Jumat, 27 November 2015

PERKEMBANGAN ILMU MENURUT THOMAS S. KUHN (Sebagai Respon atas Pendapat Lingkaran Wina dan Karl Popper) filsafat ilmu



A.      PENDAHULUAN
Perkembangan Ilmu, merupakan hal menarik bagi para filsuf-filsuf untuk mengemukakan pendapatnya mengenai hal tersebut. Berbagai pendapat tersebut telah memberikan warna tersendiri, karena terkadang pendapat 1 filsuf dan filsuf lainnya saling mengkritik.

Vienna Circle (lingkaran Wina) misalnya, proses Verifikasi dan Konfirmasi-eksperimentasi merupakan langkah dan proses perkembangan ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang disebut dengan ilmu dengan yang bukan ilmu.[1] Ini semua merupakan pandangan yang dikemukakan oleh Vienna Circle tentang perkembnag ilmu, dimana lingkaran wina dalam hal ini mencari garis pemisah antara ilmu dan bukan ilmu. Pemisahan tersebut sesuai dengan apa yang  dikemukakan oleh tokoh-tokoh yang terkumpul dalam lingkaran wina tersebut yang menyatakan bahwa, “yang bermakna (meaningfull) dengan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi”.[2] Artinya, sebuah pengetahuan atau temuan apabila dapat diverifikasi maka temuan dan pengetahuan hasil dari peneltian tersebut bermakna, begitu juga sebaliknya, jika pengetahuan atau temuan tidak dapat diverifikasi maka temuan dan pengetahuan tersebut tidak dapat di verifikasi. Dan yang lebih harus diperhatikan lagi adalah prinsip Verifikasi yang di usung oleh para tokoh-tokoh filsuf dalam lingkaran wina, mereka menyatakan bahwa “Proposisi adalah bermana jika ia dapat diuji dengan pengalaman.[3]
Akan tetapi, tidak begitu dengan Popper, yang memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, seseorang yang mengenal anggota lingkaran Wina akan tetapi belum popper menjadi anggota dari lingkaran wina tersebut, justru memberikan komentar atas pendapat lingkaran wina. Falsifikasi begitulah Popper memberikan teorinya atau (proses eksperimenrtasi untuk membuktikan salah dari suatu teori ilmu), dan refutasi (penyangkalan teori).[4] Falsifikasi dan Refutasi merupakan proses perkembangan ilmu yang dikemukakan oleh Popper, dimana proses perkembangan ilmu menurutnya harus mengandung salah.
Dari kedua pendapat diatas, ternyata masih ada filsuf yang melirik dan memberikan komentar atau respon terhadap kedua pendapat diatas, Thomas S Kuhn begitulah namanya, Kuhn memberikan respon dari pandangan mereka tentang perkembangan ilmu. Walaupun kedua pendapat tersebut memiliki sedikit persamaan, akan tetapi dalam hal ini Kuhn mencoba untuk memberika respon.
 Inilah yang akan menjadi pembahasan kami pada makalah yang berjudul “Perkembangan Ilmu menurut Thomas S Kuhn”.  
B.       SEJARAH SINGKAT THOMAS S KUHN
Thomas Samuel Kuhn, nama yang lebih dikenal dengan singkatan pada kata Samuel nya, Thomas S Kuhn, terlahir pada 18 Juli 1922, he was an American Physicist, Historian, and Philoshoper Science.
            Kiprahnya dalam dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi, berbagai gelar dari berbagai macam instansi dan kiprahnya sebagai seorang dosen telah meninggalkan berbagai macam karya dari hasil pena-nya, hingga saat ini saat dirinya telah tiada, akan tetapi karyanya selalu ada.
17 juni 1996, paada umurnya yang telah menginjak 73 tahun telah tiada. Penyakit kanker selama beberaa tahun telah menggrogoti kehidupannya. Sehingga tiba pada ajalnya, akan tetapi tidak begitu dengan karya nya, karya nya kan selalu ada. Salah satu buku yang fenomenal dan termasyhur “The  Structure Of  cientific Revolution”


C.      Paradigma dan Konstruksi Komunitas Ilmiah
Temuan-temuan Kuhn kemudian diterbitkan dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutins, yang memang cukup mengguncang dominasi paradigma positivistik. Di dalam bukunya itu, ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebeneran-kebneran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki di dala ilmu. Dengan memakai istilah “paradigma”, ia bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiah nyata, termasuk di dalamnya hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi, yang menyediakan model-model, yang menjadi sumber konsistensi dari tradisi riset ilmiah tertentu. Menurut Kuhn, tradisi-tradisi inilah yang oleh sjarah ditempatkan di dalam rubik-rubik seperti “Ptolemic Astronomy” (atau copernican), “Aristotelian dynamic” (atau Newtonian), “Corpuscular optics” (atau wave optics) dan sebagainya.
Pandangan Kuhn ini telah membuat dirinya tampil sebagai prototipe pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuwan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme memang lebih mengarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan hukum sosial yang bersifat universal , yang dapat dibangun oleh rasio. Mereka kurang begitu berminat untuk melihat faktor historis yang ikut berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang dianggap sebagai unversal tersebut.
Fokus pemikiran Kuhn ini memang menentang pendapat golongan realis yang mengatakan bahwa sains-fisika dalam sejarahnya berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta bebas konteks. Sebaliknya ia menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku melalui apa yang disebut paradigma ilmu. Menurut Kuhn, paradigma ilmu adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara memnadang dan memahami alam, yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai pandangan dunia (world view) nya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang melaluinya ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tesebut.
Paradigma ilmu dapat dianggap sebagai suatu skema kognitif yang dimiliki bersama. Sebagaimana skema kognitif itu memberi kita, sebagai individu suatu cara untuk mengerti alam sekeliling, maka suatu paradigma ilmu memberi sekumpulan ilmuwan itu suatu cara memahami alam ilmiah. Bila seorang ilmuwan memperhatikan suatu fenomena dan menafsirkan apa makna pemerhatiannya itu, ilmuwan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk membmberi makna bagi pemerhatiannya itu, ilmuwan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk memberi makna bagi pemerhatiannya itu. Kuhn menamakan sekumpulan ilmuwan yang telah memilih pandang bersama  tentang alam (yakni paradigma ilmu bersama) sebagai suatu komunitas ilmiah”. Istilah komunitas ilmiah bukan berarti  sekumpulan ilmuwan yang bekerja dalam suatu tempat. Suatu komunitas ilmiah yang memiliki suatu paradigma bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan.
Dengan demikian, paradigma itu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan, mengungkap, dan memahami alam.berdasarkan bukti-bukti dari sejarah ilmu, Kuhn menympulkan bahwa faktor historis yakni faktor nonmatematis-positivistik , secara utuh. Temuan Kuhn ini, denga begitu, memperkuat alur pemikiran bahwa sains bukannya value natural, seperti yang terjadi dalam pemecahan persoalan-persoalan matematis, tetapi sebaliknya ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah value laden, yang erat terkait dengan nilai-nilai sosio-kultural, nilai-nilai budaya, petimbangan politik praktis dan lain sebagainya. Atas pandangannya yang subjektifitas, dalam arti konstruksi sosio kultural dari komunitas illmiah yang berwujud paradigma ilmu, filsafat ilmu Kuhn disebut oleh kalangan positivis sebagai psychology of discovery, yang dibedakan dengan logic of discovery sebaimana positivis.
Konsekuensi lebih jauh dari pandangan Kuhn, bahwa metode ilmiah (dalam hal ini, proses observasi, eksperimeentasi, dedukasi dan konklusi yang diidealisikan) yang menjadi dasar kebanyakan klaim ilmu akan objektivitas dan universalitas , telah berubah hanya menjadi semacam illusi. Bagi Kuhn, paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertayaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan “fakta”: dengan tiadanya paradigma atau cara paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan. Akibatnya, pengumpulan fakta hampir semuanya merupaka aktivitas acak.

