dan Ibnu Numair – dari Muhammad bin Fudhail, dari Abu
Sinan, Dhinar bin Murrah, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Buraidah, dari
ayahnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku pernah melarang kalian menziarahi
kuburan. Namun sekarang, berziarahlah. Aku juga pernah melarang kalian
menyimpan daging kurban di atas tiga hari. Namun sekarang, simpanlah sesuai
kebutuhan kalian. Aku pun pernah melarang kalian membuat nabidz kecuali di
bejana air dari kulit. Namun sekarang, minumlah nabidz dari segala macam tempat
penyimpanan air. Dan janganlah minum yang memabukkan!” (lihat hadits no. 5104
dan 5207). Ibnu Numair menyebutkan dalam riwayatnya, “Dari Abdullah bin
Buraidah, dari ayahnya.”[15]
عن بُرَيْدَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُهَا. رواه مسلم.
Artinya : Dari Buraidah ra., berkata :
Rasulullah saw. bersabda : “Tadinya aku melarang kalian untuk berziarah kubur,
tetapi sekarang berziarahlah kalian!” (HR. Muslim).[16]
4. Tata Cara dalam Ziarah Kubur
Adapun tata cara dalam berziarah kubur adalah
sebagai berikut:
a. Hendaklah berwudlu dahulu sebelum menuju ke makam untuk berziarah
b. Setelah seorang peziarah sampai ke kubur, hendaklah memberi salam serta
mendoakannya.
c. Ketika sampai pada makam yang dituju, kemudian menghadap ke arah muka mayit
(menghadap ke arah timur), seraya mengucapkan salam khusus (kepada si mayit :
kepada ayah atau ibu atau seseorang).
d. Sesudah mengucapkan salam tersebut, dilanjutkan dengan berdoa, dengan
membaca doa ketika masuk areal pemakaman maka ia dimintakan ampunan (maghfirah)
oleh semua orang mukmin yang telah meninggal sejak Nabi Adam.
e. Bacalah ayat-ayat (surat-surat) dari al-Qur’an, seperti membaca surat Yasin, Ayat kursi
atau membaca Tahlil dan lain-lain.
f. Setelah itu, berdo’a yang dimaksud, bukanlah minta kepada kuburan, tetapi
memohon kepada Allah untuk mendo’akan dirinya sendiri dan yang diziarahi. Atau
bila ziarah ke makam wali dan ulama, berdoa untuk dirinya dengan wasilah
(perantaraan) para wali dan ulama, dengan harapan doanya mudah terkabul berkat
wasilah kepada para kekasih Allah tersebut.
g. Dalam berziarah, hendaknya dilakukan dengan penuh hormat dan khidmat serta
khusyu‟ (tenang).
h. Hendaklah dalam hati ada ingatan bahwa aku pasti akan mengalami seperti dia
(mati).
i.
Hendaklah tidak duduk di nisan kubur dan
melintasi di atasnya, karena hal itu merupakan perbuatan idza‟ (menyakitkan)
terhadap mayit.[17]
B.
Pro-Kontra Tradisi Ziarah Kubur Prespektif Masyarakat Muslim
Membicarakan ziarah kubur tidak terlepas dari pro dan kontra. Pada
awal mula Islam, ziarah kubur memang dilarang, sebagaimana tersurat dalam sabda
Nabi di atas. Tidak ada yang tahu secara pasti mengapa saat itu ziarah kubur
dilarang. Ada kemungkinan, larangan tersebut dimaksudkan agar keimanan dan
ketauhidan yang masih baru tertanam di dalam jiwa umat Islam tidak mudah goyah,
tidak mudah kembali kepada keyakinan jahiliyyah dengan segala adat istiadatnya.
Satu di antara adat jahiliyyah, misalnya kalau ada anggota keluarga yang
meninggal, mereka histeris meraung-raung, memukul-mukul dada, memecahkan
peralatan dapur, menyobek-nyobek pakaian, dan perbuatan berlebihan yang lain.
