A.
Latar Belakang
Hadits Nabawi adalah sumber kedua setelah al Quran yang diikuti
oleh Ijma’ dan juga Qiyas. Hadits tak bisa dipungkiri memiliki peranan yang
urgent sebagai sumber terhadap hukum-hukum Islam. Al Quran bisa difahami dan
didekati melalui hadits sehingga hadits berperan sebagai Mubayin, Muqoyyid,
Muwaddih al Musykil, Nasikh dan lain-lain bagi al-Qur’an.
Pada masa Rasulullah hidup hadits hanya diriwayatkan secara lisan
tanpa menggunakan tulisan. Sebab saat itu jika hadits ditulis dihawatirkan
redaksi-redaksinya tercampur dengan ayat al Quran. Meskipun demikian, ada
beberapa sahabat yang tetap menulis redaksi hadits untuk kepentingan pribadinya
bukan rujukan umum. Sebut saja Abdullah ‘Amr bin al-‘Ash.
Setelah Rasulullah wafat, dan banyak para sahabat penghafal hadits
yang meninggal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai merasa hawatir dan prihatin
terhadap hadits yang belum sepenuhnya ditulis. Kehawatiran inilah yang menjadi
langkah awal untuk pengkodifikasian hadits. Muhammad bin Syihab al-Zuhri
bertugas sebagai koordinator pengumpul hadits. Hadits yang terkumpul pada saat
itu belum terklasifikasi berdasarkann bab, kualitas, dan sebagainya. Namun,
masih bercampur dalam satu buku kumpulan hadits-hadits Nabi yang disebut al-Jawami’.