D.      Proses Perkembangan Ilmu dalam pandangan Thomas S Kuhn
Sebelum memasuki pembahasan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu dalam pandangan Kuhn, maka sedikit dibawah ini akan membahas tentang makna “ilmu” itu sendiri.
 The story of science is become in two aspects, frist is internas history an second is eksternal history. From the internal history mean that the historian sciences should be learned from textbooks and journal of period of his studies. [5]  And the external history mean the topic which has, however evoked the greatest activity and attention is the development of science in seventeenth-century England. Because it has become the center of vociferous debate both about the origin of modern science and propriate focus for separate discussion.[6]  
Menurut Kuhn, proses perkembangan ilmu manusia tidak dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut –keadaan- “normal science” dan “revolutionary science”. Semua ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam textbook adalah termasuk dalam wilayah “sains normal”  (normal science). Sains normal bermakna penyelidikan yang dibuat oleh suatu komunitas ilmiah dalam usahanya menafsirkan alam ilmiah melalui paradigma ilmiahnya. Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari ilmuwan untuk menundukan alam masuk ke dalam kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh paradigma ilmiah dan, untuk menjelaskan, diumpamakan sains normal itu sebagai dapat menyelesaikan masalah teka-teki. Sebagaimana penyelesaian-penyelesaian masalah teka-teki menggunakan gambar pada kotak untuk membimbingnya dalam menyelesaikan teka-teki itu, maka suatu paradigma ilmiah memberi komunitas ilmiah suatu gambaran tentang bagaimana sepatutnya bentuk dunia ilmiah mereka, yang dengan begitu semua serpihan-serpihan penyelidikan ilmiah digabungkan satu sama lain. Kemajuan dalam sains normal diukur menurut banyaknya serpihan dari teka-teki yang telah dikumpulkan (yakni berapa banyak lingkungan ilmiah yang dapat diamati dan dipahami oleh komunitas ilmiah tersebut). Semakin banyak lingkungan ilmiah dapat diterangkan oleh suatu komunitas ilmiah semakin besar pula kemajuan dicapainya. Begitulah “paradigma” berkaitan erat dengan sains normal.
Dalam wilayah “normal science” ini bisa saja ada banyak persoalan yang tidak dapat terselesaikan, dan bahkan inkonsistensi. Inilah yang oleh Kuhn disebut anomalies, keganjilan-keganjilan, ketidaktepatan, ganjalan-ganjalan, penyimpangan-penyimpangan dari yang biasa, suatu keadaan yang yang sering kali tidak dirasakan bahkan tidak diketahui oleh para pelaksana di lapangan. Kebiasaan memecahkan persoalan lewat cara-cara yang biasa berlaku secara konvensional, cara-cara standar, cara-cara yang sudah terbakukan dan mapan, ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi yang ada di lapangan. Oleh karena terkurung oleh rutinitas, para praktisi tersebut biasanya dan sering kali tidak menyadari adanya anomaly-anomali yang melekat dalam wilayah “normal science”. Anomalies tidak dapat dipecahkan secara tuntas dalam wilayah “normal science”. Hany kalangan peneliti serius tertentu, para pengamat, dan kritikus yang secara relatif mengetahui adanya anomalies tersebut. Mereka inilah pelaku dari apa yang disebut sains luar biasa.
Sains luar biasa berlaku bila dalam perjalanan sains normal, suatu komunitas ilmiah mulai mengumpulkan data yang tidak sejalan dengan pandangan paradigma mereka terhadap alam. Bila suatu komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya, maka sejenak itu ia memasuki keadaan krisis. Usaha komunitas untuk menyelesaikan krisis adalah proses sains luar biasa. Krisis berlaku setelah lama mengalami sains normal dan merupakan frase yang harus dilalui menuju kemajuan ilmiah. Krisis adalah suatu mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa kekakuan pada fase sains normal tidak akan berkelanjutan. Persoalan yang selalu dicari jawabannya oleh anggota komunitas ilmiah adalah: “mana paradigma yang membolehkan kita menyelesaikan teka-teki yang berhasil.”
Jika anomalies yang kecil-kecil tersebut terakumulasi dan menjadi terasa begitu akut sehingga pada saatnya ditemukan pemecahan yang lebih memuaskan oleh para ilmuwan. Artinya suatu komunitas ilmiah kemudian dapat menyelesaikan keadaan krisisnya dengan menyusun diri di sekeliling suatu paradigma baru, maka terjadilah apa yang disebut Kuhn dengan “revolusi sains” (revolutionary sciences). Di sini, para ilmuwan yang turut mengambil bagian dalam revolusi itu mengalami perputaran serupa gestalt dalam cara-cara mereka mengamati dan memahami alam:
“It is rather as if the professional community had been suddenly transported to another planet where familiar object are seen in a different light and are joined by unfamiliar ones as well … after a revolution, scientists are responding to a different world.”
Sesudah suatu komunitas ilmiah mengalami revolusi dan perputaran serupa gestalt yang menyertainya, maka kemajuan menyelesaikan teka-teki yang dicapai pada fase sains normal haruslah dinilai dari keadaan baru sebab gambarannya sudah berubah. Bila suatu komunitas ilmiah menyusun diri kembali di sekeliling suatu paradigma baru,maka ia memilih nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa-bahasa, dan cara-cara mengamati da memahami alam ilmiahnya dengan cara baru. Inilah proses pergeseran paradigma (shifting paradigm) terjadi, yakni suatu proses dari keadaan “normal science” ke wilayah “revolutionary science”. Cara pemecahan persoalan model lama ditinggalkan dan menuju cara pemahaman dan pemecahan yang baru. Mereka yang bekerja di dalam paradigma  umum dan dogmatis menggunakan sumber dayanya untuk menyempurnakan teori, menjelaskan data-data yang membingungkan, menetapkan ukuran-ukuran standar yang terus meningkat, dan melakukan kerja lain yang diperlukan untuk memperluas batas-batas ilmu normal.
Dalam periode “revolutionary science”, hampir semua kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persoalan, cara berpikir, cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya. Sudah barang tentu, khazanah intelektual yang lama masih dapat dimanfaatkan sejauh ia masih menyentuh persoalan yang dihadapi. Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahka  persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan, seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru, yang timbul akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri. Anomalies seperti digambarkan ini misalnya yang terjadi pada pola dan tata cara pemecahan masalah yang diajukan Newton kemudian dikoreksi dan disempurnakan oleh Einsten.
Dalam ‘skema Kuhn’ di atas terlihat bahwa suatu stabilitas dogmatis dapat diselingi oleh revolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Ia menggambarkan bermulanya ilmu revolusioner secara gamblang: “Sains normal… sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversive terhadap komitmen dasarnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomaly-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada…”, maka dimulailah investigasi yang berada di luar kedzaliman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan dengan revolusi dimana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun, apa yang sebelumnya pernah revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapandan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuh, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dab kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.
Hal ini tentu saja berbeda dengan image tradisional tentang ilmu sebagai penerimaan atas pengetahuan secara progresif, gradual dan kumulatif yang didasarkan pada kerangka eksperimental yang dipilih secara rasional, Kuhn menunjukkan ilmu normal sebagai upaya dogmatis, jika kita menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan zaman seperti dinamika Aristotelian, kimia flogistis, atau termodinamika kalori sebagai mitos, menurut Kuhn, kita bisa bersama-sama bersikap logis untuk menganggap teori-teori saat ini sebagai irrasional dan dogmatis:
“Jika keyakinan-keyakinan yang kadaluarsa itu hendak disebut mitos-mitos, maka mitos-mitos itu bisa dibasikan lewat jenis-jenis metode yang sama dan berlaku untuk jenis-jenis rasio yang sama yang kini mengarahkan ilmu pengetahuan ilmiah. Jika di lain pihak semua itu disebut ilmu, maka ilmu telah mencakup bangunan-bangunan keyakinan yang sangat tidak sesuai dengan bangunan-bangunan yang kita percayai saat ini… (ini) menyulitkan kita untuk melihat perkembangan ilmiah sebagai proses akumulasi.”
Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori dan eksperimen baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi denga yang lama. Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Kuhn, berlangsung di dalam rubrik “sains normal”, yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks, dan yang mensyaratkan agar riset “didasarkan pada satu pencapaian ilmiah masa silam atau lebih, pencapaian-pencapaian yang dakui sementara waktu oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai dasar bagi praktek selanjutnya.” Ilmu yang restriktif dan bersifat pemecahan masalah secara tertutup ini memiliki kekurangan maupun kelebihannya. Di satu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan data berdasarkan suatu basis sistematis dan secara cepat memperluas batas-batas ilmu. Dan di lain pihak, sains normal mengisolasi komunitas ilmiah dari segala sesuatu yang berada di luar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara sosial, yang tak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki akan dikesampingkan, dan apapun yang berada di  luar lingkup konseptual dan instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.
E.       Penutup
Maka dapat kami simpulkan bahwasannya paradigma ilmu dalam pandangan Thomas Kuhn adalah sebagai berikut:
1.      suatu kerangka teoritis atau suatu caara memahami alam ilmiah.
2.      sebagai lensa yang melaluinya ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing.
3.      suatu skema kognitif yang dimiliki bersama.
4.      memberi sekumpulan ilmuwan itu suatu cara memahami alam ilmiah.
5.      Dengan demikian, paradigma itu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan, mengungkap, dan memahami alam.berdasarkan bukti-bukti dari sejarah ilmu.
6.      Bagi Kuhn, paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertayaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting.
Adapun perkembangan ilmu meurut Kuhn yang dijadikannya sebagai respon atas lingkaran wina dan Popper adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Kuhn, proses perkembangan ilmu manusia tidak dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut –keadaan- “normal science” dan “revolutionary science”.
2.      Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari ilmuwan untuk menundukan alam masuk ke dalam kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh paradigma ilmiah dan, untuk menjelaskan, diumpamakan sains normal itu sebagai dapat menyelesaikan masalah teka-teki.
3.      Bila suatu komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya, maka sejenak itu ia memasuki keadaan krisis. Usaha komunitas untuk menyelesaikan krisis adalah proses sains luar biasa.
4.      Krisis adalah suatu mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa kekakuan pada fase sains normal tidak akan berkelanjutan. Persoalan yang selalu dicari jawabannya oleh anggota komunitas ilmiah adalah: “mana paradigma yang membolehkan kita menyelesaikan teka-teki yang berhasil.”
5.      Dalam ‘skema Kuhn’ terlihat bahwa suatu stabilitas dogmatis dapat diselingi oleh revolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Ia menggambarkan bermulanya ilmu revolusioner secara gamblang: “Sains normal… sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversive terhadap komitmen dasarnya…

Inilah yang dapat kami simpulkan sebagai penjelasan dari perkembangan ilmu dalam pandangan Kuhn yang juga untuk memberikan respon untuk pernyataaan Lingkaran Wina dan Popper.


REFERENSI

Kuhn, Thomas S., The Essential Tension,(Chicago: Chicago Press, London).
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of Chicago Press)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Belukar).




[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2013),  hal. 126       
[2] Ibid. hal. 114
[3] Ibid. hal. 114
[4] Ibid. hal. 126
[5] Thomas S Kuhn, The Essential Tension, Chicago Press, London, P. 110
[6] Ibid. P. 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...