Hal-hal yang demikian banyak terbawa pada saat berziarah kubur.[18]
Kemungkinan yang lain, karena saat itu ideologi atau akidah Islam belum
tertanam kuat; tradisi jahiliyyah yang bertitik pada pengagungan arwah leluhur
dapat berbahaya bagi tauhid yang baru saja masuk ke hati, sehingga dikhawatirkan terjadi kesyirikan.
Namun demikian, karena pentingnya ziarah kubur bagi yang diziarahi maupun
yang menziarahi, selain karena dasar-dasar keimanan umat telah semakin kokoh,
maka larangan ziarah kubur itu dicabut untuk selamanya. Bahkan, bukan hanya dicabut. Nabi justru memberikan perintah untuk
berziarah kubur, sebab redaksi hadits di atas tersebut fi’il amar (yakni lafal:
zuru). Artinya sejak saat itu pula ziarah kubur menjadi salah satu syari’at
Islam.
Masih ada beberapa golongan yang masih
menganggap tradisi ziarah kubur dilarang. Alasan lain karena masih ada
penolakan terhadap ziarah kubur yaitu turunnya ayat al-Qur’an surah at-Taubah
ayat 84, yang berbunyi:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم
مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ
وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu
sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik.”[19]
Mereka menganggap bahwa ayat itu
membuktikan adanya dalil terhadap pelarangan ziarah kubur secara mutlak.
Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah wal Jama’ah yang menafsirkan ayat di atas
dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik,
bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin dan orang-orang shaleh.[20]
Menurut Imam Al-Ghozali, secara umum
memandang ziarah kubur itu suatu perbuatan sunnah, untuk memberikan peringatan
dan pelajaran kepada kita yang pasti akan mengalami juga (li at-tadzakkur wa
al-I’tibar).[21]
Dalam konteks kematian adalah
nasehat bagi yang masih hidup. Bagaimana tidak, dengan adanya kematian yang
masih hidup bisa lebih hati-hati lagi dalam menjalani kehidupan. Artinya
ketaqwaan perlu ditingkatkan, karena setelah kematian akan ada kehidupan lain,
yaitu kehidupan alam kubur. Kita mesti percaya bahwa alam kubur itu ada dan
alam kubur itu akan mendapatkan nikmat kubur, dan jika sebaliknya maka siksa
kubur yang didapatkannya.
Ziarah kubur para Nabi dan wali,
berdo’a di makam-makam, bertawassul, meminta syafaat ataupun pertolongan dari
ahli kubur, memperingati hari lahir dan wafat, bertabarruk (meminta berkah)
dari berkas dan peninggalan mereka, mengucapkan sumpah dengan nama mereka,
mendirikan bangunan di atas kuburan, dan lain sebagainya merupakan hal yang
sejak ratusan tahun lalu dan masih berlanjut hingga sekarang ini. Namun praktik
ziarah tersebut selalu diperselisihkan di antara berbagai kelompok kaum
muslimin tentang boleh tidaknya menurut ajaran Islam.[22]
Di Indonesia, ziarah kubur bisa
disebut sebagai salah satu tradisi bagi masyarakat. Tradisi ini dipercayai
sudah ada sejak lama sebelum Islam datang ke Indonesia. Indonesia mempunyai
sejarah yang panjang mengenai penyebaran Islam di Indonesia hingga menjadi
sebuah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.
1.
Anggapan bahwa tradisi ziarah kubur adalah budaya masyarakat hindu
Anggapan tersebut ada setelah menelisik sumber sejarah dari tradisi
ziarah makam di Jawa. Pada zaman dahulu penduduk Jawa yang beragama hindu
sering berkunjung atau berziarah ke candi-candi untuk beribadah. Masuknya agama
Islam mendorong akulturasi budaya di Jawa agar agama Islam tidak ditolak
mentah-mentah oleh masyarakat Jawa, yang umumnya masih menganut ajaran animisme
dan dinamisme.
