Jumat, 20 November 2015

IBN MISKAWAIH

Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qodhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari , dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.

Perihal kemajusiannya, sebelum islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang. Jurdi Zaidan misalnya mengikuti pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam.[1] Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah kurang setuju dengan pendapat demikian. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam,[2] artinya Ibn Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhammad.
Ia juga diduga berarilan Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi kepada Al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-Muhallabi pada 352 H(963 M), dia berupaya dan akirnya diterima oleh Ibn al-‘Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Ibn al-‘Amid sendiri adalah seorang yang amat pandai dan tokoh sastra terkemuka. Selama tujuh tahun mengabdi sebagai pustakawan (khazin, yaitu penjaga perpustakaan besar yang menyimpan banyak rahasia) Ibn al-‘Amid dia dapat menuntut ilmu, dapat memperoleh banyak hal yang positif berkat bergaul denga pangeran ini, dan mendapat kedudukan yang berpengaruh di ibukota provinsi Buwaihi itu. Setelah Ibn al-‘Amid wafat pada 360 H (970 M), Miskawaih tetap mengabdi kepada putranya yang bernama Abu al-Fath yang menggantikan Ibn al-‘Amid sebagai wazirnya Rukn al-Daulah dan yang juga terkenal pintar dalam bidang sastra. Miskawih tetap menduduki posisi ini sampai Abu al-Fath dipenjarakan dan wafat pada 366 H (976 M) dan Abu al-Fath digantikan oleh musuhnya, wazir terkemuka dan ahli sastra, Al-Shahib ibn ‘Abbad. Lalu Miskawih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana pangeran Buwaihi. ‘Adhud al-Daulah. Miskawih mengabdi kepada pangeran ini sebagai bendaharawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain. Setelah pangeran ini wafat pada 372 H (983 M), Miskawaih tetap mengabdi kepada para pengganti pangeran ini, Shamsam al-Daulah (388 H/998 M), dan Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M) dan naik selama periode Baha’ al-Daulah ke posisi yang amat prestisus dan berpengaruh. Dia mencurahkan tahin-tahun terakhir dari hidupnya untuk studi dan menulis.
Kendatipun disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat, tetapi ia lebih populer sebagai filsuf akhlak (al-falsafah al-’amaliyah), ketimbang sebagai filsuf ketuhanan (al-falsafah al-nazhariyah al-ilahiyyah). Agaknya ini dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau di masanya, sebagai akibat miniman keras, perzinaan, hidup glamour, dan lain-lain.

2.      Karyanya
Beberapa karyanya yang dicatat adalah:
1.      Al-Fauz al-Akbar.
2.      Al-Fauz al-Ashgar.
3.      Tajarib al-Umam (sebuah ajaran tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M).
4.      Uns al-Farid (koleksi anekdot, sya’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmh).
5.      Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan pollitik).
6.      Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan
7.      Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak).
8.      Al-Jami’.
9.      Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan).
10.  One the Simple Drugs (tentang kedokteran).
11.  One the Compositionof the Bajats (seni memasak).
12.  Kitab al-Asyiribah (tentang minuman).
13.  Tahdzib al-Akhlaq (tentang akhlak).
14.  Risalah fi al-Lazzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs.
15.  Ajwibah wa Asilah fi al-Nafs wa al-‘Aql.
16.  Al-Jawab fi al-Masail al-Tsalats.
17.  Risalah fi jawab fi sual Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqah al-Aql, dan
18.  Thaharah al-Nafs.[3]

