A.
PENDAHULUAN
Perkembangan
Ilmu, merupakan hal menarik bagi para filsuf-filsuf untuk mengemukakan
pendapatnya mengenai hal tersebut. Berbagai pendapat tersebut telah memberikan
warna tersendiri, karena terkadang pendapat 1 filsuf dan filsuf lainnya saling
mengkritik.
Vienna
Circle (lingkaran Wina) misalnya, proses
Verifikasi dan Konfirmasi-eksperimentasi merupakan langkah dan proses
perkembangan ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang disebut
dengan ilmu dengan yang bukan
ilmu.[1]
Ini semua merupakan pandangan yang dikemukakan oleh Vienna Circle tentang
perkembnag ilmu, dimana lingkaran wina dalam hal ini mencari garis pemisah
antara ilmu dan bukan ilmu. Pemisahan tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh yang terkumpul
dalam lingkaran wina tersebut yang menyatakan bahwa, “yang bermakna
(meaningfull) dengan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan
untuk diverifikasi”.[2]
Artinya, sebuah pengetahuan atau temuan apabila dapat diverifikasi maka
temuan dan pengetahuan hasil dari peneltian tersebut bermakna, begitu juga
sebaliknya, jika pengetahuan atau temuan tidak dapat diverifikasi maka temuan
dan pengetahuan tersebut tidak dapat di verifikasi. Dan yang lebih harus
diperhatikan lagi adalah prinsip Verifikasi yang di usung oleh para
tokoh-tokoh filsuf dalam lingkaran wina, mereka menyatakan bahwa “Proposisi
adalah bermana jika ia dapat diuji dengan pengalaman.[3]
Akan
tetapi, tidak begitu dengan Popper, yang memiliki nama lengkap Karl Raimund
Popper, seseorang yang mengenal anggota lingkaran Wina akan tetapi belum popper
menjadi anggota dari lingkaran wina tersebut, justru memberikan komentar atas
pendapat lingkaran wina. Falsifikasi begitulah Popper memberikan teorinya atau
(proses eksperimenrtasi untuk membuktikan salah dari suatu teori ilmu), dan
refutasi (penyangkalan teori).[4]
Falsifikasi dan Refutasi merupakan proses perkembangan ilmu yang dikemukakan
oleh Popper, dimana proses perkembangan ilmu menurutnya harus mengandung salah.
Dari
kedua pendapat diatas, ternyata masih ada filsuf yang melirik dan memberikan
komentar atau respon terhadap kedua pendapat diatas, Thomas S Kuhn begitulah
namanya, Kuhn memberikan respon dari pandangan mereka tentang perkembangan
ilmu. Walaupun kedua pendapat tersebut memiliki sedikit persamaan, akan tetapi
dalam hal ini Kuhn mencoba untuk memberika respon.
Inilah yang akan menjadi pembahasan kami pada
makalah yang berjudul “Perkembangan Ilmu menurut Thomas S Kuhn”.
B.
SEJARAH SINGKAT THOMAS S KUHN
Thomas
Samuel Kuhn, nama yang lebih dikenal dengan singkatan pada kata Samuel nya, Thomas
S Kuhn, terlahir pada 18 Juli 1922,
he was an American Physicist, Historian, and Philoshoper Science.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan
sudah tidak diragukan lagi, berbagai gelar dari berbagai macam instansi dan
kiprahnya sebagai seorang dosen telah meninggalkan berbagai macam karya dari
hasil pena-nya, hingga saat ini saat dirinya telah tiada, akan tetapi karyanya
selalu ada.
17
juni 1996, paada umurnya yang telah menginjak 73 tahun telah tiada.
Penyakit kanker selama beberaa tahun telah menggrogoti kehidupannya.
Sehingga tiba pada ajalnya, akan tetapi tidak begitu dengan karya nya, karya
nya kan selalu ada. Salah satu buku yang fenomenal dan termasyhur “The Structure Of
cientific Revolution”
C.
Paradigma dan Konstruksi Komunitas Ilmiah
Temuan-temuan
Kuhn kemudian diterbitkan dalam karyanya The Structure of Scientific
Revolutins, yang memang cukup mengguncang dominasi paradigma positivistik. Di
dalam bukunya itu, ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah
berwatak pemberani yang menemukan kebeneran-kebneran baru. Mereka lebih mirip
para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan.