Penyebaran Islam di Jawa setidaknya menggunakan dua pendekatan,
agar nilai-nilai Islam mudah diserap oleh masyarakat. Pendekatan pertama adalah
Islamisasi Kultur Jawa. Pendekatan ini mengupayakan agar budaya yang telah ada
di masyarakat tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Hal
ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam di dalamnya. Sedangkan
pendekatan kedua adalah Jawanisasi Islam, yaitu melalui budaya Jawa yang
disusupi dengan Islam. Jadi dalam hal ini istilah-istilah dalam budaya Jawa
masih dipakai tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai Islam, sehingga Islam
menjadi men-Jawa.[23]
Hal tersebut menjadi landasan bagi para golongan Muslim yang kontra
dengan tradisi ziarah kubur, karena merupakan tradisi yang bersumber dari
ajaran agama Hindu. Oleh sebab itu, tak jarang golongan kontra menyebut bahwa
tradisi ziarah kubur melenceng dari akidah dan syariat agama Islam dan
menyerupai cara beribadah kaum kafir.
Tradisi ziarah yang sudah ada di masyarakat, memunculkan perbedaan pemahaman
di tengah-tengah masyarakat. Di antara perbedaan paham tersebut terjadi di
antara dua organisasi besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama. Kalangan Muhammadiyah beranggapan bahwa mereka tidaklah menghendaki
pelaksanaan ritual ziarah. Sebagai gerakan reformis yang didirikan tahun 1912, Muhammadiyah
mengajarkan kepada umat muslim untuk tidak mencampuradukkan ajaran Islam dengan
ajaran dan keyakinan lokal orang Jawa.[24]
Di lain pihak Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun1926, tidak melarang
masyarakat untuk tetap berziarah ke makam-makam para wali ataupun sanak
keluarga. Berziarah ke makam ulama khususnya adalah Walisongo sudah menjadi
tradisi bagi masyarakat NU. Selain untuk mendoakan mereka juga mengharapkan
berkah dengan berkunjung ke makam-makam Walisongo.[25]
2.
Perbedaan pendapat antar ulama’ Islam tentang hukum tradisi ziarah
kubur (ikhtilaf)
Adapun pengertian ziarah kubur adalah perbuatan yang dianjurkan (mahdub)
guna menimbulkan kesadaran hati dan mengingat akhirat.[26] Dari definisi ini dapat digambarkan bahwasanya makna ziarah kubur
ini memang dianjurkan atau diteladani sebagai tujuan untuk meningkatkan
kesadaran bagi kita untuk mengingat akan kehidupan akhirat kelak.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ القُبُوْرِ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa:
Rasulullah Saw. Bersabda: Allah melaknat para perempuan peziarah kubur. (HR.
Turmidzi).
Penerjemah : Teks hadis ini tidak ditemukan
dalam Sunan Turmidzi yang menyebutkan “Allah melaknat para perempuan peziarah
kubur.” Dalam sunan turmidzi hanya memuat hadis berikut ini pada no. 976 yang menyebutkan
“Rasulullah melaknat ...” dan sesungguhnya inilah yang dimaksudkan, yaitu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُوْرِ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW melaknat para perempuan peziarah kubur. (HR. Turmidzi).
Pengertian “laknat” dalam hadits ini
kemungkinan mengandung arti ziarah mereka dengan praktek haram, seperti meratapi. Ada juga yang
berpendapat, kemungkinan artinya ialah sering ziarah kubur. Oleh karena itu,
yang dilarang ialah banyak ziarah bagi perempuan.
Menurut sebagian ulama, bahwa ziarah kubur
bagi perempuan hukumnya makruh, karena perempuan kurang sabar dan mudah dan
banyak sedihnya.
Hadis ini mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini.