3.      Filsafatnya

a.      Metafisika
Ibn Miskawaih tidak memberikan perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya tidak banyak lagi diperbincangkan masalah tersebut. Dengan demikian pemikirannya tidak banyak berbeda dengan filsuf sebelumnya, terutama al-Farabi dan al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yang tidak berjism, azali dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek. Tuhan tidak berbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkan-Nya.
Untuk membuktikan adanya Tuhan, Ibnu Miskawaih tidak memungut pemikiran Aristoteles sebagaimana dilakukan oleh filsuf sebelumnya. Tuhan menurutnya adalah Penggerak Pertama yang tidak bergerak dan pencipta yang tidak berubah-ubah, Ia bersifat abadi dan non-materi, serta berbeda dengan entitas apapun yang tunduk kepada hukum perubahan, semakin bebas sesuatu dari materi, semakin tidak dapat berubah ia. Karena itu Tuhan yang secara mutlak bebas dari materi, secara mutlak tidak berubah, dan kebebasan sempurna Tuhan dan materialitaslah yang membuat kita tidak mungkin menggambarkan-Nya dengan istilah apapun, kecuali dengan simbol penegatifan. Tetapi, keharusan untuk menganggap kesempurnaan tertinggi berasal dari-Nya, maka kita harus dibimbing dalam hal ini oleh ketentuan kitab suci dan konsensus umat.[4]
Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif, dan tidak dapat dikenal dengan proposisi positif (yu’raf bi al-salb dun al-ijab), karena melakukan proposisi positif berarti menyamakan Tuhan dengan alam. Tuhan bagi Ibn Miskawaih adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas karena Tuhan adalah yang Haq (benar) berarti terang. Dikatakan tidak jelas, karena kelemahan akal untuk menangkap-Nya disebabkan banyaknya dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Tentu saja ketidaksamaan wujud manusia denga wujud Tuhan menjadi pembatas.
Dalam menjawab permasalahan: bagaimana yang banyak (alam) diciptakan oleh yang satu (Tuhan)? Ibn Miskawih mengatakan, bilamana satu penyebab melahirkan sejumlah efek yang berlainan, maka kemajemukannya kiranya bergantung pada alasan-alasan di bawah ini:
1.      Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan. Misalnya, manusia, karena merupakan kombinasi dari berbagai unsur dan daya, bisa menjadi penyebab berbagai tindakan.
2.      Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
3.      Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.

Tak satu pun dari proposisi ini berlaku untuk hakikat sebab utama, yaitu Tuhan. Bahwa ia mempunyai berbagai kekuatan, yang berbeda satu sama lainnya, adalah mustahil sekali; karena pembawaannya tidak memungkinkan adanya komposisi. Jika seandainya ia menggunakan bermacam-macamsarana untuk menghasilkan keanekaragaman, maka siapakah pencipta sarana-sarana itu? Jika sarana-sarana ini disebabkan oleh agensi kreatif penyebab yang  bukan penyebab utama, tentu terdapat pluralitas penyebab utama. Jika, pada sisi lain, penyebab utama itu sendiri yang menciptakan semua sarana ini, ia tentu memerlukan sarana-saran lain untuk menciptakan sarana-sarana ini. Proposisi ketiga juga tidak dapat diterima sebagai suatu konsepsi tentang tindak kreatif. Yang banyak tidak dapat mengalir dari tindak penyebab satu agen. Karena itu, kita hanya mempunyai satu jalan keluar dari kesulitan ini, bahwa penyebab utama hanya menciptakan sesuatu yang menyebabkan terciptanya yang lain. Untuk itu Ibnu Miskawih megajukan teori emanasi Neo-Platonisme[5] sebagaimana halnya al-Farabi. Tetapi, dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi dimaksud, antara keduanya terdapat perbedaan.
Menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan ialah ‘Aql Fa’al (akal aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna dan tak berubah. Dari Akal Aktif ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbul planet (al-falak).[6] Pancaran yang terus menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.
Berdasarkan pendapat Ibn Miskawaih di atas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan al-Farabi, sebagai berikut:
1.      Bagi Ibn Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada (exnihilo) menjadi ada. Sedangakan menurut al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
2.      Bagi Ibn Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal Aktif. Sedangkan bagi al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal 1, dan Akal Aktif adalah Akal yang kesepuluh.
Jika ditilik pemikiran Ibn Miskawaih ini, hanya dalam masalah pokok bersesuaian dengan Al-Farabi. Dalam pendekatan masalah terlihat lebih dekat dengan Al-Kindi atau Mutakalliimin.
Ibn Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa.[7]  Teori itu terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), bentuk kehidupan yang paling rendah.  Suatu tahap evolusi lebih tinggi dicapi di dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Yang pertama muncul adalah rerumputan  yang spontan, kemudian tanaman, dan berbagai jenis pepohonan (seperti kurma), beberapa diantaranya menyentuh daerah batas dunia hewan, sampai mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniah tertentu.  Di antara dunia tumbuhan dan dunia hewan  terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan buka pula kehidupan tumbuhan, namun mempunyai ciri-ciri hewaniah dan ciri-ciri tetumbuhan (misalnya koral/batu karang). Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara ini ialah perkembangan daya gerak, dan indera-indera peraba pada cacing-cacing kecil yang merayap di atas bumi. Disebabkan oleh proses diferensiasi, indera peraba mengembangkan bentuk-bentuk indera lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi, yang di dalamnya intelegensi mulai menyatakan dirinya dalam sebuah skala yang meninggi. Kemanusiaan teraba pada kera yang mengalamiperkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan daya pemahaman yang serupa dengan manusia. Di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan bermula.[8]