Kuhn memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan sistem keyakinan yang
mendasari upaya pemecahan teka-teki di dala ilmu. Dengan memakai istilah
“paradigma”, ia bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima
tentang praktek ilmiah nyata, termasuk di dalamnya hukum, teori, aplikasi, dan
instrumentasi, yang menyediakan model-model, yang menjadi sumber konsistensi
dari tradisi riset ilmiah tertentu. Menurut Kuhn, tradisi-tradisi inilah yang
oleh sjarah ditempatkan di dalam rubik-rubik seperti “Ptolemic Astronomy” (atau
copernican), “Aristotelian dynamic” (atau Newtonian), “Corpuscular optics”
(atau wave optics) dan sebagainya.
Pandangan
Kuhn ini telah membuat dirinya tampil sebagai prototipe pemikir yang mendobrak
keyakinan para ilmuwan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme memang
lebih mengarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan hukum sosial yang bersifat
universal , yang dapat dibangun oleh rasio. Mereka kurang begitu berminat untuk
melihat faktor historis yang ikut berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang
dianggap sebagai unversal tersebut.
Fokus
pemikiran Kuhn ini memang menentang pendapat golongan realis yang mengatakan
bahwa sains-fisika dalam sejarahnya berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta
bebas konteks. Sebaliknya ia menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku
melalui apa yang disebut paradigma ilmu. Menurut Kuhn, paradigma ilmu adalah
suatu kerangka teoritis, atau suatu cara memnadang dan memahami alam, yang
telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai pandangan dunia (world view)
nya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang melaluinya ilmuwan dapat
mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan
jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tesebut.
Paradigma
ilmu dapat dianggap sebagai suatu skema
kognitif yang dimiliki bersama. Sebagaimana skema kognitif itu memberi kita,
sebagai individu suatu cara untuk mengerti alam sekeliling, maka suatu
paradigma ilmu memberi sekumpulan ilmuwan itu suatu cara memahami alam ilmiah.
Bila seorang ilmuwan memperhatikan suatu fenomena dan menafsirkan apa makna
pemerhatiannya itu, ilmuwan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk membmberi makna bagi
pemerhatiannya itu, ilmuwan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk memberi
makna bagi pemerhatiannya itu.
Kuhn menamakan sekumpulan ilmuwan yang telah memilih pandang bersama tentang alam (yakni paradigma ilmu bersama)
sebagai suatu komunitas ilmiah”. Istilah komunitas ilmiah bukan berarti sekumpulan ilmuwan yang bekerja dalam suatu
tempat. Suatu komunitas ilmiah yang memiliki suatu paradigma bersama tentang
alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi,
tujuan-tujuan, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan.
Dengan
demikian, paradigma itu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas
ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan, mengungkap, dan memahami
alam.berdasarkan bukti-bukti dari sejarah ilmu, Kuhn menympulkan bahwa faktor
historis yakni faktor nonmatematis-positivistik , secara utuh. Temuan Kuhn ini,
denga begitu, memperkuat alur pemikiran bahwa sains bukannya value natural,
seperti yang terjadi dalam pemecahan persoalan-persoalan matematis, tetapi
sebaliknya ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah value laden, yang erat terkait
dengan nilai-nilai sosio-kultural, nilai-nilai budaya, petimbangan politik
praktis dan lain sebagainya. Atas pandangannya yang subjektifitas, dalam arti konstruksi
sosio kultural dari komunitas illmiah yang berwujud paradigma ilmu, filsafat
ilmu Kuhn disebut oleh kalangan positivis sebagai psychology of discovery, yang
dibedakan dengan logic of discovery sebaimana positivis.
Konsekuensi
lebih jauh dari pandangan Kuhn, bahwa metode ilmiah (dalam hal ini, proses
observasi, eksperimeentasi, dedukasi dan konklusi yang diidealisikan) yang
menjadi dasar kebanyakan klaim ilmu akan objektivitas dan universalitas , telah
berubah hanya menjadi semacam illusi. Bagi Kuhn, paradigmalah yang menentukan
jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertayaan yang
mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma
tertentu, para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan “fakta”: dengan tiadanya
paradigma atau cara paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan
perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan. Akibatnya,
pengumpulan fakta hampir semuanya merupaka aktivitas acak.