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ القُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوهَا
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
Diriwayatkan dari Buraidah, bahwa: "Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah
diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah
kuburlah, sebab dengan ziarah kubur itu akan membangkitkan kesadaran akan
kehidupan akhirat." (HR. Turmidzi).
Kata Abu Isa at-Turmidzi, hadis dari Buraidah ini kualitasnya hasan
sahih. Para ulama mengamalkan hadis ini, mereka tidak melihat ada bahaya dengan
ziarah kubur. Ketika ada rukhsah atau keringanan boleh ziarah kubur, kebolehan
itu meliputi laki-laki dan perempuan.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبْرٍ وَهِيَ تَبْكِي فَقَالَ اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa: “Nabi SAW, melewati seorang perempuan diatas kuburan yang tengah
menangis, lalu beliau menegur dengan sabdanya: “Bertakwalah kepada Allah dan
sabarlah!”
Penerjemah: Hadits ini tidak ditemukan dalam
Sunan at-Turmidzi, tapi justru ada dalam Shahih al-Bukhari pada hadits no.1174.
Ahmad juga meriwayatkan hadits yang seperti ini pada hadits no. 12003.
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
bahwa: “apa yang kubaca wahai Rasulullah, jika ziarah kubur?” Beliau bersabda: “Bacalah:
“ Semoga keselamatan atas penghuni kubur dari kalangan orang-orang mukmin dan
muslim dan semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita dan mereka
yang akan menyusul. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian
juga.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa
Aisyah pernah menziarahi kubur saudaranya bernama Abdul Rahman. Lalu ia
ditanya: “Bukankah Nabi Saw, telah melarang ziarah kubur? ” Ia menjawab: “Ya,
benar, Nabi Saw pernah melarang, lau kemudia beliau menyuruh ziarah kubur lagi.”
(HR. Hakim).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah,
bahwa: “Abdul Rahman bin Abu Bakar meninggal dunia di Abessenia, lalu
jenazahnya dibawa ke Mekah dan dikuburkan di sana. Ketika Aisyah tiba, ia
mendatangi kubur saudaranya itu dan mengatakan: “Kami adalah teman sepanjang
hidup tak pernah terpisahkaan. Ketika kematian memisahkan kami, maka aku dan
Malik setelah lama berkumpul dan bergaul denganya, tak ada waktu lagi untuk
bersamanya. Kemudian Aisyah berkata: “ Demi Allah seandainya aku hadir pada
saat engkau dikuburkan dan ketika engkau menghembuskan nafas terakhirmu,
niscaya aku tidak menziarahi kuburmu.” (HR. Turmidzi).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa boleh
menziarahi kubur, baik laki-laki maupun perempuan. Dan hadits-hadits ini
menasakh atau membatalkan hadits-hadits terdahulu di atas yang melarang ziarah
kubur.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan
sebagian ulama yang membolehkan ziarah kubur bagi perempuan.
Al-Mubarakfuri pengarang Tuhfah al-Ahwadzi
Syarh Sunan at-Turmidzi, ketika mengomentari hadits dari Buraidah yang
diriwatkan Turmidzi, mengatakan: “Kebolehan ziarah kubur, setelah sebelumnya
dilarang adalah sebagai rukhsah atau keringanan. Kebolehan itu meliputi
laki-laki dan perempuan. Menurut al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H/1477 M)
bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ulama. Beliau menambahkan,
kebolehan itu, jika perempuan terbebas dan aman dari fitnah (bahaya).”
Al-Qari dalam al-Marqah setelah menyebut
hadits-hadits tersebut di atas, mengatakan: ‘Illat atau tujuan dibolehkannya
ziarah kubur dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa hukum ziarah kubur
bagi laki-laki dan perempuan sama saja, jika terpenuhi syarat-syarat bagi mereka.
Adapun pengertian “Allah melaknat perempuan peziarah kubur” dapat ditakwil
dengan pengertian yang berbuat hal-hal yang dilarang, seperti meratapi, dan
lain-lain yang semacamnya.
Menurut al-Qurthubi (671 H) bahwa pengertian
“laknat” dalam hadits ini ialah ziarah kubur yang terlalu sering. Hal ini
dipahami dari sikap Aisyah, bahwa berulang-ulang menziarahi kubur saudaranya
(Abdul Rahman bin Abu Bakar dalam hadits diatas) berarti kebanyakan ziarah, dan
itulah yang dilarang. Maka Aisyah mengatakan: “Andaikan aku menghadiri saat
wafatnya (Abdul Rahman) niscaya aku tidak menziarahi kuburnya, karena tidak mau
ziarah kubur berulang kali.”
Dengan demikian, menurut pendapatku, jika
persyaratan seperti disebutkan di atas telah terpenuhi bagi perempuan peziarah
kubur, maka mereka boleh ziarah kubur, sebab dengan ziarah kubur akan
mengingatkan atau membangkitkan kesadaran akan datangnya kematian dan alam
akhirat. Dan ini merupakan kebutuhan bagi setiap orang, baik laki-laki maupun
perempuan.[27]
Adapun menurut ulama’ yang kontra dengan
tradisi ziarah kubur berpendapat bahwa makam yang boleh diziarahi hanyalah
makam Nabi Muhammad saw saja. Sebab beliau
dalah junjungan seluruh umat muslim dan manusia yang paling mulia. Maka, makam
selain Rasulullah dilarang untuk diziarahi karena tidak ada kepentingan ataupun
keutamaan yang di dapat setelah menziarahinya.[28]
Hukum dari ziarah makam menjadi makruh bahkan sampai haram karena termasuk
peerbuatan syirik.
Berangkat dari ikhtilaf ulama’ juga berpendapat bahwa tradisi
ziarah makam merupakan bid’ah dan semua bid’ah mendapatkan siksa neraka. Hukum
itu dianut oleh para ulama’ salafi yang mengajarkan bahwa Nabi Muhammad
melarang berziarah kubur karena kondisi iman mereka dapat goyah dan menuju ke
perbuatan syirik (menyekutukan Allah swt). Sedangkan ulama’ yang pro-tradisi
ziarah kubur memberikan dalil bahwa Nabi Muhammad telah merubah hukum ziarah
kubur yang tadinya dilarang kemudian diperbolehkan, sebab keadaan iman umat
Islam sekarang telah kuat dan ziarah kubur akan mengingatkan mereka akan
kematian serta akhirat. Sehingga dapat memperkuat iman umat Islam kepa Allah
swt.
3.
Kesalahpahaman persepsi atar golongan
Kesalahpahaman muncul kurang mengertinya golongan pro dan kontra, golongan
kontra menemukan ada unsur-unsur syirik dalam praktik ziarah makam. Antara
lain: berdoa kepada para ahli kubur bukan kepada Allah swt, memberi persembahan
atau sesaji, tawasul kepada ahli kubur, mensakralkan makam sebagai tempat
ibadah dan ada unsur komersialisasi.
Sebenarnya masalah tersebut tidak diterapkan oleh masyarakat muslim
ketika berziarah. Agama islam mengajarkan untuk berdoa dan meminta kepada Allah
swt semata. Dengan berziarah ke makam para Nabi dan wali Allah berharap untuk
mendapat barokah serta keselamatan di dunia dan akhirat, Ada oknum-oknum
tertentu yang menyelewengkan tujuan dari ziarah itu sendiri, beberapa dari
mereka tidak mengetahui hakikat tujuan dari tradis ziarah makam, sebab iman
mereka begitu tipis. Pendapat inilah yang menjadi alasan para golongan kontra menjadikan
salah persepsi.
4.
Kepentingan golongan
Egoisme dari golonga pro dan kontra menjadikan hubungan
persaudaraan antar umat muslim menjadi renggang. Dari para ulama’ mereka
memiliki perbedaan madzhab serta fatwa dari madzhab tersebut yang saling
bertentangan. Berangkat dari perbedaan pendapat antar ulama’ Islam tentang
hukum tradisi ziarah kubur (ikhtilaf), mendorong mereka untuk
mempertahankan argument mereka. Di golongan pro memberi alasan bahwa ziarah
dapat memperkuat keimanan masyarakat muslim dan mempermudah untuk mendekatkan
diri kepada Allah swt. Sedangkan di golongan kontra menyebutkan bahwa ada
praktik syirik di dalamnya, tidak ada dalil, melenceng dari syariat agama Islam
dan dapat mengikis iman seseorang.[29]
5.
Ketidaktahuan dalil ziarah kubur
Para golongan yang mendukug ziarah juga sering mengatakan bahwa
mazhab Syafi’i, yang hampir sepenuhnya mendominasi di Indonesia, menggolongkan
praktik datang ke kuburan sebagai tindakan yang dianjurkan (mundub atau
mustahab), meskipun para ulama di Indonesia terkadang menambahkan syarat-syarat
pada anjuran ini, khususnya yang berhubungan dengan kunjungan-kunjungan oleh
perempuan.
6.
Adanya kesalahan tujuan tradisi ziarah kubur
Munculnya motif di luar tujuan ziarah, terlebih ketika sudah
diiringi dengan praktik-praktik yang meniru tradisi pra-Islam, tak pelak bila
ada sebagian orang menilai kegiatan ini merupakan kegiatan syirik. Terkadang
para peziarah pun tidak memahami mana sebenarnya yang merupakan tuntunan Islam
dan mana yang merupakan tradisi nenek moyang yang merupakan warisan dari
tradisi kuno.[30]
Adapun tujuan ziarah keperkuburan berdasarkan syari’at agama Islam yakni
mengingatkan manusia akan akhirat, bukan dikarenakan tujuan-tujuan tertentu .
hanya saja dalam berziarah mempunyai aturan-aturan yang telah dianjurkan oleh
Rasulullah Saw, seperti mengucapkan salam kepada ahli kubur dengan tujuan agar
Allah mengampuni segala kesalahan ahli kubur yang mendahului.[31]
Dari definisi ziarah kubur adalah mendatanginya sewaktu-waktu untuk
memohon rahmat Tuhan bagi orang yang ada didalam kubur, untuk menggali
pelajaran dan peringatan supaya orang yang hidup ingat akan mati dan nasibnya
diakhirat kelak.[32]
“Ziarah ke
kubur adalah perbuatan yang dianjurkan untuk menimbulkan kesadaran hati dan
mengingatkan kepada akhirat, terutama pada hari jum’at sehari sebelunya dan
sehari sesudahnya. Para peziarah sebaiknya menyibukan diri dengan do’a, tadharu
(berdo’a dengan khusyu dan merendah). Mengingat mereka telah mati serta membaca
al-Qur’an untuk mengingat mereka. Yang demikian inilah sangat bermanfaat bagi
si mayit. Selanjutnya kitab tersebut juga menerangkan bahwa “tidak ada bedanya
dalam hal berziarah apakah tempat pemakaman itu dekat ataupun jauh, artinya
bagi peziarah tidak ada masalah walaupun hanya memberikan do’a dengan jarak
yang berjauhan atau di tempat pemakaman”.[33]
Makam yang
menjadi perhatian para peziarah, khususnya kau muslim, biasanya merupakan makam
orang-orang yang semasa hidupnya membawa misi kebaikan bagi masyarakatnya,
yaitu: [34]
a.
Para
Nabi dan pemimpin agama, mereka yang telah mengemban misi ketuhanan yang
memberikan petunjuk kepada manusia dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, serta
menghaturkan darah para kekasih-Nya dan menanggung semua derita serta
memperkenalkanya dengan ilmu-ilmu agama.
b.