b.      Kenabian
Adapun  masalah kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Ibn Miskawaih dan al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan filsuf, sekaligus untuk memperkuat hubungan akal dengan wahyu. Semua manusia membutuhkan nabi sebagai sumber informasi untuk mengetahui sifat-sifat keutamaan dan yang terpuji dalam kehidupan praktis. Nabi adalah pembawa ajaran suci dari Tuhan.
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara memperolehnya yang berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya sama-sama akal aktif.
Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat yang sama diperoleh juga oleh filsuf. Perbedaan terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dar daya inderawi naik ke daya khayal, dan naik lagi ke daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memeperoleh langsung dari Akal Aktif sebagai rahmat Tuhan. Jadi, sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan Filsuf adalah sama, yaitu Akal Aktif.[9] Pemikiran ini sejalan dengan al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu , baik yang ada pada Nabi maupun yang ada pada filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui apa yang dibawa Nabi adalah filsuf, karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal. Manusia perlu kepada Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagian di dunia dan akhirat.

c.       Moral/Etika
Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot dikarenakan langkanya filsuf Islam yang membahas bidang ini. Secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam, terutama karena Islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih mencoba menaikkan taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filosofis, namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan.
Ibnu Miskawah mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat.
Tentang keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah (memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.

d. Sejarah
Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang.


Referensi:
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta





[1] Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam (Kairo: Muassasatal-Khaniji, 1963), hal. 74.
[2] Ibrahim Zaky Khursyid, et, al., Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, Vol. I (Kairo: Al-Sya’ab,tt), hlm. 388.
[3] Abdurrahman Badawi, ”Miskawaih”, dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Wiesbaden: Otto Harrosswitz, 1963),hlm. 469-470.
[4] Fakhry, hlm. 210.
[5] Muhammad Iqbal, Metafisika Persia: Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, terjemahan Joebaar Ayoeb dari “The Development of Methaphysics in Persia: A Contribution to the history of Muslim Philosophy” (Bandung:Mizan,1990), hlm. 53-54.
[6] Fakhry, hlm.210-211.
[7] Abdurrahman Badawi,”Miskawaih”, hlm. 472.
[8] Iqbal, Metafisika, hlm. 54.
[9] Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Ma’arif,1971), hlm. 70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemaknaan Kebengkokan Wanita sebagaimana Tulang Rusuk

Terkadang kita selalu mendengar, ada istilah bahwa “wanita itu bengkok” seperti tulang rusuk. Tentu mungkin ada yang bertanya-tanya maksud...