D.
Proses Perkembangan Ilmu dalam pandangan Thomas S Kuhn
Sebelum
memasuki pembahasan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu dalam pandangan
Kuhn, maka sedikit dibawah ini akan membahas tentang makna “ilmu” itu sendiri.
The story of science is
become in two aspects, frist is internas history an second is eksternal
history. From the internal history mean that the historian sciences should be
learned from textbooks and journal of period of his studies. [5] And the external history mean the topic which
has, however evoked the greatest activity and attention is the development of
science in seventeenth-century England. Because it has become the center of
vociferous debate both about the origin of modern science and propriate focus
for separate discussion.[6]
Menurut Kuhn, proses perkembangan
ilmu manusia tidak dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut –keadaan- “normal
science” dan “revolutionary science”. Semua ilmu pengetahuan yang
telah tertulis dalam textbook adalah termasuk dalam wilayah “sains normal” (normal science). Sains normal
bermakna penyelidikan yang dibuat oleh suatu komunitas ilmiah dalam usahanya
menafsirkan alam ilmiah melalui paradigma ilmiahnya. Sains normal adalah usaha
sungguh-sungguh dari ilmuwan untuk menundukan alam masuk ke dalam kotak-kotak
konseptual yang disediakan oleh paradigma ilmiah dan, untuk menjelaskan,
diumpamakan sains normal itu sebagai dapat menyelesaikan masalah teka-teki.
Sebagaimana penyelesaian-penyelesaian masalah teka-teki menggunakan gambar pada
kotak untuk membimbingnya dalam menyelesaikan teka-teki itu, maka suatu
paradigma ilmiah memberi komunitas ilmiah suatu gambaran tentang bagaimana
sepatutnya bentuk dunia ilmiah mereka, yang dengan begitu semua serpihan-serpihan
penyelidikan ilmiah digabungkan satu sama lain. Kemajuan dalam sains normal
diukur menurut banyaknya serpihan dari teka-teki yang telah dikumpulkan (yakni
berapa banyak lingkungan ilmiah yang dapat diamati dan dipahami oleh komunitas
ilmiah tersebut). Semakin banyak lingkungan ilmiah dapat diterangkan oleh suatu
komunitas ilmiah semakin besar pula kemajuan dicapainya. Begitulah “paradigma”
berkaitan erat dengan sains normal.
Dalam wilayah “normal science” ini
bisa saja ada banyak persoalan yang tidak dapat terselesaikan, dan bahkan
inkonsistensi. Inilah yang oleh Kuhn disebut anomalies, keganjilan-keganjilan,
ketidaktepatan, ganjalan-ganjalan, penyimpangan-penyimpangan dari yang biasa,
suatu keadaan yang yang sering kali tidak dirasakan bahkan tidak diketahui oleh
para pelaksana di lapangan. Kebiasaan memecahkan persoalan lewat cara-cara yang
biasa berlaku secara konvensional, cara-cara standar, cara-cara yang sudah
terbakukan dan mapan, ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi yang ada di
lapangan. Oleh karena terkurung oleh rutinitas, para praktisi tersebut biasanya
dan sering kali tidak menyadari adanya anomaly-anomali yang melekat dalam
wilayah “normal science”. Anomalies tidak dapat dipecahkan secara tuntas dalam
wilayah “normal science”. Hany kalangan peneliti serius tertentu, para
pengamat, dan kritikus yang secara relatif mengetahui adanya anomalies
tersebut. Mereka inilah pelaku dari apa yang disebut sains luar biasa.
Sains luar biasa berlaku bila dalam
perjalanan sains normal, suatu komunitas ilmiah mulai mengumpulkan data yang
tidak sejalan dengan pandangan paradigma mereka terhadap alam. Bila suatu
komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya, maka sejenak
itu ia memasuki keadaan krisis. Usaha komunitas untuk menyelesaikan krisis
adalah proses sains luar biasa. Krisis berlaku setelah lama mengalami sains
normal dan merupakan frase yang harus dilalui menuju kemajuan ilmiah. Krisis
adalah suatu mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa kekakuan pada fase
sains normal tidak akan berkelanjutan. Persoalan yang selalu dicari jawabannya
oleh anggota komunitas ilmiah adalah: “mana paradigma yang membolehkan kita
menyelesaikan teka-teki yang berhasil.”