Para
wali, ulama, tokoh masyarakat, dan ilmuan besar, yang memberikan ilmu
pengetahuan serta memperkenalkan manusia tehadap kitab suci serta ilmu alam dan
ilmu ciptaan dan selalu menyelidiki ilmu-ilmu agama, kemanusiaan dan jalan
tabiat.
c.
Kelompok
orang-orang tertentu seperti sahabat, kerabat dan saudara terdekat, mereka yang
mempunyai tali kasih atau pengorbanan semasa hidupnya yang memberikan kasih
saying serta perjuangan pada orang-orang.
[1] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, op. cit., hlm. 1543
[3] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, op.cit., hlm. 1632
[4] A. W. Munawir, Kamus AL-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka. Progressif, 1997), hlm. 592
[5] Purwadi dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 3
[10] Henri Chambrt-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 394
[11] M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat jawa: Kontestas Kesalehan, Identitas
Keagamaan dan Komersial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Juli-Desember 2016), Vol. 14,
No. 2, hlm. 207
[12] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib
(6) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, Ancaman dan Dosa, diterjemahkan
dari “Shahih at-Targhib wa at-Tarbib” oleh Izzudin Karimi, dkk, (Jakarta :
Darul Haq, 2012), cet. 2, hlm. 27
[13] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib
(6) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, Ancaman dan Dosa,
hlm. 279
[14] Muslim bin
al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3 ; Shahih Muslim 1,
diterjemahkan oleh Ferdinand Hasmand dkk, (Jakarta : Almahira, 2012), hlm.
442
[15] Muslim bin
al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3 ; Shahih Muslim 1,
hlm. 442-443
[16] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin : Perjalanan Menuju Taman Surga,
diterjemahkan dari Riyadhus Shalihin oleh Zenal Mutaqin dkk, (Surabaya : Jabal,
2013), Cet. 6, hlm. 22
[17] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin : Perjalanan Menuju Taman Surga, 6,
hlm. 231-235
[18] Bintus Sami’
ar-rakily, 40 Hadits Shahih : Teladan Rasul dalam berziarah Kubur,
(Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 4-5
[19] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), jilid IV, hlm. 171
[20] Bintus Sami’
ar-rakily, 40 Hadits Shahih : Teladan Rasul dalam berziarah Kubur,
(Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 7-8
[21] Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Dalam Persepsi dan Tradisi NU,
(Jakarta : Lantabora Press – Jakarta Indonesia, 2005) Cet. 3, hlm.
223
[22] Ja’far
Subhani, Tauhid Dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 7
[23] M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat jawa: Kontestas Kesalehan, Identitas
Keagamaan dan Komersial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Juli-Desember 2016), Vol. 14,
No. 2, hlm. 209
[25]
Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, 1973), hlm. 84
[27] Dr. Izzuddin Husain as-Syekh, Menyikapi Hadis- Hadis yang Saling
Bertentangan, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 79-83
[28] Muhammad
Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman seputar Alam Barzah, Ziarah
Kubur, dan Peringatan Hari-Hari besar Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), hlm. 53
[29] Mahrus Ali, Menggugat
Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah para Wali, (Surabaya: Laa Tasyuk, 2007), hlm. 320
[30] M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat jawa: Kontestas Kesalehan, Identitas
Keagamaan dan Komersial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Juli-Desember 2016), Vol. 14,
No. 2, hlm. 210
[31] Yunika
Wulandari, Tradisi Ziarah Kubur Puyang dan Implikasinya terhadap kehidupan
sosial keagamaan di Desa Suka Banjar Kecamatan Muaradua Kabupaten Ogan Komering
Ulu Selatan, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan, 2018), hlm. 33
[32] Yunasril Ali,
Membersihkan Tasawuf (Dari Syirik, Bid’ah Dan Khufarat), (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya), hlm. 44
[34] Syaikh
Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali,
(Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989), hlm 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar