Senin, 08 April 2019

PRO-KONTRA TRADISI ZIARAH KUBUR: PRESPEKTIRF MASYARAKAT MUSLIM Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Studi Islam


A.      Latar Belakang
Fenomena ziarah kubur tidak terkait langsung dengan al-Qur’an dan pelaksanaannya demikian khas sehingga orang yang menentangnya tidak kekurangan alasan untuk mencapainya sebagai perilaku yang menyimpang atau bahkan syirik. Praktiknya juga sering spektakuler, terutama pada perayaan-perayaan besar, bila kerumunan besar peziarah memperagakan imannya dengan emosi yang meluap sehingga mengganggu mereka yang lebih bersikap spiritual ataupun rasional. Akhirnya fenomena tersebut sering kali mewarisi praktik agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat serta ritus-ritusnya. Singkatnya, fenomena itu dapat saja dicap kurang murni dari sudut akidah, bahkan kurang serius, sehingga umumnya paling-paling ditolerir sebagai sarana yang dibutuhkan umat yang goyah imannya, agar dapat mengamalkan dan memperkuat iman.
Ziarah kubur ke makam para wali atau kerabat biasa, mempunyai tradisi yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Perdebatan tentang tradisi ini bergaung jauh dalam sejarah, perilaku keagamaan itu dikecam dengan gigih sebagai praktek syirik. Ada juga sebagian ulama’ yang memperbolehkan dengan tujan untuk mengingatkan umat Muslim datangnya akhirat kelak. Adapula yang menganggap sunnah dengan niatan amal shalih dan dakwah. Bahkan beberapa juga menganggap bahwa tradisi ziarah kubur merupakan perbuatan bid’ah, dan hukumannya adalah siksa neraka.

Oleh sebab itu, makalah ini akan memaparkan beberapa pandangan tradisi ziarah kubur menggunakan pandangan fenomenologi antara kubu yang melarang dan memperbolehkan dengan judul “Pro-Kontra Tradisi Ziarah Kubur: Prespektirf Masyarakat Muslim”.



B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.        Apa yang dimaksud dengan tradisi ziarah kubur?
2.        Bagaimana pro-kontra tradisi ziarah kubur perspektif masyarakat muslim?
C.      Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.        Untuk mengetahui tradisi ziarah kubur
2.        Untuk mengetahui pro-kontra tradisi ziarah kubur perspektif masyarakat muslim




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Tradisi Ziarah Kubur
1.        Pengertian Tradisi
Kata tradisi berasal dari kata bahasa Indonesia yang berarti adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.[1]
Sedangkan dalam bahasa latin, kata tradisi sering dikenal dengan traditio yang berarti diteruskan atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[2]
2.      Pengertian Ziarah Kubur
Kalimat ziarah kubur sangat dikenal oleh masyarakat.  Kata “Ziarah Kubur” terdiri dari 2 kata, yaitu ziarah dan kubur. Ziarah berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kunjungan ke tempat yang dianggap keramat (atau mulia, makam, dsb). Sedangkan berziarah adalah berkunjung ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (makam dsb) untuk berkirim doa.[3] Kata ziarah juga diserap dari bahasa Arab yaitu          زَارَ- زِيَارَةً وَمَزَأرًا  berarti mengunjungi.[4] Secara harfiah, kata ini berarti kunjungan, baik kepada orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Sedangkan secara teknis, kata ini menunjuk pada serangkaian aktivitas mengunjungi makam tertentu, seperti makam Nabi, sahabat, wali, pahlawan, orang tua, kerabat, dan lain-lain.[5] Demikian juga kata kubur diserap dari bahasa Arabالقَبْرُ (ج قَبُوْرٌ) yang artinya makam, kuburan.[6]
Sedangkan dalam bahasa Indonesia kubur artinya lubang di tanah untuk menanamkan mayat; (tanah) tempat menanamkan mayat; makam. Sedangkan kuburan adalah tanah tempat menguburkan mayat; makam.[7]
Ada juga yang berpendapat bahwa ziarah artinya datang untuk bertemu dan kubur artinya tempat untuk menguburkan manusia. Dengan demikian ziarah kubur adalah mendatangi/ menziarahi seseorang yang telah dikuburkan, dikebumikan atau disemayamkan dalam kubur.[8]
Dalam syari’at Islam, ziarah kubur itu bukan sekedar menengok kubur bukan pula sekedar tahu dan mengerti dimana ia di kubur, atau untuk mengetahui keadaan kubur atau makam, akan tetapi kedatangan seorang ke kubur adalah dengan maksud untuk mendoakan kepada yang di kubur muslim dan mengirim pahala untuknya atas bacaan ayat-ayat al-Quran dan kalimat-kalimat Tayyibah seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lainya.[9]
Banyak masyarakat Indonesia yang melakukan ziarah ke tempat-tempat orang-orang sholeh atau seorang wali. Dalam pengertiannya wali adalah (jamaknya awliya) yaitu orang yang dianggap dekat dan bersahabat dengan Allah (akar kata Arab WLY, dekat). Dalam buku Kasyf al-Mahjub yang ditulis pada abad ke-11, al-Hujwiri menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan acuan oleh tradisi mistis Islam untuk mengembangkan konsep kesucian khas Islam itu “Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”(10:63); “Allah pelindung (wali) orang-orang yang beriman” (2:258).[10]
Data historis menunjukkan, praktik ziarah ke makam sudah ada sejak sebelum Islam datang, namun bobotnya dilebih-lebihkan, sehingga di masa awal Islam (610-622), Nabi Muhammad melarangnya. Seiring dengan perkembangan Islam yang dibarengi dengan pemahaman yang cukup, maka tradisi ziarah dihidupkan kembali, bahkan dianjurkan oleh Nabi, karena hal tersebut dapat mengingatkan kepada hari akhir, sehingga diharapkan pelakunya dapat melakukan kontrol diri.
Ziarah bisa dilakukan kapan saja, tanpa ada batasan dalam waktu pelaksanaannya. Akan tetapi, para peziarah biasanya melakukan ziarah para hari Jumat, menjelang hari raya Idul Fitri dan pada bulan-bulan tertentu saat perayaan hari besar Di Indonesia ada beberapa waktu yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk berziarah kubur, yaitu hari Jumat, menjelang hari raya, dan hari-hari besar lainnya. Hal ini hanyalah sebagai sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat Nusantara yang terus dilaksanakan hingga saat ini. Berziarah kubur dalam Islam bisa dilaksanakan kapanpun juga tanpa ada sebuah ketentuan mengenai harihari tertentu.[11]
3.      Hadits Ziarah Kubur
Banyak hadits yang menganjurkan untuk melakukan ziarah kubur, diantaranya hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia mengatakan:

زَرَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرْلَهَا، فَلَمْ يَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِيْ، فَزُوْرُوا القُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.

Artinya: “Nabi Saw, pernah menziarahi kuburan ibunya, lalu beliau Saw menangis sehingga membuat orang-orang di sekitarnya (ikut) menangis. Beliau bersabda, Aku minta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun untuknya (ibu beliau), namun Dia tidak memberikan izin. Dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Allah memberikan izin kepadaku. Maka hendaklah kalian menziarahi kubur, karena ziarah kubur itu akan mengingatkan kematian.” Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya. Kedudukan Hadits Shahih.[12]
Dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya, dia mengatakan, Rasulullah Saw bersabda:
قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمِّهِ فَزُوْرُهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَةَ.
Artinya : “Sungguh aku dulu melarang kalian dari ziarah kubur, maka sungguh Muhammad telah diizinkan menziarahi kubur ibunya, maka ziarahilah kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan, “Hadits hasan shahih.”[13]

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزيْدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِيْ حَازِمٍ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ: فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِيْ، فَزُوْرُوا القُبُوْرَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ كُمُ الْمَوْتَ.
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb menyampaikan kepada kami dari Muhammad bin Ubaid, dari Yazid bin Kaisan, dari Abu Hazim bahwa Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menziarahi kubur ibunya. Lalu beliau menangis sehingga dan orang-orang di sekeliling beliau pun ikut menangis. Beliau berkata, „Aku pernah meminta izin kepada Rabbku agar aku diperkenankan memintakan ampunan untuk ibuku, namun tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, Dia pun mengizinkanku. Berziarah kuburlah! karena ia bisa mengingatkan pada kematian."[14]

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى – وَاللَّفْظُ لِأَبِيْ بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ- قَالُوا : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيْ سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُبْنُ مُرَّةَ، عَنْ مُحَرِبِ ابْنِ دِثَارٍ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، فَزُوْرُهَا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَاَمْسِكُوْا مَا بَدَا لَكُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيْذِ إِلَّا فِيْ سِقَاءٍ، فَاشْرَبُوْا فِيْ الأَسْقِيَةِ كُلَّهَا، وَلَا تَشْرَبُوْا مُسْكِرًا. (انظر: 5104 ،5207)
قَالَبْنُ نُمَيْرٍ فِيْ رِوَايَةِ: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيْهِ
Artinya : Abu Bakar bin Abu Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, dan Muhammad bin al-Mutsanna menyampaikan kepada kami – lafaz milik Abu Bakar dan Ibnu Numair – dari Muhammad bin Fudhail, dari Abu Sinan, Dhinar bin Murrah, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan. Namun sekarang, berziarahlah. Aku juga pernah melarang kalian menyimpan daging kurban di atas tiga hari. Namun sekarang, simpanlah sesuai kebutuhan kalian. Aku pun pernah melarang kalian membuat nabidz kecuali di bejana air dari kulit. Namun sekarang, minumlah nabidz dari segala macam tempat penyimpanan air. Dan janganlah minum yang memabukkan!” (lihat hadits no. 5104 dan 5207). Ibnu Numair menyebutkan dalam riwayatnya, “Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya.”[15]
عن بُرَيْدَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُهَا. رواه مسلم.

Artinya : Dari Buraidah ra., berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Tadinya aku melarang kalian untuk berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah kalian!” (HR. Muslim).[16]
4.      Tata Cara dalam Ziarah Kubur
Adapun tata cara dalam berziarah kubur adalah sebagai berikut:
a.       Hendaklah berwudlu dahulu sebelum menuju ke makam untuk berziarah
b.      Setelah seorang peziarah sampai ke kubur, hendaklah memberi salam serta mendoakannya.
c.       Ketika sampai pada makam yang dituju, kemudian menghadap ke arah muka mayit (menghadap ke arah timur), seraya mengucapkan salam khusus (kepada si mayit : kepada ayah atau ibu atau seseorang).
d.      Sesudah mengucapkan salam tersebut, dilanjutkan dengan berdoa, dengan membaca doa ketika masuk areal pemakaman maka ia dimintakan ampunan (maghfirah) oleh semua orang mukmin yang telah meninggal sejak Nabi Adam.
e.       Bacalah ayat-ayat (surat-surat) dari al-Quran, seperti membaca surat Yasin, Ayat kursi atau membaca Tahlil dan lain-lain.
f.       Setelah itu, berdo’a yang dimaksud, bukanlah minta kepada kuburan, tetapi memohon kepada Allah untuk mendo’akan dirinya sendiri dan yang diziarahi. Atau bila ziarah ke makam wali dan ulama, berdoa untuk dirinya dengan wasilah (perantaraan) para wali dan ulama, dengan harapan doanya mudah terkabul berkat wasilah kepada para kekasih Allah tersebut.
g.      Dalam berziarah, hendaknya dilakukan dengan penuh hormat dan khidmat serta khusyu‟ (tenang).
h.      Hendaklah dalam hati ada ingatan bahwa aku pasti akan mengalami seperti dia (mati).
i.        Hendaklah tidak duduk di nisan kubur dan melintasi di atasnya, karena hal itu merupakan perbuatan idza‟ (menyakitkan) terhadap mayit.[17]
B.       Pro-Kontra Tradisi Ziarah Kubur Prespektif Masyarakat Muslim
Membicarakan ziarah kubur tidak terlepas dari pro dan kontra. Pada awal mula Islam, ziarah kubur memang dilarang, sebagaimana tersurat dalam sabda Nabi di atas. Tidak ada yang tahu secara pasti mengapa saat itu ziarah kubur dilarang. Ada kemungkinan, larangan tersebut dimaksudkan agar keimanan dan ketauhidan yang masih baru tertanam di dalam jiwa umat Islam tidak mudah goyah, tidak mudah kembali kepada keyakinan jahiliyyah dengan segala adat istiadatnya. Satu di antara adat jahiliyyah, misalnya kalau ada anggota keluarga yang meninggal, mereka histeris meraung-raung, memukul-mukul dada, memecahkan peralatan dapur, menyobek-nyobek pakaian, dan perbuatan berlebihan yang lain. Hal-hal yang demikian banyak terbawa pada saat berziarah kubur.[18]
Kemungkinan yang lain, karena saat itu ideologi atau akidah Islam belum tertanam kuat; tradisi jahiliyyah yang bertitik pada pengagungan arwah leluhur dapat berbahaya bagi tauhid yang baru saja masuk ke hati, sehingga dikhawatirkan terjadi kesyirikan.
Namun demikian, karena pentingnya ziarah kubur bagi yang diziarahi maupun yang menziarahi, selain karena dasar-dasar keimanan umat telah semakin kokoh, maka larangan ziarah kubur itu dicabut untuk selamanya. Bahkan, bukan hanya dicabut. Nabi justru memberikan perintah untuk berziarah kubur, sebab redaksi hadits di atas tersebut fi’il amar (yakni lafal: zuru). Artinya sejak saat itu pula ziarah kubur menjadi salah satu syari’at Islam.
Masih ada beberapa golongan yang masih menganggap tradisi ziarah kubur dilarang. Alasan lain karena masih ada penolakan terhadap ziarah kubur yaitu turunnya ayat al-Qur’an surah at-Taubah ayat 84, yang berbunyi:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik.”[19]
Mereka menganggap bahwa ayat itu membuktikan adanya dalil terhadap pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah wal Jama’ah yang menafsirkan ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin dan orang-orang shaleh.[20]
Menurut Imam Al-Ghozali, secara umum memandang ziarah kubur itu suatu perbuatan sunnah, untuk memberikan peringatan dan pelajaran kepada kita yang pasti akan mengalami juga (li at-tadzakkur wa al-I’tibar).[21]
Dalam konteks kematian adalah nasehat bagi yang masih hidup. Bagaimana tidak, dengan adanya kematian yang masih hidup bisa lebih hati-hati lagi dalam menjalani kehidupan. Artinya ketaqwaan perlu ditingkatkan, karena setelah kematian akan ada kehidupan lain, yaitu kehidupan alam kubur. Kita mesti percaya bahwa alam kubur itu ada dan alam kubur itu akan mendapatkan nikmat kubur, dan jika sebaliknya maka siksa kubur yang didapatkannya.
Ziarah kubur para Nabi dan wali, berdo’a di makam-makam, bertawassul, meminta syafaat ataupun pertolongan dari ahli kubur, memperingati hari lahir dan wafat, bertabarruk (meminta berkah) dari berkas dan peninggalan mereka, mengucapkan sumpah dengan nama mereka, mendirikan bangunan di atas kuburan, dan lain sebagainya merupakan hal yang sejak ratusan tahun lalu dan masih berlanjut hingga sekarang ini. Namun praktik ziarah tersebut selalu diperselisihkan di antara berbagai kelompok kaum muslimin tentang boleh tidaknya menurut ajaran Islam.[22]
Di Indonesia, ziarah kubur bisa disebut sebagai salah satu tradisi bagi masyarakat. Tradisi ini dipercayai sudah ada sejak lama sebelum Islam datang ke Indonesia. Indonesia mempunyai sejarah yang panjang mengenai penyebaran Islam di Indonesia hingga menjadi sebuah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.
1.        Anggapan bahwa tradisi ziarah kubur adalah budaya masyarakat hindu
Anggapan tersebut ada setelah menelisik sumber sejarah dari tradisi ziarah makam di Jawa. Pada zaman dahulu penduduk Jawa yang beragama hindu sering berkunjung atau berziarah ke candi-candi untuk beribadah. Masuknya agama Islam mendorong akulturasi budaya di Jawa agar agama Islam tidak ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Jawa, yang umumnya masih menganut ajaran animisme dan dinamisme.
Penyebaran Islam di Jawa setidaknya menggunakan dua pendekatan, agar nilai-nilai Islam mudah diserap oleh masyarakat. Pendekatan pertama adalah Islamisasi Kultur Jawa. Pendekatan ini mengupayakan agar budaya yang telah ada di masyarakat tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Hal ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam di dalamnya. Sedangkan pendekatan kedua adalah Jawanisasi Islam, yaitu melalui budaya Jawa yang disusupi dengan Islam. Jadi dalam hal ini istilah-istilah dalam budaya Jawa masih dipakai tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai Islam, sehingga Islam menjadi men-Jawa.[23]
Hal tersebut menjadi landasan bagi para golongan Muslim yang kontra dengan tradisi ziarah kubur, karena merupakan tradisi yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Oleh sebab itu, tak jarang golongan kontra menyebut bahwa tradisi ziarah kubur melenceng dari akidah dan syariat agama Islam dan menyerupai cara beribadah kaum kafir.
Tradisi ziarah yang sudah ada di masyarakat, memunculkan perbedaan pemahaman di tengah-tengah masyarakat. Di antara perbedaan paham tersebut terjadi di antara dua organisasi besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kalangan Muhammadiyah beranggapan bahwa mereka tidaklah menghendaki pelaksanaan ritual ziarah. Sebagai gerakan reformis yang didirikan tahun 1912, Muhammadiyah mengajarkan kepada umat muslim untuk tidak mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran dan keyakinan lokal orang Jawa.[24] Di lain pihak Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun1926, tidak melarang masyarakat untuk tetap berziarah ke makam-makam para wali ataupun sanak keluarga. Berziarah ke makam ulama khususnya adalah Walisongo sudah menjadi tradisi bagi masyarakat NU. Selain untuk mendoakan mereka juga mengharapkan berkah dengan berkunjung ke makam-makam Walisongo.[25]
2.        Perbedaan pendapat antar ulama’ Islam tentang hukum tradisi ziarah kubur (ikhtilaf)
Adapun pengertian ziarah kubur adalah perbuatan yang dianjurkan (mahdub) guna menimbulkan kesadaran hati dan mengingat akhirat.[26] Dari definisi ini dapat digambarkan bahwasanya makna ziarah kubur ini memang dianjurkan atau diteladani sebagai tujuan untuk meningkatkan kesadaran bagi kita untuk mengingat akan kehidupan akhirat kelak.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ القُبُوْرِ
Diriwayatkan dari Abu  Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa: Rasulullah Saw. Bersabda: Allah melaknat para perempuan peziarah kubur. (HR. Turmidzi).
Penerjemah : Teks hadis ini tidak ditemukan dalam Sunan Turmidzi yang menyebutkan “Allah melaknat para perempuan peziarah kubur.” Dalam sunan turmidzi hanya memuat hadis berikut ini pada no. 976 yang menyebutkan “Rasulullah melaknat ...” dan sesungguhnya inilah yang dimaksudkan, yaitu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُوْرِ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW melaknat para perempuan peziarah kubur. (HR. Turmidzi).
Pengertian “laknat” dalam hadits ini kemungkinan mengandung  arti ziarah mereka dengan praktek haram, seperti meratapi. Ada juga yang berpendapat, kemungkinan artinya ialah sering ziarah kubur. Oleh karena itu, yang dilarang ialah banyak ziarah bagi perempuan.
Menurut sebagian ulama, bahwa ziarah kubur bagi perempuan hukumnya makruh, karena perempuan kurang sabar dan mudah dan banyak sedihnya.
Hadis ini mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini.
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
Diriwayatkan dari Buraidah, bahwa: "Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah, sebab dengan ziarah kubur itu akan membangkitkan kesadaran akan kehidupan akhirat." (HR. Turmidzi).
Kata Abu Isa at-Turmidzi, hadis dari Buraidah ini kualitasnya hasan sahih. Para ulama mengamalkan hadis ini, mereka tidak melihat ada bahaya dengan ziarah kubur. Ketika ada rukhsah atau keringanan boleh ziarah kubur, kebolehan itu meliputi laki-laki dan perempuan.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبْرٍ وَهِيَ تَبْكِي فَقَالَ اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa: “Nabi SAW, melewati seorang perempuan diatas kuburan yang tengah menangis, lalu beliau menegur dengan sabdanya: “Bertakwalah kepada Allah dan sabarlah!”
Penerjemah: Hadits ini tidak ditemukan dalam Sunan at-Turmidzi, tapi justru ada dalam Shahih al-Bukhari pada hadits no.1174. Ahmad juga meriwayatkan hadits yang seperti ini pada hadits no. 12003.

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa: “apa yang kubaca wahai Rasulullah, jika ziarah kubur?” Beliau bersabda: “Bacalah: “ Semoga keselamatan atas penghuni kubur dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita dan mereka yang akan menyusul. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian juga.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah pernah menziarahi kubur saudaranya bernama Abdul Rahman. Lalu ia ditanya: “Bukankah Nabi Saw, telah melarang ziarah kubur? ” Ia menjawab: “Ya, benar, Nabi Saw pernah melarang, lau kemudia beliau menyuruh ziarah kubur lagi.” (HR. Hakim).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa: “Abdul Rahman bin Abu Bakar meninggal dunia di Abessenia, lalu jenazahnya dibawa ke Mekah dan dikuburkan di sana. Ketika Aisyah tiba, ia mendatangi kubur saudaranya itu dan mengatakan: “Kami adalah teman sepanjang hidup tak pernah terpisahkaan. Ketika kematian memisahkan kami, maka aku dan Malik setelah lama berkumpul dan bergaul denganya, tak ada waktu lagi untuk bersamanya. Kemudian Aisyah berkata: “ Demi Allah seandainya aku hadir pada saat engkau dikuburkan dan ketika engkau menghembuskan nafas terakhirmu, niscaya aku tidak menziarahi kuburmu.” (HR. Turmidzi).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa boleh menziarahi kubur, baik laki-laki maupun perempuan. Dan hadits-hadits ini menasakh atau membatalkan hadits-hadits terdahulu di atas yang melarang ziarah kubur.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sebagian ulama yang membolehkan ziarah kubur bagi perempuan.
Al-Mubarakfuri pengarang Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Turmidzi, ketika mengomentari hadits dari Buraidah yang diriwatkan Turmidzi, mengatakan: “Kebolehan ziarah kubur, setelah sebelumnya dilarang adalah sebagai rukhsah atau keringanan. Kebolehan itu meliputi laki-laki dan perempuan. Menurut al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H/1477 M) bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ulama. Beliau menambahkan, kebolehan itu, jika perempuan terbebas dan aman dari fitnah (bahaya).”
Al-Qari dalam al-Marqah setelah menyebut hadits-hadits tersebut di atas, mengatakan: ‘Illat atau tujuan dibolehkannya ziarah kubur dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa hukum ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan sama saja, jika terpenuhi syarat-syarat bagi mereka. Adapun pengertian “Allah melaknat perempuan peziarah kubur” dapat ditakwil dengan pengertian yang berbuat hal-hal yang dilarang, seperti meratapi, dan lain-lain yang semacamnya.
Menurut al-Qurthubi (671 H) bahwa pengertian “laknat” dalam hadits ini ialah ziarah kubur yang terlalu sering. Hal ini dipahami dari sikap Aisyah, bahwa berulang-ulang menziarahi kubur saudaranya (Abdul Rahman bin Abu Bakar dalam hadits diatas) berarti kebanyakan ziarah, dan itulah yang dilarang. Maka Aisyah mengatakan: “Andaikan aku menghadiri saat wafatnya (Abdul Rahman) niscaya aku tidak menziarahi kuburnya, karena tidak mau ziarah kubur berulang kali.”
Dengan demikian, menurut pendapatku, jika persyaratan seperti disebutkan di atas telah terpenuhi bagi perempuan peziarah kubur, maka mereka boleh ziarah kubur, sebab dengan ziarah kubur akan mengingatkan atau membangkitkan kesadaran akan datangnya kematian dan alam akhirat. Dan ini merupakan kebutuhan bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan.[27]
Adapun menurut ulama’ yang kontra dengan tradisi ziarah kubur berpendapat bahwa makam yang boleh diziarahi hanyalah makam Nabi Muhammad saw saja. Sebab beliau dalah junjungan seluruh umat muslim dan manusia yang paling mulia. Maka, makam selain Rasulullah dilarang untuk diziarahi karena tidak ada kepentingan ataupun keutamaan yang di dapat setelah menziarahinya.[28] Hukum dari ziarah makam menjadi makruh bahkan sampai haram karena termasuk peerbuatan syirik.
Berangkat dari ikhtilaf ulama’ juga berpendapat bahwa tradisi ziarah makam merupakan bid’ah dan semua bid’ah mendapatkan siksa neraka. Hukum itu dianut oleh para ulama’ salafi yang mengajarkan bahwa Nabi Muhammad melarang berziarah kubur karena kondisi iman mereka dapat goyah dan menuju ke perbuatan syirik (menyekutukan Allah swt). Sedangkan ulama’ yang pro-tradisi ziarah kubur memberikan dalil bahwa Nabi Muhammad telah merubah hukum ziarah kubur yang tadinya dilarang kemudian diperbolehkan, sebab keadaan iman umat Islam sekarang telah kuat dan ziarah kubur akan mengingatkan mereka akan kematian serta akhirat. Sehingga dapat memperkuat iman umat Islam kepa Allah swt.
3.        Kesalahpahaman persepsi atar golongan
Kesalahpahaman muncul kurang mengertinya golongan pro dan kontra, golongan kontra menemukan ada unsur-unsur syirik dalam praktik ziarah makam. Antara lain: berdoa kepada para ahli kubur bukan kepada Allah swt, memberi persembahan atau sesaji, tawasul kepada ahli kubur, mensakralkan makam sebagai tempat ibadah dan ada unsur komersialisasi.
Sebenarnya masalah tersebut tidak diterapkan oleh masyarakat muslim ketika berziarah. Agama islam mengajarkan untuk berdoa dan meminta kepada Allah swt semata. Dengan berziarah ke makam para Nabi dan wali Allah berharap untuk mendapat barokah serta keselamatan di dunia dan akhirat, Ada oknum-oknum tertentu yang menyelewengkan tujuan dari ziarah itu sendiri, beberapa dari mereka tidak mengetahui hakikat tujuan dari tradis ziarah makam, sebab iman mereka begitu tipis. Pendapat inilah yang menjadi alasan para golongan kontra menjadikan salah persepsi.
4.        Kepentingan golongan
Egoisme dari golonga pro dan kontra menjadikan hubungan persaudaraan antar umat muslim menjadi renggang. Dari para ulama’ mereka memiliki perbedaan madzhab serta fatwa dari madzhab tersebut yang saling bertentangan. Berangkat dari perbedaan pendapat antar ulama’ Islam tentang hukum tradisi ziarah kubur (ikhtilaf), mendorong mereka untuk mempertahankan argument mereka. Di golongan pro memberi alasan bahwa ziarah dapat memperkuat keimanan masyarakat muslim dan mempermudah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedangkan di golongan kontra menyebutkan bahwa ada praktik syirik di dalamnya, tidak ada dalil, melenceng dari syariat agama Islam dan dapat mengikis iman seseorang.[29]
5.      Ketidaktahuan dalil ziarah kubur
Para golongan yang mendukug ziarah juga sering mengatakan bahwa mazhab Syafi’i, yang hampir sepenuhnya mendominasi di Indonesia, menggolongkan praktik datang ke kuburan sebagai tindakan yang dianjurkan (mundub atau mustahab), meskipun para ulama di Indonesia terkadang menambahkan syarat-syarat pada anjuran ini, khususnya yang berhubungan dengan kunjungan-kunjungan oleh perempuan.
6.      Adanya kesalahan tujuan tradisi ziarah kubur
Munculnya motif di luar tujuan ziarah, terlebih ketika sudah diiringi dengan praktik-praktik yang meniru tradisi pra-Islam, tak pelak bila ada sebagian orang menilai kegiatan ini merupakan kegiatan syirik. Terkadang para peziarah pun tidak memahami mana sebenarnya yang merupakan tuntunan Islam dan mana yang merupakan tradisi nenek moyang yang merupakan warisan dari tradisi kuno.[30]
Adapun tujuan ziarah keperkuburan berdasarkan syari’at agama Islam yakni mengingatkan manusia akan akhirat, bukan dikarenakan tujuan-tujuan tertentu . hanya saja dalam berziarah mempunyai aturan-aturan yang telah dianjurkan oleh Rasulullah Saw, seperti mengucapkan salam kepada ahli kubur dengan tujuan agar Allah mengampuni segala kesalahan ahli kubur yang mendahului.[31]
Dari definisi ziarah kubur adalah mendatanginya sewaktu-waktu untuk memohon rahmat Tuhan bagi orang yang ada didalam kubur, untuk menggali pelajaran dan peringatan supaya orang yang hidup ingat akan mati dan nasibnya diakhirat kelak.[32]
“Ziarah ke kubur adalah perbuatan yang dianjurkan untuk menimbulkan kesadaran hati dan mengingatkan kepada akhirat, terutama pada hari jum’at sehari sebelunya dan sehari sesudahnya. Para peziarah sebaiknya menyibukan diri dengan do’a, tadharu (berdo’a dengan khusyu dan merendah). Mengingat mereka telah mati serta membaca al-Qur’an untuk mengingat mereka. Yang demikian inilah sangat bermanfaat bagi si mayit. Selanjutnya kitab tersebut juga menerangkan bahwa “tidak ada bedanya dalam hal berziarah apakah tempat pemakaman itu dekat ataupun jauh, artinya bagi peziarah tidak ada masalah walaupun hanya memberikan do’a dengan jarak yang berjauhan atau di tempat pemakaman”.[33]
Makam yang menjadi perhatian para peziarah, khususnya kau muslim, biasanya merupakan makam orang-orang yang semasa hidupnya membawa misi kebaikan bagi masyarakatnya, yaitu: [34]
a.         Para Nabi dan pemimpin agama, mereka yang telah mengemban misi ketuhanan yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, serta menghaturkan darah para kekasih-Nya dan menanggung semua derita serta memperkenalkanya dengan ilmu-ilmu agama.
b.        Para wali, ulama, tokoh masyarakat, dan ilmuan besar, yang memberikan ilmu pengetahuan serta memperkenalkan manusia tehadap kitab suci serta ilmu alam dan ilmu ciptaan dan selalu menyelidiki ilmu-ilmu agama, kemanusiaan dan jalan tabiat.
c.         Kelompok orang-orang tertentu seperti sahabat, kerabat dan saudara terdekat, mereka yang mempunyai tali kasih atau pengorbanan semasa hidupnya yang memberikan kasih saying serta perjuangan pada orang-orang.


[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., hlm. 1543
[2]  Https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi, diunduh pada tanggal 22 Maret 2019 
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit., hlm. 1632
[4] A. W. Munawir, Kamus AL-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka. Progressif, 1997), hlm. 592
[5] Purwadi dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 3
[6] A. W. Munawir, op.cit, hlm. 1085
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit., hlm. 766
[8] M. Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Ziarah Kubur, (Semarang: Ar-Ridha, 1998), hlm.7
[9] M. Afnan Chafidh dan A. Ma’ruf Asrori, op.cit, hlm. 230
[10] Henri Chambrt-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 394
[11] M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat jawa: Kontestas Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Juli-Desember 2016), Vol. 14, No. 2, hlm. 207
[12] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib (6) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, Ancaman dan Dosa, diterjemahkan dari “Shahih at-Targhib wa at-Tarbib” oleh Izzudin Karimi, dkk, (Jakarta : Darul Haq, 2012), cet. 2, hlm. 27
[13] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib (6) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, Ancaman dan Dosa, hlm. 279
[14] Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3 ; Shahih Muslim 1, diterjemahkan oleh Ferdinand Hasmand dkk, (Jakarta : Almahira, 2012), hlm. 442
[15] Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3 ; Shahih Muslim 1, hlm. 442-443
[16] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin : Perjalanan Menuju Taman Surga, diterjemahkan dari Riyadhus Shalihin oleh Zenal Mutaqin dkk, (Surabaya : Jabal, 2013), Cet. 6, hlm. 22
[17] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin : Perjalanan Menuju Taman Surga, 6, hlm. 231-235
[18] Bintus Sami’ ar-rakily, 40 Hadits Shahih : Teladan Rasul dalam berziarah Kubur, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 4-5
[19] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), jilid IV, hlm. 171
[20] Bintus Sami’ ar-rakily, 40 Hadits Shahih : Teladan Rasul dalam berziarah Kubur, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 7-8
[21] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta : Lantabora Press – Jakarta Indonesia, 2005) Cet. 3, hlm. 223
[22] Ja’far Subhani, Tauhid Dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 7
[23] M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat jawa: Kontestas Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Juli-Desember 2016), Vol. 14, No. 2, hlm. 209
[24] Nakamura, Mitsuo. Tradisionalisme Radikal NU di Indonesia. (Surakarta:Hapsara, Tt), hlm. 2
[25] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, 1973), hlm. 84
[26] Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf, (Jakarta: Kalam mulia), 1994, hlm. 222
[27] Dr. Izzuddin Husain as-Syekh, Menyikapi Hadis- Hadis yang Saling Bertentangan, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 79-83
[28] Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman seputar Alam Barzah, Ziarah Kubur, dan Peringatan Hari-Hari besar Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 53
[29] Mahrus Ali, Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah para Wali, (Surabaya: Laa Tasyuk, 2007), hlm. 320
[30] M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat jawa: Kontestas Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Juli-Desember 2016), Vol. 14, No. 2, hlm. 210
[31] Yunika Wulandari, Tradisi Ziarah Kubur Puyang dan Implikasinya terhadap kehidupan sosial keagamaan di Desa Suka Banjar Kecamatan Muaradua Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan, 2018), hlm. 33
[32] Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf (Dari Syirik, Bid’ah Dan Khufarat), (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya), hlm. 44
[33] Ja’far Subhani,Tauhid Dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 222
[34] Syaikh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, (Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989), hlm 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...