Jika anomalies yang kecil-kecil
tersebut terakumulasi dan menjadi terasa begitu akut sehingga pada saatnya
ditemukan pemecahan yang lebih memuaskan oleh para ilmuwan. Artinya suatu
komunitas ilmiah kemudian dapat menyelesaikan keadaan krisisnya dengan menyusun
diri di sekeliling suatu paradigma baru, maka terjadilah apa yang disebut Kuhn
dengan “revolusi sains” (revolutionary sciences). Di sini, para ilmuwan
yang turut mengambil bagian dalam revolusi itu mengalami perputaran serupa
gestalt dalam cara-cara mereka mengamati dan memahami alam:
“It is rather as if the professional
community had been suddenly transported to another planet where familiar object
are seen in a different light and are joined by unfamiliar ones as well … after
a revolution, scientists are responding to a different world.”
Sesudah suatu komunitas ilmiah
mengalami revolusi dan perputaran serupa gestalt yang menyertainya, maka
kemajuan menyelesaikan teka-teki yang dicapai pada fase sains normal haruslah
dinilai dari keadaan baru sebab gambarannya sudah berubah. Bila suatu komunitas
ilmiah menyusun diri kembali di sekeliling suatu paradigma baru,maka ia memilih
nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa-bahasa, dan cara-cara mengamati
da memahami alam ilmiahnya dengan cara baru. Inilah proses pergeseran paradigma
(shifting paradigm) terjadi, yakni suatu proses dari keadaan “normal
science” ke wilayah “revolutionary science”. Cara pemecahan persoalan model
lama ditinggalkan dan menuju cara pemahaman dan pemecahan yang baru. Mereka
yang bekerja di dalam paradigma umum dan
dogmatis menggunakan sumber dayanya untuk menyempurnakan teori, menjelaskan
data-data yang membingungkan, menetapkan ukuran-ukuran standar yang terus
meningkat, dan melakukan kerja lain yang diperlukan untuk memperluas
batas-batas ilmu normal.
Dalam periode “revolutionary
science”, hampir semua kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom,
cara penyelesaian persoalan, cara berpikir, cara mendekati persoalan berubah
dengan sendirinya. Sudah barang tentu, khazanah intelektual yang lama masih
dapat dimanfaatkan sejauh ia masih menyentuh persoalan yang dihadapi. Tetapi,
jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat
digunakan untuk memecahka persoalan yang
datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan, seperangkat cara, rumusan dan
wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru,
yang timbul akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang berakibat pula pada
perluasan wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri. Anomalies seperti
digambarkan ini misalnya yang terjadi pada pola dan tata cara pemecahan masalah
yang diajukan Newton kemudian dikoreksi dan disempurnakan oleh Einsten.
Dalam ‘skema Kuhn’ di atas terlihat
bahwa suatu stabilitas dogmatis dapat diselingi oleh revolusi-revolusi yang
sesekali terjadi. Ia menggambarkan bermulanya ilmu revolusioner secara
gamblang: “Sains normal… sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena
mereka pasti bersifat subversive terhadap komitmen dasarnya…(namun) ketika
profesi tak bisa lagi mengelak dari anomaly-anomali yang merongrong tradisi praktek
ilmiah yang sudah ada…”, maka dimulailah investigasi yang berada di luar
kedzaliman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan dengan
revolusi dimana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru.
Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun, apa yang sebelumnya
pernah revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapandan menjadi ortodoksi
baru, dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuh, ilmu berkembang
melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi
oleh sains normal dab kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma
bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.
Hal ini tentu saja berbeda dengan image
tradisional tentang ilmu sebagai penerimaan atas pengetahuan secara progresif,
gradual dan kumulatif yang didasarkan pada kerangka eksperimental yang dipilih
secara rasional, Kuhn menunjukkan ilmu normal sebagai upaya dogmatis, jika kita
menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan zaman seperti dinamika
Aristotelian, kimia flogistis, atau termodinamika kalori sebagai mitos, menurut
Kuhn, kita bisa bersama-sama bersikap logis untuk menganggap teori-teori saat
ini sebagai irrasional dan dogmatis:
“Jika keyakinan-keyakinan yang
kadaluarsa itu hendak disebut mitos-mitos, maka mitos-mitos itu bisa dibasikan
lewat jenis-jenis metode yang sama dan berlaku untuk jenis-jenis rasio yang
sama yang kini mengarahkan ilmu pengetahuan ilmiah. Jika di lain pihak semua
itu disebut ilmu, maka ilmu telah mencakup bangunan-bangunan keyakinan yang
sangat tidak sesuai dengan bangunan-bangunan yang kita percayai saat ini… (ini)
menyulitkan kita untuk melihat perkembangan ilmiah sebagai proses akumulasi.”
Pergeseran paradigma mengubah
konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar
pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori dan
eksperimen baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi denga yang
lama. Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Kuhn, berlangsung di dalam rubrik
“sains normal”, yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks, dan yang
mensyaratkan agar riset “didasarkan pada satu pencapaian ilmiah masa silam atau
lebih, pencapaian-pencapaian yang dakui sementara waktu oleh komunitas ilmiah
tertentu sebagai dasar bagi praktek selanjutnya.” Ilmu yang restriktif dan
bersifat pemecahan masalah secara tertutup ini memiliki kekurangan maupun
kelebihannya. Di satu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan
data berdasarkan suatu basis sistematis dan secara cepat memperluas batas-batas
ilmu. Dan di lain pihak, sains normal mengisolasi komunitas ilmiah dari segala
sesuatu yang berada di luar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara
sosial, yang tak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki akan
dikesampingkan, dan apapun yang berada di
luar lingkup konseptual dan instrumental paradigma itu dianggap tidak
relevan.
E.
Penutup
Maka dapat kami simpulkan bahwasannya paradigma ilmu dalam
pandangan Thomas Kuhn adalah sebagai berikut:
1.
suatu kerangka teoritis atau suatu caara memahami alam ilmiah.
2.
sebagai lensa yang melaluinya ilmuwan dapat mengamati dan memahami
masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing.
3.
suatu skema kognitif yang dimiliki bersama.
4.
memberi sekumpulan ilmuwan itu suatu cara memahami alam ilmiah.
5.
Dengan demikian, paradigma itu tidak lebih dari suatu konstruksi
segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan,
mengungkap, dan memahami alam.berdasarkan bukti-bukti dari sejarah ilmu.
6.
Bagi Kuhn, paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang
dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertayaan yang mereka ajukan, dan masalah
yang mereka anggap penting.
Adapun perkembangan ilmu meurut Kuhn yang dijadikannya sebagai
respon atas lingkaran wina dan Popper adalah sebagai berikut:
1.
Menurut Kuhn, proses perkembangan ilmu manusia tidak dapat terlepas
sama sekali dari apa yang disebut –keadaan- “normal science” dan “revolutionary
science”.
2.
Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari ilmuwan untuk
menundukan alam masuk ke dalam kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh
paradigma ilmiah dan, untuk menjelaskan, diumpamakan sains normal itu sebagai
dapat menyelesaikan masalah teka-teki.
3.
Bila suatu komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan
paradigmanya, maka sejenak itu ia memasuki keadaan krisis. Usaha komunitas
untuk menyelesaikan krisis adalah proses sains luar biasa.
4.
Krisis adalah suatu mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa
kekakuan pada fase sains normal tidak akan berkelanjutan. Persoalan yang selalu
dicari jawabannya oleh anggota komunitas ilmiah adalah: “mana paradigma yang
membolehkan kita menyelesaikan teka-teki yang berhasil.”
5.
Dalam ‘skema Kuhn’ terlihat bahwa suatu stabilitas dogmatis dapat
diselingi oleh revolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Ia menggambarkan
bermulanya ilmu revolusioner secara gamblang: “Sains normal… sering menindas
kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversive terhadap
komitmen dasarnya…
Inilah
yang dapat kami simpulkan sebagai penjelasan dari perkembangan ilmu dalam
pandangan Kuhn yang juga untuk memberikan respon untuk pernyataaan Lingkaran
Wina dan Popper.
REFERENSI
Kuhn,
Thomas S., The
Essential Tension,(Chicago: Chicago Press,
London).
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The
University of Chicago Press)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar,
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit
Belukar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar